Rafilus
Rafilus
telah mati dua kali, tetapi hidup seribu tahun lagi. Kira-kira begitulah kalau
Chairil Anwar masih hidup dan membaca novel Rafilus.
Sambil memegangi janggutnya yang tak seberapa tebal dan sesekali mengusap
matanya yang merah, Chairil berjalan dengan langkah cepat-cepat untuk menemui
Budi Darma di rumahnya. Budi Darma sedang asyik tidur, menikmati hari libur
dari pekerjaannya. Chairil mengetuk keras pintu rumah Budi Darma. Bukan main
Budi Darma kaget. Dengan gerutu yang seksi, Budi melangkah ke arah pintu. Ia
lebih kaget ketika ia membuka pintu dan melihat yang datang adalah Chairil.
Tanpa angin, tanpa hujan, Chairil tiba-tiba membentak, “Rafilus binatang
jalang!” Entah apa maksudnya. Budi Darma tak paham. Saya juga tak paham. Jadi,
mengapa saya perlu menceritakan kisah fiktif ini? Tak penting.
Baiklah.
Sebelum melangkah lebih jauh, saya perlu bilang kalau hobi saya bertambah.
Membuat ulasan singkat mengenai buku yang baru selesai saya baca rupanya
meningkatkan gairah hidup saya. Kegiatan ini ditandai sejak saya
mengulas-singkat novel Pasar dari
Kuntowijoyo beberapa hari lalu. Akan tetapi, jangan berharap ada alasan-alasan
mulia di baliknya, seperti ingin meningkatkan kemampuan literasi, menyebarkan
inspirasi, atau mencerdaskan kehidupan bangsa. Halah. Cukup politikus saja yang
bilang seperti itu karena saya adalah kaum Pawestri, salah satu tokoh dalam Rafilus, yang menyatakan dengan jujur
bahwa pada hakikatnya saya bukan apa-apa.
Jadi,
apa alasannya? Seminggu yang lalu saya bertemu dengan kakak tingkat saya yang
sudah jadi alumni. Sebagai kebiasaan alumni lain, ia juga mencari pekerjaan.
Dalam urusan pekerjaan, tentu biasanya ada yang namanya wawancara. Saya tanya
kepada ia, apa yang ditanyakan. Ia bilang, yang ditanyakan adalah soal apa yang
dilakukan di kampus, apa saja. “Juga ditanyain
soal blog, kalau lu punya. Bakal diliat-liat apa aja yang ditulis di sono,”
ucap pemuda asli Depok itu. Ya, sekarang Anda bisa menebak-nebak alasan saya mulai
giat menulis ulasan yang sebenarnya bermuatan curhatan. Alasannya, untuk
pencitraan saja. Terdengar negatif? Baiklah, alasannya adalah untuk branding saja.
Tentu
saya tak seserius itu karena pada hakikatnya saya suka bercanda. Menulis ulasan
memang bukan untuk alasan pekerjaan, melainkan untuk kesenangan saja. Ya,
kesenangan, happiness, happy. Belakangan saya mulai berpikir
dan berkeyakinan bahwa jargon iklan rokok “yang penting heppiii…” dibikin oleh
filsuf. Entah filsuf mana. Mungkin Wonogiri.
Sungguh
sayang karena saya tak menemukan falsafah “yang penting heppiii…” itu di dalam
diri Rafilus. Saya baca-baca lagi, sungguh mengenaskan hidup jadi Rafilus. Dalam
novel tersebut, diceritakan bahwa Rafilus pernah membuat novel yang berjudul Bambo. Tahukah Anda siapa yang paling
sering membaca novelnya? Rafilus sendiri! Mengenaskan. Rasa-rasanya Rafilus
terlalu banyak dicekoki prinsip “dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat”
sehingga menjadi “dari Rafilus, oleh Rafilus, untuk Rafilus”.
Memang
ada hal yang membuat Rafilus tertahan untuk merasakan kesenangan. Keinginannya
untuk memiliki anak sangatlah besar. Bahkan, dalam halaman ke-241 (Noura:
2017), Rafilus mengatakan dengan jelas bahwa anak adalah hakikat. Pernyataan
itu masih ditambah dengan “saya tahu” yang mengesankan bahwa ia menyatakannya
dengan sungguh-sungguh. Kalau saja Rafilus benar-benar ada dan kemudian
menyatakan “anak adalah hakikat” melalui toa di tengah pasar—semacam Socrates versi
milenial, Kementerian Keuangan tak segan untuk menghadiahi Rafilus uang
beratus-ratus juta. Alasannya sederhana, yakni karena Kemenkeu berpandangan
positif atas bonus demografi yang diperkirakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS)
akan terjadi pada tahun 2020-2035 [sic!].
Maaf, seharusnya Kemenkeu menggunakan tanda pisah (—), bukan tanda hubung (-). Jadi,
pernyataan Rafilus dapat dianggap sebagai sebuah ajakan propaganda yang sesuai
dengan harapan pemerintah saat ini. Beruntung Rafilus tidak mempropagandakan
nikah muda.
Sebenarnya
saya agak kesal dengan Rafilus ini. Ia sendiri tahu bahwa ia ini makhluk malang,
apa saja yang dipegangnya pasti hancur atau seminimalnya rusak. Namun, ia tetap
saja berani muncul di mana-mana. Ini seperti orang yang bilang tidak punya
borok di punggungnya, tetapi tidak mau pakai baju dan tetap berjalan-jalan sesuka
hati ke mana-mana. Mengapa ia tak mencontoh gaya hidup Jumarup? Meskipun
Rafilus dan tokoh Saya (Tiwar) jengkel terhadap Jumarup karena ia dan
keluarganya tidak hadir dalam acaranya sendiri, saya justru kagum terhadap
Jumarup. Jumarup memang tak pernah kelihatan, tetapi ia diceritakan memiliki
banyak perusahaan dan menghidupi banyak anak yatim piatu. Jumarup tak pernah
muncul, tetapi tahu-tahu ia mati. Ini disaksikan oleh Tiwar sendiri. Ia
menceritakan bahwa pengiring jenazah Jumarup ada ribuan. Bukan main. Toh, pada
akhirnya, Rafilus mati tersambar kereta api. Tak tanggung-tanggung, ia
tersambar dua kali. Itulah sebabnya Rafilus dikatakan mati dua kali: mati
sekali, tanpa pernah hidup, mati lagi.
Apapun
keburukan Rafilus, ia tetap pantas untuk diberi gelar “pahlawan”. Ada beberapa
alasan. Pertama, kota batik
melahirkan batik, kota pendidikan melahirkan pendidik, kota pahlawan? Rafilus
adalah pahlawan karena ia adalah orang Margorejo, Surabaya. Saya sering ke
Surabaya, tetapi saya tak pernah tahu kalau ada daerah bernama Margorejo.
Mungkin karena itulah saya juga tak pernah tahu ada seorang bernama Rafilus di
situ. Entahlah. Bonek juga belum tentu tahu Rafilus.
Kedua, dengan sudut
pandang subjektif, Rafilus adalah pahlawan bagi Pawestri, istri Tiwar—yang kisah
rumah tangganya tak jelas bagaimana. Pawestri memang perempuan murahan. Ia
mudah cinta dan bercinta. Akan tetapi, hanya kepada Rafilus sajalah ia
merasakan rindu yang sangat. Baginya, Rafilus menyadarkannya soal mana cinta
yang hanya kedok dari senang-senang dan cinta yang sejatinya cinta. Berat,
berat. Sungguh berat. Persoalan cinta memanglah bukan hal yang mudah. Kalau
disuruh memilih bikin cerpen soal kematian atau cinta, saya tentu memilih yang
pertama. Oleh karena itu, jangan sepelekan mereka yang biasa membuat karya soal
cinta, meskipun saya tak tahu cinta yang apa yang disampaikannya. Cinta adalah
hakikat, kata Once (Dewa).
Ketiga, Rafilus patut
diberi gelar “pahlawan” karena ia berjasa bagi seseorang. Tak lain dan tak
bukan adalah bagi Budi Darma sendiri. Budi Darma seharusnya berterima kasih
kepada Rafilus karena tidak akan ada Rafilus
tanpa Rafilus. Kalau saja Budi Darma mengganti Rafilus dengan Harrits, lantas
judulnya menjadi Harrits, saya yakin
penerbit-penerbit indi pun tak sudi buat menerbitkan. Jangankan penerbit indi,
toko percetakan semacam Cano juga tak sudi. Bukan karena takut mesin cetaknya
rusak, tetapi, ya, apa yang mau diceritakan dari Harrits? Ya, karena, seperti
kata Pawestri lagi, pada hakikatnya saya bukan apa-apa. Saya bukan apa-apa,
tetapi punya Kamu. Wow, so mystique!
Harapan
saya saat ini adalah “rafilus” dapat menjadi entri baru dalam KBBI. Memangnya, apa ada kata yang tepat
dalam KBBI sekarang yang
mendefinisikan seseorang yang tidak diketahui asal-usulnya, hidup sendirian, setengah
kebesian, tetapi bisa menarik banyak wanita? Saya rasa itu cuma dimiliki oleh
Rafilus saja sehingga kata yang tepat untuk definisi semacam itu bisa diambil
dari Rafilus menjadi “rafilus”. Bukankah lebih enak kalau kita menyebut orang
dengan sifat yang sama dengan hanya berkata “dasar kamu rafilus!” daripada “dasar
kamu seseorang yang tidak diketahui asal-usulnya, hidup sendirian, setengah
kebesian, tetapi bisa menarik banyak wanita!”?
Terakhir,
ada koreksi sedikit soal nomor ayat yang dikutip. Dalam novel ini, dikutip
kalimat ayat ke-40 dan ke-50 dari surat Al-Isra. Setelah saya cek, berdasarkan
kalimat yang dikutip, nomor tersebut seharusnya 49 dan 50, bukan 40 dan 50.
Bukan apa-apa. Kesalahan memang bisa terjadi di mana saja dan oleh siapa saja,
apalagi manusia. Hanya saja saya takut kalau-kalau ada orang anu yang membaca Rafilus kemudian melihat kekeliruan tersebut, lantas menganggapnya
sebagai kesengajaan dan penistaan terhadap agama. Hal ini bisa saja terjadi
karena suhu nggumunan orang Indonesia
sedang dalam tingkat yang tinggi. Sedikit-sedikit pelecehan, sedikit-sedikit
penistaan, katanya. Tragisnya, hal-hal semacam ini kerap diangkat oleh
media-media tertentu agar situs webnya ramai. Padahal, ada hal lain yang lebih
penting untuk diberitakan. Benar kata Sujiwo Tejo, Indonesia ini memang negara
yang terlalu nyaman. Saking nyamannya, semuanya mudah hidup di Indonesia,
termasuk orang-orang anu. Hmm… Saya
kok jadi merembet ke politik, ya? Akan tetapi, saya bisa cukup tenang karena
apa mungkin orang-orang anu membaca Rafilus?
Yang
jelas, saya cukup kagum terhadap teknik penceritaan Rafilus. Hampir-hampir saya tak menemukan dialog. Hal serupa juga
dikatakan oleh Maman S. Mahayana, dosen saya yang ternyata terkenal, di sampul
bagian belakang novel ini. Hanya satu atau beberapa saja yang ada dialognya. Sangat
sedikit, hampir tak ada. Tulisan semacam inilah yang membuat saya
bertanya-tanya apakah pengarangnya atau tokohnya yang kesepian, apakah Budi
Darma atau Rafilus yang kesepian? Saya selalu yakin bahwa apa saja yang
berjenis monolog atau serupa dengan monolog pastilah dibuat sebagai wujud
kesepian yang paling dalam. Monolog adalah kenyataan paling tragis bagi manusia
karena ia hanya bicara sendiri, maksimal dengan pikirannya. Jadi, apakah Budi
Darma atau Rafilus yang kesepian? Entahlah. Apapun itu, yang penting heppiii…
Komentar
Posting Komentar