Bersepeda ke Parangtritis
Hari libur bisa menjadi hari yang menyenangkan bagi banyak orang, apalagi diisi dengan melakukan hobi. Hari ini saya melakukan salah satu hobi saya, yaitu bersepeda. Tapi, kali ini saya bersepeda agak jauh dari biasanya. Saya bersepeda ke Parangtritis, salah satu pantai terkenal yang ada di bagian selatan Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Saya ke sana bersama Mas Fadli, teman satu kos.
Jika tidak salah antara Jum'at pagi atau Sabtu pagi Mas Fadli mengajak saya untuk bersepeda ke Parangtritis pada Minggu pagi. Saya agak terkejut karena saya kira jalan ke sana menanjak. Tapi, Mas Fadli berkata bahwa jalannya datar. Karena tidak ada jadwal dan saya sangat suka bersepeda, apalagi ke tempat yang belum pernah saya kunjungi, saya mau dengan senang hati.
Hari Minggu tiba. Kami berangkat sekitar pukul 05.00 ketika jalanan Jogja masih jarang kendaraan bermotor berseliweran. Perlu diketahui bahwa jalanan Jogja sangat ramai. Hanya ada dua waktu yang bisa digunakan untuk menikmati jalanan Jogja, yaitu pagi sebelum pukul 05.30 dan malam setelah 23.00 WIB. Kembali ke topik. Saya pergi dengan sepeda saya dan Mas Fadli dengan sepeda Mas Rosyid. Menurut Google Maps, jarak yang harus kami tempuh adalah sebagai berikut (dikali dua karena pulang pergi).
Kami melewati bunderan UGM ke arah Stadion Kridosono, Stasiun Lempuyangan, Sayidan, Jogjatronik, dan Jalan Parangtritis. Mas Fadli di depan saya. Menuju arah pantai, jalanan cenderung banyak turunan. Dengan bersepeda ini, saya baru tahu letak tempat-tempat yang sering dibicarakan orang-orang sekitar saya, seperti Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Beberapa kali kami berpapasan dengan komunitas sepeda. Mereka memakai atribut bersepeda lengkap, sedangkan saya hanya memakai kaos warna putih dan celana jeans dengan membawa tas ransel, dan Mas Fadli memakai kaos warna merah dan celana olahraga panjang dengan tas ransel. Tapi, menurut saya, yang penting dari bersepeda bukan terletak pada pakaiannya, tetapi bagaimana bisa menikmati keindahan yang diciptakan Tuhan. Ah, sok gombal religius.
Ternyata lumayan jauh juga. Saya jadi teringat ketika saya bersepeda ke Probolinggo. Jalanan kala itu lebih berdebu dan cuaca lebih panas dari ini.
Kami meluncur santai. Sampai pada Jalan Parangtritis kilometer ke-13, perut kami mulai meminta untuk diisi. Maklum, sebelum berangkat tadi kami belum sarapan. Saya dan Mas Fadli adalah motor penggerak bagi sepeda kami masing-masing. Saya baru menyadari, semua yang diciptakan Tuhan atau manusia membutuhkan faktor pendorong untuk bergerak. Kalau begitu, maukah kamu jadi faktor pendorongku? Apasih.
Kami mencari warung yang kiranya punya harga makanan murah. Angkringan masih banyak yang tutup. Akhirnya, kami baru makan ketika melewati gerbang pertama ke Parangtritis. Kami menemukan seorang yang berjualan bubur kacang hijau dengan beberapa pelanggan di sekitarnya sedang mengantre. Segera kami berhenti dan kemudian menaruh sepeda kami di dekat sana. Saya dan Mas Fadli masing-masing memesan satu mangkuk bubur kacang hijau. Satu mangkuk berharga Rp. 3.000. Karena merasa masih kurang, saya dan Mas Fadli pesan lagi. Sambil si penjual melayani kami, saya mencoba untuk bertanya-tanya.
Ini bubur, bukan Subur, apalagi... ah sudahlah. |
Saya : Pak, rumahnya di mana?
Penjual : Rumah saya dekat, Mas. Itu di dekat kelurahan. (sambil tersenyum)
Saya : Oh, iya iya. Sudah lama Bapak berjualan?
Penjual : Ya... sudah lumayan lama, Mas. Sudah 23 tahun saya berjualan.
Saya : Wih, lama juga, ya.
Mas Fadli datang ke arah saya dan bapak itu.
Penjual : Ini kalian dari mana?
Mas Fadli : Dari Jogja kota, Pak. UGM. Tapi, asli saya Banten. Bapak dari mana?
Penjual : Saya asli sini, Mas.
Saya kemudian duduk untuk makan, begitu juga Mas Fadli. Bapak itu menghampiri saya dan ikut duduk.
Makan di pinggir jalan. Literally. |
Penjual : Masnya jurusan apa di UGM?
Saya : Filsafat, Pak.
Penjual : Oh, Filsafat. Anak saya juga kuliah di UGM. Geografi. D3.
Saya : Oh, Vokasi. Masuk tahun berapa, Pak?
Penjual : Sekarang semester 6, Mas. Eh, semester 5. Masnya dari mana?
Saya : Saya dari Malang, Pak. Tapi, lahir saya Banyumas. Anaknya berapa, Pak?
Penjual : Anak saya 2.
Saya : Kuliah semua?
Penjual : Enggak, yang satu sudah lulus. Yang adiknya ini masih kuliah. Kalau saya ini ya biasa-biasa saja, Mas.
Saya : Ya... gak apa-apa, Pak. Yang penting anaknya bisa kuliah.
Penjual : Ya, Mas. Kalau gak kuliah susah soalnya. Mumpung bisa kuliah.
Saya : Iya, mumpung bisa kuliah, Pak.
Mas Fadli datang untuk membayar. Bapak itu berdiri, begitu juga saya.
Mas Fadli : Ini mau ke Parangtritis, Pak?
Penjual : Enggak. (menunjukkan wadah buburnya) Ini sudah mau habis, Mas.
Saya kagum dengan orang ini. Padahal, itu masih pagi dan jarak antara ia berjualan saat itu dengan kelurahan cukup dekat; dagangannya sudah akan habis. Misalkan satu wadah bubur bisa untuk 100 mangkuk saja, berarti keuntungan yang beliau dapat mencapai Rp. 300.000 dalam sehari. Dalam satu bulan beliau dapat mencapai keuntungan Rp. 9.000.000 (anggap keuntungan bersihnya Rp. 7.000.000). Wow. Terkadang pedagang kecil seperti itu mempunyai keuntungan lebih besar dari gaji guru per bulan, bahkan yang sudah pengangkatan sekalipun. Dan kini, masih sangat banyak orang tua yang masih memaksakan anaknya untuk menjadi PNS hanya karena gaji. Do you know what I mean?
Kami melanjutkan perjalanan ke Parangtritis. Sebelum mencapainya, kami berhenti di sebuah tempat yang mirip gurun, bernama Gumuk. Sepertinya pasir di sana adalah hasil dari erupsi Merapi.
Berselancar? bukit pasir? Why not both? |
Setelah dari sana, kami segera ke Parangtritis. Kami memilih pintu masuk yang paling ujung. Akhirnya, setelah bersepeda cukup lama, kami sampai di tempat tujuan. Saya lupa tidak membawa pakaian ganti. Yang jelas saya ingin menikmati meski pakaian akhirnya basah. Beruntung di dalam celana panjang itu saya bercelana pendek.
kemarilah, ombak. isi diriku dengan air dan pasir. mengusir sepi |
Ombak Parangtritis sangat kuat. Saya gunakan itu untuk berseluncur. Jadi, saya tengkurap di dekat ombak. Ketika ombak yang besar datang, saya meluncur. Arus baliknya juga lumayan kuat. Mungkin karena itulah banyak yang terseret ombak di Parangtritis. Untuk sekadar diketahui, saat itu tidak ada seorangpun yang memakai baju warna hijau. Rupanya mitos lama itu masih menguat di pikiran orang-orang. Sebenarnya mati, hilang, atau pun terseret adalah kehendak Yang Maha Kuasa. Tetapi, jika untuk menghormati "penduduk" di sana dan memilih untuk aman, tidak ada masalah. Yang masalah adalah ketika kamu sadar hanya dijadikan teman oleh orang yang kamu suka dan kamu masih mengharap dia untuk menjadi "seseorangmu". Tidak salah, hanya masalah. Apasih.
Bermain di pantai selesai. Selanjutnya kami ke puncak bukit. Kami menitipkan sepeda di rumah seorang nenek yang tinggal sendirian. Ia berjualan makanan dan minuman. Anaknya sedang merantau di Riau. Berhubung sepatu saya basah dan berpasir, risih untuk digunakan, maka saya berjalan tanpa alas kaki. Siang hari, jalanan beraspal, kaki mengepal. Mengepal?
Naik-naik ke puncak gunung, tinggi-tinggi sekali (pasti kamu membacanya dengan menyanyi) |
Ini lho Mas Fadli. Sedang mencari pendamping. Minat PM. :) |
Di manapun tempat bagus ada, di situ pasti ada orang pacaran, dan di situ juga ada sampah. Sayang sekali tidak ada foto tentang itu. Tapi, tak perlu berkata tentang no pict hoax, itu sudah kenyataan di berbagai tempat.
Saya dan Mas Fadli turun sedikit ke samping tempat sebelumnya.
Dicari anak hilang. Jika Anda menemukan orang ini, mohon dibinasakan. Eh, jangan deh; korupsi aja yang binasa. |
nack gaolz |
Mas Fadli melihat ada bukit lagi. Dia mengajak ke bukit itu dan berjalan terlebih dahulu; saya masih melihat foto-foto di handphone-nya. Saya menyusul jauh di belakangnya hingga tidak terlihat Mas Fadli. Wah, bisa tidak lucu kalau saya hilang. Saya mencari-cari jalan. Terlihat Mas Fadli sudah hampir mencapai puncak bukit. Saya masih mencari jalan. Akhirnya, saya menemukan jalan beraspal yang mengarah ke bukit itu. Dari aspal, kembali lagi ke tanah bukit. Menanjak. Sampailah saya di atas. Mas Fadli sedang tiduran di sebuah pondok kecil.
yang tersulit adalah bertemu dengan waktu |
Kami di sana selama hampir tiga puluh menit. Saya berjalan turun dengan Mas Fadli.
Mas Fadli : Kamu tadi lewat jalan (aspal) ini?
Saya : Iya, Mas. Kenapa?
Mas Fadli : Wah, aku tadi naik bukit yang di sebelah sana. Gak tahu kalau ada jalan di sini.
Sebagaimana aspal yang terkena sinar matahri pada umumnya, kaki saya merasa kepanasan. Sesekali saya mencari bayangan pohon untuk berteduh, sesekali berlari. Kami sampai di sebuah warung kecil. Mas Fadli mengajak makan. Kami makan mi goreng dan nasi. Sambil makan, saya berbincang dengan Mas Fadli mengenai pariwisata Indoneia. Sebenarnya, Indonesia adalah surga wisata dan boleh dibilang sebagai nomor satu dalam pariwisata dunia. Hanya saja, di beberapa tempat wisata, pengelolaannya kurang baik. Contohnya seperti di tempat kami makan itu. Ada pos yang sudah terbengkalai, rusak. Jalan menuju puncak bukit -yang juga tempat paralayang- tidak dibuatkan jalan yang bagus. Di tempat makan itu juga ada tempat parkir. Pemungut uang parkir adalah pemilik warung. Kami bertanya-tanya apakah uang itu masuk ke pemerintah daerah setempat atau ke pemilik warung itu. Jika masuk ke pemerintah, maka seharusnya fasilitas di sana bisa ditingkatkan dengan uang parkir itu atau dana lain. Jika ada 100 saja pengunjung yang parkir dan biaya parkir adalah Rp. 2.000, maka dalam sehari bisa didapat Rp. 200.000. Jika dikali 30 (hari), maka bisa didapat Rp. 6.000.000. Lumayan untuk membuat tempat parkir yang lebih layak. Uang sejumlah itu sangat besar jika masuk ke pemilik warung. Lantas, siapa pengelola sebenarnya? Dengan pengelolaan yang lebih baik, wisatawan yang ke sana juga semakin banyak.
Selesai makan, kami turun ke tempat penitipan sepeda. Kaki saya sudah tidak tahan lagi dengan panas aspal. Mas Fadli mengambil kaos kakinya yang terkena air laut saat di pantai. Saya memakai itu. Lumayan, tidak terlalu panas.
Jalanan di sana ada yang menanjak, kadang menurun. Memang, setiap ada turunan selalu ada tanjakan. Maka, bila nasib seorang sedang berada di titik rendah, tidak perlu untuk bersedih karena ada titik puncak di sana; bila seorang sedang berada di titik puncak, bersiap untuk suatu saat harus turun. Serta, bila seorang berada di hatimu, bersiaplah untuk ketika ia tidak berada di sana lagi. Apasih.
Karena sudah siang dan belum salat zuhur, kami segera pulang. Kami mencari musala atau masjid. Awalnya kami berhenti di musala sebuah kantor polisi, tetapi di sana tidak ada sarung. Kami berdua memakai celana pendek. Kami mendapat tempat salat di salah satu warung makan di Gumuk; di sana disediakan sarung. Saya lihat jam sudah pukul 14.00.
Salat selesai. Kami melanjutkan perjalanan pulang. Mulai lelah, tenaga mulai menipis. Sampai di Pasar Seni Gabusan, kami istirahat sebentar. Mas Fadli membeli air dingin. Lima menit kemudian kami bersepeda lagi. Kami berhenti di ISI. Kami masuk di dalamnya. Kampus seni yang memang sangat nyeni. Saya mendengar ada yang bermain musik di Fakultas Seni Pertunjukan, banyak patung unik, beberapa mahasiswa sedang bermain gamelan. ISI adalah salah satu kampus yang sempat terpikir sebagai tujuan kuliah saya saat SMA dulu. Saya ingin mengambil Seni Musik atau DKV. Tetapi, karena tidak bisa membaca not balok dan kurang bisa menggambar bagus, saya tidak jadi mendaftar di sana.
Bingung? di-ISI aja... hatinya. |
Ketika di sana, kami disuguhi pemandangan jalanan yang basah dan aroma tanah terkena air hujan. Sudah masuk waktu salat asar. Kami mencari musala lagi.
Sesudah salat, kami bergegas pulang dengan bersepeda santai. Melewati suasana Jogja setelah hujan saat sore. Akhirnya, kami sampai di tempat kos lagi pada pukul 17.00. Kembali ke tempat semula. Pada akhirnya semua kembali ke tempat semula. Sekitar 12 jam sejak kami berangkat sampai kembali. Hari yang sangat seru. Rasa seru itu tidak bisa diungkapkan. Sama seperti ketika menikmati dan terkagum dengan suatu karya seni; rasa itu tidak bisa diungkapkan, tapi mampu dirasakan secara dalam. Terima kasih untuk Mas Fadli yang mengajak untuk bersepeda ke Parangtritis. Saya jadi makin hitam, hehehe.
Komentar
Posting Komentar