Melancong ke Dieng

    Halo, kawan!

   Sudah lama saya tidak menulis cerita tentang jalan-jalan karena memang baru kemarin (30 Desember 2015) dan juga hari ini saya sempat untuk melakukannya. Memang sempat saya bersepeda dari Jogja ke Solo beberapa minggu lalu, tetapi karena tidak segera saya tulis maka cerita itu menjadi semacam basi untuk dituliskan. Kali ini saya ingin berbagi cerita tentang pengalaman saya ke dataran tinggi Dieng, Wonosobo. Pasti banyak dari kalian sudah mendengar nama tempat ini atau bahkan sudah pernah ke sana. Ya, saya pun akhirnya dapat ke sana setelah menunggu ada waktu dan keuangan yang tepat.

   Sejak sebelum saya tes SBMPTN saya ingin sekali ke Dieng. Saya rasa itu karena saya banyak mendengar nama tempat ini, baik dari televisi atau teman-teman, sehingga kehendak itu semakin kuat. Akhirnya kemarin secara tiba-tiba ada rezeki yang bisa dibilang lumayan banyak. Dan, oleh karena bertepatan dengan masa kosong jadwal UAS, siang hari saya segera memutuskan pergi ke Dieng setelah bermain-main di sekretariat Gamaband bersama Bhima dan Reynaldo. Awalnya saya mengajak Bhima. Sudah sebelum bulan Desember lalu ia saya ajak, juga bersama dengan Dito. Tapi, Bhima tidak mau dan Dito entah bagaimana kabarnya. Jadi, siang itu saya berangkat sendiri.

    Setelah pulang dari sana, saya diantar Bhima pulang ke tempat kos. Lalu, saya mengajak Mas Fadli. Biasanya ia mau jika diajak berjalan-jalan seperti ini. Benar, dia mau, tapi tidak bisa hari itu. Akhirnya benar-benar saya pergi sendiri karena kalau saya menundanya terus-menerus maka saya takut tidak ada waktu atau tidak ada biaya, mungkin juga tidak ada keduanya. Saya segera mandi. Setelah itu, saya mengemasi berbagai keperluan, seperti perlengkapan mandi, buku catatan, earphone, bolpoin, baju, dompet beserta isinya, dan buku Inkonfeso. Pada akhirnya, semua yang saya bawa itu tidak saya gunakan sampai saya pulang, kecuali perlengkapan mandi.

    Dari tempat kos, saya berjalan ke halte bus Trans Jogja di Jalan Colombo, depan Universitas Negeri Yogyakarta. Sebelum ke halte, saya membeli pulsa untuk paketan internet. Hal itu penting bagi siapa saja yang ini bepergian. Minimal, paketan itu digunakan sebagai informasi tempat tujuan atau peta dengan menggunakan Google Maps seperti yang saya lakukan. Tujuan saya adalah Terminal Jombor. Saya naik bus berkode 2A. Untuk biaya, naik bus Trans Jogja ke segala jurusan adalah sama saja, yakni Rp. 3.600,-. Ketika saya naik, saya lihat jam menunjukkan pukul 14.20. Jadi, saya menghitung keberangkatan saya mulai itu. Meski mengalami sedikit kemacetan di daerah Gejayan, tapi perjalanan ke Jombor lancar. Itu adalah pertama kali saya ke Terminal Jombor; saya biasanya naik atau turun di Terminal Giwangan. Bukan hanya itu, keseluruhan perjalanan ke Dieng ini adalah pertama kali bagi saya. Oleh karena itu, saya merasa bersemangat bercampur bingung. Oh iya, sebelumnya saya juga sempat browsing tentang bagaimana cara menuju ke Dieng dari Jogja. Jadi, saya sudah tahu arah mana saja yang akan saya tuju.

    Saya turun di Terminal Jombor. Saya segera mencari bus jurusan Magelang. Tidak lama berjalan, saya menemukan papan yang menginformasikan tempat menunggu penumpang bus jurusan Magelang. Untuk sekadar memastikan, saya bertanya kepada seorang di sana.

    "Pak, ini bus yang ke Magelang, ya?"

    "Iya, naik saja. Ini."

     Beberapa lama akhirnya saya menyadari bahwa orang tadi adalah kondektur bus yang saya naiki.

    Saya lupa belum membeli minuman. Ketika ada pedagang asongan lewat, saya membeli Aqua pada orang itu. Tak lama setelah itu bus mulai beroperasi. Berangkatlah saya menuju Magelang sambil melihat Google Maps beberapa kali. Bus ini melewati Jalan Magelang-Jogja, jalan utama yang menghubungkan Jogja dengan Magelang. Tarifnya Rp. 12.000,-. Sempat berhenti sebentar di Terminal  Prajitno, Muntilan. Setelah itu, bus berjalan lagi. Nah, setelah keluar dari terminal itu saya menemukan hal unik. Terlihat baliho berisi gambar Bupati dan Wakil Bupati Magelang. Uniknya, mereka mempunyai nama yang sama, yaitu Zaenal Arifin. Sepertinya mereka adalah bupati dan wakil bupati pertama yang memiliki kesamaan nama.

    Berlanjut pada perjalanan. Perjalanan ke Magelang membutuhkan waktu sekitar satu setengah jam. Tidak terlalu lama sebenarnya, hanya terkendala sedikit kemacetan. Akhirnya, saya sampai di Terminal Tidar, Magelang. Sekali lagi saya menggunakan "malu bertanya sesat di jalan". Saya bertanya kepada seorang kondektur tentang letak bus yang akan menuju Wonosobo. Ternyata itu ada di ujung selatan. Saya segera ke sana.

    Bus ke Wonosobo ini tidaklah sebesar bus dari Jogja ke Magelang tadi dan juga sedikit lebih kecil dari bus Puspa Indah di Malang; barangkali ada yang pernah tinggal di Malang.

    "Pak, ini ke Wonosobo?"

    "Ya, Wonosobo."

    Saya naik ke bus itu. Setelah menunggu agak lama dan penumpang juga cukup banyak, kami dialihkan ke bus yang lain dengan alasan bus pertama tadi sudah dipesan orang. Lah, kalau sudah dipesan, kenapa ada di sana? Saya dan penumpang lain pindah. Bus yang ini tidak lebih bagus dari bus yang pertama, tapi mau bagaimana lagi. Tidak butuh waktu lama; bus berangkat.

    Bus disesaki para penumpang. Sebagian besar penumpang adalah perempuan. Mulai dari ibu kantoran, penjual sayuran, mahasiswi ada di sana. Saya sempat dilihati dengan tatapan sinis oleh seorang ibu. Mungkin karena wajah saya seram, apalagi dengan rambut yang belum dipotong selama tiga bulan dan kumis yang belum dicukur selama beberapa hari. Tak apalah, cinta terkadang datang dari tatapan sinis. Sinis-sinis manis. Apa sih.

    Tiba-tiba hujan turun sangat deras. Terasa menjadi lebih dingin. Suasana seperti itu mengingatkan ketika saya setiap pekan pulang dari Batu ke Ngantang saat SMA. Hampir mirip. Oh iya, tarif dari Magelang ke Wonosobo adalah Rp. 15.000,-. Sesungguhnya tarif jurusan ini (Magelang-Wonosobo) tidak konsisten. Kenapa? Nanti saya ceritakan.

    Memasuki Temanggung. Saya merasa cukup kagum dengan Temanggung karena jalanannya lumayan bersih, terutama daerah kota, hampir saya tak melihat satu sampahpun.

    Yang seru adalah saat memasuki Wonosobo. Mulai terasa lebih dingin dan daerahnya berupa semacam lereng bukit. Kalau pernah ke daerah Selecta atau Cangar di Kota Batu, seperti itulah keadaannya. Penerangan jalan cukup baik. Di sanalah saya baru tahu tentang nama Carica, makanan khas Wonosobo. Untuk bentuk dan rasanya, saya belum tahu pasti.

    Berkali-kali saya membuka Google Maps. Ternyata Magelang-Wonosobo mengambil rute terjauh dari yang ada, yaitu ke arah utara Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing. Sebenarnya ada rute yang lebih dekat dan perkiraan waktunya cukup pendek. Mungkin dengan pengambilan rute panjang itu diharapkan semakin banyak penumpang. Bukankah yang dekat belum tentu baik dan yang jauh selalu menggoda? Eh. Saya ingat ketika saya melewati Pasar Legi di Parakan, itu pukul 17.28.

    Awalnya saya merasa agak aneh karena bus terus melaju padahal Terminal Wonosobo (Terminal Mendolo) sudah terlewat. Ah, saya biarkan saja. Akhirnya saya dan penumpang lain diturunkan di sebuah jalan yang membentuk huruf "x". Saya lupa nama jalannya. Saya bertanya kepada salah seorang tukang ojek yang ada di sana.

    "Pak, kalau mau ke Dieng naik apa, ya? Dari mana?"

    "Wah, kalau jam segini sudah habis. Itu ke arah sana. Naik ojek saja Rp. 25.000,-."

    Saya berpikir sejenak. Menurut inormasi yang saya baca di internet, biaya dari Wonosobo ke Dieng sekitar Rp. 10.000,- sampai Rp. 15.000,-. Kalau saya naik ojek, berarti saya rugi. Oleh karena itu, saya bertanya pertanyaan lain.

    "Kalau terminal yang biasanya tempat berangkat bus ke Dieng di mana, Pak?"

    "Di sana. Dekat pasar. Tapi, jam segini sudah tutup."

    "Ya, tidak apa-apa, Pak. Saya ke sana saja. Terima kasih, Pak."

    Saya berjalan ke arah yang ditunjukkan. Karena belum juga saya menemukan, saya bertanya kepada orang lain. Ia mengatakan bahwa terminalnya ada di dekat pasar, seteah rumah sakit. Saya berjalan lurus saja sesuai perintahnya. Akhirnya saya menemukan rumah sakit. Dari arah saya, saya belok kanan. Saya menemukannya.

Terminal Mikro Bus


    Ya, sudah. Mau apa lagi? Saya duduk di sana sebentar kemudian saya mencari masjid untuk salat isya sebentar. Saya sampai di tempat itu pukul 19.20. Setelah dari masjid, saya kembali ke sana. Saya lapar. Saya mencari makan di sekitar sana. Di area rumah sakit sebenarnya terdapat banyak warung, tetapi ramai. Saya mencari ke jalan lain. Saya menemukan warung soto dan saya makan di sana. Tahukah berapa harga satu mangkok soto (termasuk nasi) dan satu gelas teh hangat? Rp. 25.000,-. Luar biasa. Harga paling mahal yang pernah saya temui. Jauh lebih mahal dari soto yang pernah saya makan di Terminal Purabaya sewaktu perjalanan ke Jogja untuk tes SBMPTN. Tapi, saya juga sadar. Ini hasil kecerobohan saya.

1. Saya lupa kalau setiap warung yang ramai pasti harganya lebih murah dan saya memilih yang benar-benar sepi.
2. Saya tidak bertanya dulu berapa harganya sebelum membeli.

    Sesudah dari sana, saya mencari tempat yang bisa digunakan untuk beristirahat. Setiap ada masjid, pasti selalu dikunci. Akhirnya saya kembali ke terminal tadi. Ada bangku panjang untuk penumpang. Saya beristirahat di sana. Dingin. Saya tidak bisa tidur. Hasilnya, saya malah membuka telepon genggam dan menunggu waktu sangat lama.



    Entah mendapat bisikan dari mana, saya iseng mencari Stasiun Wonosobo di Google. Saya mengira di sana tidak ada jalur kereta. Tapi, saya salah. Ada, tapi tidak lagi difungsikan. Setelah saya cari tahu lebih dalam, saya agak terkejut karena tempat yang saya gunakan untuk istirahat itulah Stasiun Wonosobo yang tidak lagi terawat dan beralih fungsi. Sayang sekali, padahal menurut yang saya baca, Sukarno pernah naik kereta dan turun di Stasiun Wonosobo ketika jalur kereta di sana masih aktif. Berarti itu adalah tempat bersejarah sebenarnya.

    Saya sebal karena waktu itu berjalan sangat lama. Lama-lama, saya tertidur. Ketika saya bangun, saya kira sudah tidur lama, tapi ternyata hanya tidur tiga puluh menit saja. Menyebalkan. Beruntung daya baterai telepon genggam saya lumayan kuat, jadi saya bisa bermain telepon genggam sangat lama.

    Menjelang subuh, saya mulai lapar lagi. Maklum, soto mahal itu porsinya hanya sedikit. Saya bangun dan mencari makanan. Beruntunglah ada orang yang berjualan roti bakar, salah satu makanan favorit saya. Seperti anak kos pada umumnya, saya memilih harga yang paling murah, yaitu Rp. 8.000. Saya makan beberapa bagian; sisanya saya simpan di dalam tas.

    Subuh usai. Sampai menjelang pukul 05.00 belum ada bus yang bersiap. Saya mulai curiga, jangan-jangan bus ke Dieng tidak berangkat dari sana. Kebetulan ada seorang ibu yang lewat. Saya bertanya tentang bus ke Dieng. Ditunjuklah sebuah arah oleh beliau. Saya mengikuti arahannya.

    Berjalan dan terus berjalan hingga bertemu dengan tukang ojek.

    "Pak, kalau bus ke Dieng lewat mana, ya?" tanya saya.

    "Ya, biasanya lewat sini. Tapi, biasanya kalau pagi jam seperti ini lewat perempatan yang di sana. Atau, nanti kamu ke perempatan di sana lalu belok kiri sampai ada perempatan lagi. Pasti ada."

    Benar apa kata bapak itu. Saya baru menemui bus jurusan Dieng di perempatan kedua. Perempatan pertama itu ialah alun-alun.

     Unik sekali bus jurusan Dieng itu. Tidak hanya untuk memuat penumpang, tetapi juga barang dagangan. Jika hanya seikat atau dua ikat sayur tidak masalah. Lah, di atas bus ini ada dua atau empat kasur kalau tidak salah. Di dalamnya diisi tahu dua puluhan keranjang. Cukup sampai di situ? Tidak. Setelah saya naik ke dalamnya bersama penumpang lain dan bus berjalan, bus itu masih melayani pedagang lain yang barang dagangannya ditaruh di dalam bus. Itu bus besar? Bukan, itu bus kecil, sama ukurannya dengan bus Magelang-Wonosobo tadi.

 
Bus pemuat segala. Mantap!


Tambah lagi di samping saya.
 

    Saya disuguhi pemandangan indah selama perjalanan menuju Dieng. Saya bisa melihat matahari terbit tanpa harus naik ke puncak gunung karena tempat saya berada dengan bus itu sudah sangat tinggi. Ongkos ke Dieng dengan naik bus adalah Rp. 20.000,-.

     Perjalanan terasa cepat. Saya diturunkan tepat di depan tulisan "Dieng". Ada dua arah. Yang pertama ke Telaga Warna dan yang kedua ke area candi. Saya memulainya dari area candi, lebih tepatnya kompleks Candi Arjuna. Di dekat sana ada toilet umum. Saya menyempatkan untuk mandi. Airnya sangat dingin. Tidak hanya air, juga udaranya.




    Setelah puas mengelilingi area candi. Saya melanjutkan ke Telaga Warna. Saya pikir ini adalah jalan-jalan santai yang perlu dinikmati, jadi saya memilih untuk ke objek-objek wisata Dieng tersebut dengan berjalan kaki.

Jalan menuju Telaga Warna. Nama jalan ini adalah Jalan Telaga Warna.
Melewati perkebunan wortel petani.
Telaga Warna. Karcis masuk pada hari biasa adalah Rp. 5.000,- per satu orang.
Istirahat dulu, ya. Sepatu putih yang tinggal namanya.

FYI (walaupun tidak sesuai dengan fotonya): Di Telaga Warna, ada juga Goa Semar dan goa yang berisi air yang dikeramatkan. Barangkali bisa menjadi referensi untuk yang akan penelitian sejarah atau karya tulis lain.

    Cukup. Saya menjutkan ke Kawah Sikidang. Berjalan agak lumayan jauh, tapi tetap semangat.

Pipa saluran uap panas.
Ini kawahnya. Itu cairan mendidih, loh. Jangan tanya bagaimana baunya. Ada penjual telur rebus, merebusnya langsung di kawah.
Itu ada anak kecil nangis. Takut turun. :D
    Cuaca tiba-tiba menjadi kurang bersahabat. Mendung. Saya segera menuju arah pulang. Sebenarnya saya ingin bermalam di sana, tapi tidak jadi karena keuangan menipis dan ada yang harus saya selesaikan di kos.

    Saya pulang dengan bus jurusan Wonosobo yang ngetem di jalur utama. Menunggu sangat lama, bahkan lebih lama dari ngetem lain yang pernah saya rasakan. Ketika bus berjalan, sopir sering turun entah untuk apa. Ini membuat beberapa penumpang kesal. Biayanya Rp. 20.000,-.

    Saya turun di jalur berbentuk "x". Di sana saya pindah ke bus lain jurusan Terminal Wonosobo. Tarifnya Rp. 3.000,-. Saya diturunkan di depan terminal. Saya menunggu bus jurusan Magelang di sana.

    Ada keaneahan tentang tarif. Ketika saya naik bus Wonosobo-Magelang, tarifnya Rp. 15.000,-. Tetapi, ketika naik Magelang-Wonosobo tarifnya tiba-tiba mahal. Tebak, berapa? Rp. 25.000,-. Sangat mahal. Padahal rutenya sama. Ini yang saya sebut sebagai ketidakkonsistenan tarif tadi. Memang, saya mendapat bus ukuran besar, tapi apakah karena itu tarif menjadi mahal dan selisihnya sangat besar? Ya, saya bisa apa untuk hal itu. Biarlah.

    Saya banyak tertidur selama perjalanan pulang. Jadi, saya tidak bisa bercerita banyak. Mungkin karena kurang tidur pada waktu sebelum ke Dieng. Begitu pula ketika perjalanan dari Magelang ke Jogja (Jombor). Ketika saya bangun, bus sedang melaju di tengah jalur yang tidak biasa. Mungkin karena memang macet di jalur utama. Tak lama setelah itu saya sampai di Jombor. Saya mencari halte Trans Jogja. Saya naik bus berkode 2B. Saya turun di depan UNY. Sisanya saya berjalan sampai ke tempat kos.

    Foto-foto di atas tidak mengambil dari Google atau situs manapun. Saya mengambil menggunakan telepon genggam saya dengan kameranya yang beresolusi hanya 8 MP dan sedikit efek. Jadi, bukan DSLR atau kamera para fotografer andal. Jika ada yang bagus, maka itu karena objeknya memang bagus. Jika kurang bagus, itu karena saya kurang bisa fotografi. Hehe. Yang jelas jika ingin mengambil foto-foto di atas silakan saja. Meski yang memfoto saya, yang punya bukan saya. Aku mah apa atuh cuma manusia. :)

    Terima kasih telah berkenan membaca. Semoga bermanfaat. Mari melancong.

Komentar

  1. Nice share gan...
    Pergi sendiri itu seperti apa ya rasanya hhe

    BalasHapus

Posting Komentar