Pasar


Dunia memang bukan pasar malam seperti yang dikatakan Pramoedya Ananta Toer. Bukanlah dunia yang orang-orangnya datang berbondong-bondong dan pulang berbondong-bondong pula, entah dalam arti sebenarnya atau sindiran. Akan tetapi, dunia ini seperti pasar. Orang akan datang dengan kepentingan masing-masing. Di sana terjadi berbagai transaksi. Keperluan akan menyatukan dan ketidakperluan tidak akan menghasilkan apa-apa. Di sana pula ada berbagai orang dengan berbagai sifat. Ada para pedagang, ada si penarik uang karcis, ada si kepala pasar, dan komponen-komponen pasar lainnya. Tak lupa juga ada si kapitalis yang berusaha menyaingi pasar. Ada juga pegawai pemerintahan yang ingkar janji. Apa yang tersebut itulah terdapat dalam novel Kuntowijoyo yang berjudul Pasar.

Meskipun tertulis tanggal 8 November 1971 di bagian akhir, novel yang saya baca ini diterbitkan oleh DIVA Press dan Mata Angin pada 2017 (cetakan pertama). Apakah pernah diterbitkan oleh penerbit lain sebelumnya? Saya belum cek. Saya juga kurang tahu apakah novel ini masih beredar di toko-toko buku, seperti Gramedia, karena saya menemukannya secara tidak sengaja di Perpustakaan Pusat UI. Pasar? Pikir saya ketika membaca judulnya. Sepertinya menarik. Saya ambil yang satu ini sebagai bacaan bersama Cerita dari Digul—yang selesai saya baca kemarin—dan Rafilus—yang akan saya baca.

Siapa yang tak mengetahui pasar? Sekalipun pada zaman ini telah banyak toko-toko modern atau toko swalayan, pasar masih tetap eksis. Pasar masih eksis karena dibutuhkan. Sesuatu yang dibutuhkan selalu berpotensi untuk didatangi banyak orang. Orang-orang ini, yang berasal dari beragam latar belakang, berkumpul di suatu kawasan untuk melaksanakan tujuannya masing-masing. Meskipun bertujuan masing-masing, seluruhnya mempunyai kepentingan agar lingkungan pasar tetap berjalan.

Kepentingan adalah kata yang cukup tepat digunakan sebagai kunci novel Pasar. Pak Mantri, kepala pasar, memiliki kepentingan agar pasarnya tetap menghasilkan keuntungan. Keuntungan itu didapatnya melalui penarikan uang karcis yang dilakukan bawahannya, Paijo. Dalam kenyataannya, meskipun menjabat sebagai penarik uang karcis dari para pedagang, Paijo tak hanya melakukan itu. Pekerjaan lain pun dikerjakannya. Ia turut bersih-bersih, membakar sampah, membuat minuman untuk Pak Mantri, menyampaikan ucapan kepada Siti Zaitun, sampai mengurus burung-burung dara Pak Mantri yang berjumlah lebih dari seratus. Intinya, Paijo adalah kacung Pak Mantri. Ia tetap setia, meskipun kerap ditolol-tololkan Pak Mantri.

Tak hanya Pak Mantri yang punya kepentingan. Lawannya, Kasan Ngali, juga berambisi untuk melumat segalanya. Sebagai sosok kapitalis sejati, ia berani mendirikan pasar tandingan di dekat pasar lama. Caranya adalah memanfaatkan para pedagang yang jenuh karena dagangan mereka sering diganggu oleh burung-burung dara Pak Mantri. Tak hanya mendirikan pasar baru, ia juga mendirikan bank. Sebuah bank kredit didirikannya sebagai bentuk kekecewaannya atas sikap tak acuh dari Siti Zaitun. Siti Zaitun adalah pelayan bank di pasar lama, pasar Pak Mantri.

Kepentingan tak hanya terjadi di area pasar, melainkan juga di kantor kecamatan. Mula-mula Pak Mantri akan mengadukan soal burung-burung daranya yang dibunuh dan soal para pedagang yang tidak mau bayar uang karcis. Ia berharap masalahnya akan selesai dengan menemui Pak Camat. Lantas, apa yang terjadi? Bukan penyelesaian yang didapat, melainkan gerutu. Ketika berkonsultasi, Pak Camat justru menyodorkan masalahnya terlebih dahulu. Kecamatan sedang membangun pompa air yang peresmiannya seminggu lagi. Pak Camat meminta Pak Mantri untuk mencari candrasengkalanya. Hal ini karena Pak Mantri adalah orang yang paling paham tentang kejawaan di daerah yang bernama Gemolong itu. Sungguh, kantor kecamatan seperti itu tidak hanya bukan pasar malam, tetapi juga bukan pegadaian.

Kenyataannya, tak seluruh kepentingan dapat berjalan dengan baik. Berbagai taktik diterapkan, tetapi baik Pak Mantri maupun Kasan Ngali selalu saja mengalami kendala. Pada akhirnya, salah satu dari mereka harus ada yang mengalah dan harus ada yang kalah. Pak Mantri, yang awal ceritanya digambarkan sebagai orang yang sangat keras kepala, akhirnya meluluhkan diri. Penyebabnya tidak hanya soal apa, tetapi siapa. Siapa lagi kalau bukan Siti Zaitun. Perlahan-lahan, Pak Mantri mulai menjunjung kepentingan para pedagang dibanding kepentingannya. Uang karcis tak lagi ditarik. Keputusan paling besarnya adalah melepaskan semua burung daranya, kecuali satu saja sebagai pengingat kalau Pak Mantri pernah punya banyak burung dara. Dengan berkuranganya burung dara dan janji akan memperbaiki keadaan los pasar, Pak Mantri melalui Paijo mampu menarik para pedagang kembali.

Hal sebaliknya dialami Kasan Ngali. Lagi-lagi pemicunya Siti Zaitun. Gadis itu tidak mengindahkan semua pemberiannya. Kado ulang tahun pun ditolaknya. Kasan Ngali berpikir bahwa ia bisa memiliki segalanya dengan kekayaan. Namun, itu tidak berlaku untuk mendapatkan Siti Zaitun. Ia lantas “banting setir” hendak mengawini Sri Hesti, pemain Ketoprak Sri Budoyo yang menjadi idaman setiap pria. Semua biaya ditanggungnya sampai-sampai uangnya menipis, sampai-sampai orang yang hendak mengkredit ditolak. Apa yang terjadi? Sri Hesti menyatakan tak mau kawin dengan Kasan Ngali. Sri Hesti menyampaikannya melalui mulut Darmo Kendang.

Novel ini ceritanya mengalir begitu saja. Tak ada istilah-istilah berat yang digunakan. Yang menarik ketika membaca novel ini adalah menduga siapa bermain apa di belakang siapa. Bukankah dalam kenyataan juga begitu? Orang lain hanya mampu menebak-nebak apa yang akan terjadi dan apa yang sudah terjadi hanya mendapatkan kata “oh”saja. Opini bisa apa saja, tetapi kepentingan itu mutlak.

Dalam halaman 371, ada kalimat yang bagi saya tak asing. Saya pernah dengar kalimat serupa ini di lagu mending tuku sate timbang tuku weduse. Saya lupa judulnya. Berikut ini kutipannya.

“Kasan Ngali mesti mencari yang segar! Yang bersih! Yang belum ada cap tangan, cap kaki, cap mulut, cap-cap apa lagi!” Mereka tertawa.

Kemudian Jenal berbisik: “Dan saya punya calon, Pak!” Tetapi Kasan Ngali mencibir. Jenal membisikkan lagi. “Yang ini tidak diragukan lagi. Mau tahu?”

Kasan Ngali tertawa keras.

“Tidak. Itu kebodohan besar. Pedagang mesti banyak perhitungan. Kalau kauingin makan sate, tidak perlu kau beli kambingnya! Tidak usah beri makan. Tidak usah memelihara! Tidak usah kehilangan uang! Makan enak, sedikit biaya…”

Apa lagu mending tuku sate terinsiprasi dari dialog antara Kasan Ngali dan Jenal?

Juga, tak boleh lupa bahwa seberbeda apapun cara mencapai kepentingan, selalu ada yang menyatukan, baik secara damai maupun tidak. Dalam hal ini, Siti Zaitun adalah yang menyatukan. Ketika Siti Zaitun akan pergi naik kereta, seluruh orang berkumpul untuk melihat dan menyalaminya untuk yang terakhir kali. Pak Mantri, Paijo, ibu-ibu, Pak Camat, polisi, bahkan Kasan Ngali pun datang ke stasiun untuk menyampaikan sampai jumpa kepada Siti Zaitun.

Semuanya bermula dari pasar. Juga, bukankah dunia ini adalah pasar, bertemu untuk kepentingan dan melakukan transaksi? Akibat darinya bisa baik, juga bisa buruk. Yang mesti diingat adalah apapun kepentingannya, selalu ada yang menyatukan. Apakah yang dapat menyatukan dunia? Haruskah menunggu sampai pemersatu itu pergi seperti Siti Zaitun hingga semua orang sadar bahwa kepentingan pada akhirnya tidak terlalu penting? Itulah yang paling penting.

Komentar

Posting Komentar