Menjelajah Sebagian Jogja dengan Yunaz

   "Jika Anda ingin berjalan lebih cepat, berjalanlah sendiri. Tapi, jika Anda ingin berjalan lebih jauh, berjalanlah bersama-sama."

   Saya selalu meyakini pepatah Afrika itu. Mungkin tidak hanya berjalan lebih jauh, tapi dengan berjalan bersama-sama juga akan merasakan kesan yang lebih dalam tentang perjalanan. Dalam dua hari lalu dan hari ini, pepatah itu seperti kembali muncul ke permukaan setelah sekian lama terasing.

   Hari Jumat lalu saya kedatangan Yunaz, salah satu teman seperjuangan saat tes seleksi masuk PTN 2015 di Jogja. Setelah kurang lebih delapan bulan, akhirnya ia kembali menginjakkan kaki di Jogja. Betapa senang bagi seorang yang menginjakkan kaki kembali di kota kenangan.

   Jauh sebelum ini, kira-kira bulan Desember lalu, ia dan saya sudah membuat suatu rencana bahwa kami akan mendaki Merapi. Ia sangat penasaran dengan gunung tersebut. Masih simpang siur antara Merapi atau Merbabu.

   Perencanaan lewat dunia maya itu berlanjut ketika kami mengadakan sosialisasi kampus di Batu. Kami berjumpa di sana. Selain untuk sosialisasi kampus, kami juga membicarakan rencana tadi. Dengan keadaan masih musim hujan, rencana mendaki Merapi sepertinya akan berubah, namun rencana ke Jogja masih tetap. Ia menjadwalkan akan pergi ke Jogja pada tanggal 1 Februari bersama saya. Namun, pada minggu akhir Januari, saya harus pergi lebih dahulu ke Jogja karena akan mengurus KRS (Kartu Rencana Studi) Semester II. Saya kembali pada 27 Januari. Setelah itu, Yunaz mengirim pesan bahwa ia akan ke Jogja pada hari Kamis di minggu kedua dari Februari. Hari demi hari berlalu hingga pada awal Februari ia memberi kepastian bahwa akan berangkat pada 11 Februari antara dengan kereta atau bus. Akhirnya, satu minggu sebelum tanggal 11, ia membeli tiket kereta; ia menunjukkan tiket itu kepada saya lewat foto di percakapan Line. Tertera jadwal bahwa ia akan berangkat dari Malang sekitar pukul 20.15 dan sampai Jogja pada 03.57. Kebetulan kereta sedang ada diskon. Malang - Jogja hanya Rp. 56.000,- menggunakan kereta Malioboro Ekspress.

   Sesuai jadwal, Yunaz berangkat tanggal 11 dengan menggunakan kereta. Ia mengabari saya lewat Line ketika ia berangkat. Karena ia turun di Stasiun Yogyakarta (Tugu), saya meminta ia untuk menunggu di pintu keluar ketika sampai nanti; saya akan menjemputnya. Pada tengah malam, saya menanyakan di mana ia sampai. Ia menjawab bahwa ia sudah melewati Kertosono. Perkiraan saya adalah ia sudah sampai di sekitar Madiun. Ketika ia sampai di Solo, ia memberi kabar lagi.


   12 Februari 2016

   Akhirnya, Yunaz sampai di Stasiun Tugu sekitar pukul 04.30. Saya baru sadar jika keretanya telat ketika sudah menjemputnya. Ia mengabari saya bahwa ia sudah sampai. Saya segera berganti pakaian dan menyiapkan sepeda motor. Saya meminjam motor milik teman sebelah kamar saya, Bayu; saya meminjamnya pada tanggal 11 malam. Ternyata di luar sedang hujan, tetapi tidak begitu deras. Kebetulan saya melihat jas hujan milik Mas Fadli dan ia tepat berjalan ke arah saya. Segera saja saya meminjam jas hujan itu. Pergilah saya dengan mengenakan jas hujan dengan bersepeda motor, lengkap dengan helm dan STNK-nya agar aman.
   Jalanan begitu sepi dan udara cukup dingin. Saya melewati Jalan Mangkubumi, turun memutar ke Jalan Pasar Kembang. Di sanalah pintu keluar Stasiun Tugu. Dengan sedikit melambat, saya memerhatikan daerah pintu keluar. Saya berhenti di depan pos polisi stasiun. Ada panggilan masuk dari Yunaz lewat Line; segera saya angkat. Ia sudah di kantor pos. Saya melihat ke arah belakang; ternyata benar ada kantor pos. Saya memutar balik. Terlihat seseorang dengan topi ala seniman dan tas besar. Dugaan saya tepat; itu adalah Yunaz. Kami bereaksi bagai teman lama yang tidak bertemu -padahal baru kurang dari sebulan lalu bertemu. Lekas ia naik dan kami menuju tempat indekos saya di daerah UGM. Mulai tulisan sebelumnya, saya menggunakan kata "indekos" yang biasa disebut "kos-kosan" karena yang baku adalah "indekos" menurut KBBI.

   Sepuluh menit dari sana; kami tiba. Saya segera menaruh sepeda motor dan jas hujan ke tempat semula, juga mengembalikan kunci dan STNK ke Bayu. Setelah itu, kami ke kamar. Di sana kami saling bercerita tentang kabar. Tak lama setelah itu, saya mengajak Yunaz berjalan-jalan di area UGM. Kami melewati depan Kosudgama lalu ke gerbang utama UGM. Terlihat Yunaz sangat senang memasuki kampus yang dulu menjadi impiannya itu dan sampai saat ini tetap menjadi impian. Kami saling membicarakan tentang kampus kami. Dari jalanan sekitar gerbang utama, saya mengajaknya ke Fakultas Ilmu Budaya. Kami masuk ke dalamnya. Beruntung itu masih sekitar pukul 05.45; belum ada aktivitas perkuliahan. Kami memakai kaus dan celana pendek. Malu juga kalau sampai bertemu dengan para mahasiswa yang berpakaian rapi. Hampir setiap sudut FIB kami jelajahi hingga kami berhenti sebentar di salah satu gedung di FIB. Tertulis "Jurusan Arkeologi" di salah satu pintu di sana. Yunaz yang sangat suka dengan dunia arkeologi berfoto di tulisan itu. Karena saat ini kami merasa belum berkuliah di jurusan yang benar-benar sesuai dan berpikir bahwa cita-cita harus dikejar, seperti saya yang jatuh cinta dengan dunia sastra Indonesia dan Yunaz dengan arkeologi, kemungkinan kami akan mencoba mengejar cita-cita kami tahun ini. Itulah mengapa saat bertemu tulisan tersebut, Yunaz menyempatkan berfoto agar menjadikan semangat bisa meraih cita-citanya.


   Dari sana, kami keluar ke depan FIB dan disambut oleh Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB). Yunaz mengambil foto gedung FEB untuk dikirim ke Nafizal yang sangat ingin masuk Manajemen UGM. Kami melewati Kantin Humaniora (Bonbin), Fakultas Filsafat, dan Fakultas Psikologi, lalu kembali ke tempat indekos. Kebetulan kami belum makan pagi. Jadi, setelah berkeliling sebagian area UGM, kami ke warung makan untuk sarapan. Kemudian, kami kembali lagi ke kamar. Yunaz beristirahat.


   Hari itu saya berkuliah matakuliah Filsafat Teknologi pukul 09.30. Saya mengajak Yunaz untuk ikut berkuliah pada awalnya. Ia mau. Tapi, ternyata air di tempat saya sedang mati karena ada kerusakan dan sedang diperbaiki. Di dalam bak hanya cukup untuk satu orang. Yunaz akhirnya tidak jadi ikut.

   Mungkin karena kuliah perdana, hari itu kuliah pulang lebih awal dari jadwal. Saya segera kembali ke indekos. Sambil menunggu waktu salat Jumat, saya dan Yunaz berbicara tentang apa saja yang akan dilakukan. Sudah diketahui bahwa ini masih dalam musim hujan, pun daerah Merapi atau Merbabu. Jadi, kami memutuskan untuk tidak mendaki karena risiko yang besar dan Yunaz juga tidak membawa perlengkapan untuk mendaki. Ia bilang liburan kali ini akan digunakan menjelajahi Jogja. Yunaz tidak bisa berlama-lama di sini karena ada kegiatan kampus pada tanggal 15 di Surabaya. Suara dari masjid terdengar; kami segera pergi untuk salat Jumat.

   Setelah salat, kami bingung ingin ke mana. Mumpung kami sedang tidak terikat jadwal apapun dan Yunaz ingin berjalan-jalan, kami saling bicara tentang tempat-tempat yang bisa kami kunjungi. Saya mengusulkan ke Dieng, tapi Yunaz tidak mau. Yunaz teringat di tempat saya ada dua sepeda. Yunaz mengusulkan untuk bersepeda keliling Jogja pada sore hari. Kami sepakat.

   Dalam penantian menuju sore, sambil makan siang yang kami bawa pulang dari warung sebelah indekos, kami saling bercerita tentang cita-cita kami. Di salah satu pembicaraan, saya teringat dengan salah satu teman saya. Ini adalah teman yang paling saya kagumi karena kisah hidupnya yang luar biasa. Saya dan Yunaz berbincang tentang ini. Karena saya cukup tahu perjalanan hidupnya semasa sekolah meski tidak begitu dekat, saya bercerita kepada Yunaz tentang suatu kejadian tentangnya. Sebenarnya Yunaz juga mengenal dia, tapi mungkin tidak sedekat saya mengenalnya. Kalau dipikir-pikir, cerita saya, Yunaz, dan Nafizal memasuki perguruan tinggi tidak ada apa-apanya dibanding kisah teman saya ini yang berhasil meraih cita-citanya ketika berbagai "musibah besar" datang di hidupnya. Kisahnya menjadi inspirasi di salah satu cerita dalam novel saya: Valensi. Terima kasih untuk teman saya ini; suatu saat saya akan bercerita lebih jelas mengapa saya sangat kagum dengannya.

   Setelah salat asar, kami mulai untuk bersepeda. Saya mengajak Yunaz untuk melewati jalan-jalan yang menjadi kenangan ketika dulu pertama kali kami dan Nafizal ke sini. Kami memulai dari Jalan Olahraga kemudian ke Jalan Agro. Karena Yunaz ingin ke Kopma UGM, kami lewat Jalan Persatuan. Sampailah kami di Kopma UGM dan mampir di sana untuk melihat berbagai cendera mata. Setelah dari Kopma, kami melanjutkan perjalanan melewati Jalan C. Simanjuntak. Di sanalah ada tempat kami menginap saat tes UTUL UGM. Kami menyempatkan ke sana.


   Berlanjut ke arah SMA Stella Duce 1, tempat Yunaz tes UTUL UGM. Kami melewati Balai Bahasa DIY, Kolese St. Ignatius, lalu ke Jalan Malioboro. Seperti biasa, Malioboro tidak pernah sepi dari wisatawan dan pedagang. Hampir semua tempat di Jogja ramai, tapi yang paling ramai adalah Malioboro. Salah satu hal yang saya suka dari Jogja meski ramai adalah masih tetap diperhatikan dan dihormatinya pejalan kaki dan pesepeda. Untuk pesepeda, sudah disediakan jalur sendiri dengan batas berwarna kuning sehingga tidak ada pengguna sepeda motor atau mobil yang tidak mendahulukan pesepeda. Meski pesepeda tidak ada di dalam jalur itu dan ikut di jalur kendaraan umum, masih tetap dihormati asal tidak berhenti di tengah jalan atau melakukan tindakan tidak wajar lainnya.

   Setelah dari Malioboro, kami melewati keraton dan alun-alun utara. Alun-alun utara lebih besar dari alun-alun selatan tetapi tidak lebih ramai dari alun-alun selatan. Kemudian, saya mengajak Yunaz melewati area Taman Sari. Jujur saya sangat suka dengan tempat ini karena selain bangunannya yang unik, sejarahnya pun sangat menarik, yaitu tentang konsep awal semacam istana yang sebenarnya sangat luas dan kini hanya tersisa sedikit dengan dipenuhi permukiman warga. Yunaz juga jelas suka dengan tempat semacam ini.

   Awalnya kami mencoba masuk dari pintu utama Taman Sari. Kami mencoba mencari jalan yang bisa dilalui sepeda. Ternyata tidak ada. Akhirnya, kami ke alun-alun selatan dahulu. Kami hanya berkeliling satu kali di alun-alun selatan kemudian kembali ke area Taman Sari. Kami mencoba lewat dari Pasar Ngasem. Ternyata di sana juga tidak bisa dilalui sepeda. Akhirnya, secara tidak sengaja saya menemui jalan yang bisa dilalui sepeda, masuk ke permukiman. Rasanya cukup aneh melihat bangunan bernilai historis tinggi semacam itu tergusur oleh permukiman warga. Tapi, di sisi lain memang kebutuhan tempat tinggal juga menjadi hal yang pokok bagi warga. Kami mengunjungi setiap celah berupa jalan sempit yang mungkin tidak banyak wisatawan kunjungi.

Salah satu sudut Taman Sari

   Setelah dari sana, kami pulang ke tempat awal. Kami melewati tempat pusat jajanan bakpia pathok. Kami melewati daerah Dagen dan kembali ke Jalan Malioboro. Dari Malioboro, kami belok ke kiri melewati Taman Pintar lalu ke kiri lagi. Berlanjut sampai melewati perlintasan stasiun Lempuyangan, Kridosono, Gramedia, dan membeli roti bakar kesukaan saya di Jalan Cik Di Tiro. Hanya menunggu tidak sampai lima menit; roti bakar sudah siap terbungkus dengan baik. Kami melanjutkan perjalanan pulang lewat bunderan UGM, masuk kampus UGM, dan keluar lewat Fakultas Psikologi, berakhir di tempat indekos yang tak jauh dari sana. Kami sampai pada sekitar pukul 19.00.

   Karena tidak sabar dan sekalian kotor, kami makan roti bakar itu sebelum mandi. Setelah habis, kami bergantian mandi. Malam hari itu ditutup dengan melihat video pembelajaran Zenius sebagai bekal "perjuangan". Hehehe. Itu semua baru hari pertama.


   13 Februari 2016

   Hari Sabtu inilah hari yang padat. Mengawali pagi dengan makan di warung biasanya. Kemudian, kami melihat video Zenius sebentar.

   "Naz, nangndi ki? (akan ke mana ini?)" tanya saya kepada Yunaz.

   "Wah, sik sik. Nangndi enake? Keliling Jogja ae, lho. (Sebentar. Ke mana enaknya? Keliling Jogja saja.)"

   "Kulon Progo, a?"

   "Sik sik. Kate nangndi nang kono? (Sebentar. Mau ke mana di sana?)"

   Saya mencari informasi objek wisata di Kulon Progo melalui Google. Muncullah di daftar pencarian pertama dengan judul "12 Obyek Wisata Menarik di Kulon Progo". Sekilas saya lihat satu per satu. Saya bilang ke Yunaz bahwa yang menarik adalah Waduk Sermo, Air Terjun Grojogan Sewu, dan Kebun Teh Nglinggo. Ketika saya sebut yang terakhir, Yunaz tertarik. Setelah sepakat, kami bergantian segera mandi. Setelah mandi dan berganti pakaian, kami berangkat.

   Untuk memudahkan perjalanan, kami menyewa sepeda motor di tempat persewaan di daerah Karang Malang. Kami mendapat sepeda motor Nex. Biaya untuk menyewa 12 jam adalah Rp. 25.000,-, termasuk dua buah helm, STNK, dan tentu saja kuncinya. Rupanya bensin di motor itu sudah habis. Kami segera menuju tempat pengisian BBM di daerah Sagan. Setelah mengisi sepeda motor dengan bahan bakarnya dan membuka Google Maps untuk penunjuk arah, kami berangkat. Yunaz sebagai pengemudi; saya sebagai pengarah. Jarak yang ditunjukkan di Google Maps antara titik awal kami sampai Kebun Teh Nglinggo adalah 47 kilometer. Beruntung ada Google Maps. Saya mencoba membayangkan bagaimana orang zaman dahulu bepergian tanpa ada Google Maps, bahkan penunjuk arah yang berwarna hijau di dekat lampu lalu lintas tidak ada. Bagaimana sebuah kerajaan berpindah dari Jawa Tengah ke Jawa Timur tanpa tersesat? Mungkinkah mereka sempat tersesat? Atau, mereka hanya asal-asalan memilih tempat?

   Perjalanan ini terasa sangat menyedihkan cenderung banyak jalur lurus. Tetapi, mulai memasuki Kulon Progo -dengan daerah yang kami tuju, jalanan mulai menanjak. Ada sesuatu yang unik sepanjang jalan dari memasuki Kulon Progo sampai daerah masuk kebun teh, yaitu sungai yang berwarna biru. Unik karena baru kali ini saya melihat sungai yang benar-benar berwarna biru atau lebih tepatnya biru muda dan bersih; padahal kebanyakan sungai berwarna kecokelatan dan bersampah.

   Memasuki area kebun teh, jalan menjadi sedikit sempit. Sempit dan menanjak. Itu seperti menaiki gunung menggunakan sepeda motor. Beruntung sepeda motor kami kuat untuk menanjak meski kecil dan enteng. Kami berhenti di sebuah masjid yang ternyata dekat dengan kebun teh. Hawa di sana cukup dingin. Karena tidak ada air untuk wudu, kami bertayamum. Ini adalah pertama kali saya bertayamum. Setelah salat, kami melanjutkan perjalanan. Di peta, titik lokasi kebun teh masih jauh, sedangkan di sana terlihat jelas penunjuk arah bahwa kebuh teh di dekat sana. Karena kebingungan, kami bertanya pada seorang ibu. Ia berkata bahwa kebun teh di dekat situ. Lalu, kami turun mengikuti tanda, juga mencari tempat parkirnya. Seratus meter dari sana kabut tebal mulai menyelimuti. Gerimis berganti hujan lebat. Kami segera memutar balik menuju masjid tadi. Di sana kami bertemu dengan orang-orang yang akan ke kebun teh juga.

   Kurang lebih lima menit berteduh; hujan reda. Dari kabut menjadi bercahaya. Saya dan Yunaz kembali turun untuk mencari jalan masuk kebun teh dan parkiran. Dua ratus meter dari masjid ada parkiran sekaligus rumah terakhir. Tapi, itu bukan parkiran kebun teh. Itu adalah parkiran Puncak Widosari. Tidak seperti harga parkir di beberapa wisata yang mahal, di sana tetap Rp. 2.000,-. Saya dan Yunaz segera menuju Puncak Widosari.

   Untuk mencapai puncak tidaklah sulit. Sudah ada anak tangga yang mungkin dibuat oleh penduduk sekitar. Jaraknya dari parkiran pun relatif dekat. Tidak sampai sepuluh menit, kami sudah sampai di puncak.


Hati-hati, Mas. Awas jatuh ke gebetan jurang.
   Hampir tiga puluh menit kami di sana. Kami turun dan kembali ke parkiran. Sebelum sampai di parkiran, Yunaz mengajak saya untuk meminum teh. Saya setuju. Sesampainya di parkiran, Yunaz memesan dua teh hangat.

   Sambil menunggu, kami melihat-lihat sekitar. Yunaz mengusulkan untuk menjelajah ke situs-situs arkeologi yang belum terlalu terkenal; saya mengusulkan untuk ke pantai. Akhirnya, saya mencari informasi situs-situs arkeologi melalui Google. Saya menemukan informasi tentang keberadaan Situs Glagah. Situs Glagah ada di Kecamatan Temon, Kulon Progo. Kami sepakat akan pergi ke sana setelah dari sana.

   Duah gelas teh hangat disajikan. Nikmat. Teh asli dari perkebunan sekitar sana. Saya awalnya menduga bahwa harga teh ini pasti mahal karena berdasarkan pengalaman, semua makanan atau minuman yang dijual di dekat tempat wisata selalu mahal. Ternyata tidak. Harga satu gelas teh tersebut seperti harga normal, yaitu Rp. 2.000,-. Yunaz kemudian bertanya kepada penjual teh tersebut. Ia menanyakan perihal teh yang masih bungkusan. Penjual tersebut segera mengambil beberapa stok. Saya dan Yunaz tertarik dengan bentuk kemasan yang berbetuk silinder. Harganya hanya Rp.5.000,-. Sementara itu, ada lagi yang bentuk kemasan berupa kemasan pada umumnya. Harganya Rp. 25.000,-. Karena tehnya sama saja, bentuk kemasan yang lebih unik, dan harga yang jauh lebih murah, Yunaz memilih untuk membeli yang berbentuk silinder. Ia membeli dua buah.

Rupa kemasan Teh Widosari. Maaf, gambar latar belakang sebenarnya diambil di sebuah warung di Pantai Glagah. Tidak sempat memfoto di parkiran Puncak Widosari.
   Setelah dari sana, kami pergi menuju Situs Glagah. Saya membuka Google Maps. Jarak dari area kebun teh ke area Situs Glagah tertulis 37 kilometer. Kami segera turun melewati sungai biru sampai ke perbatasan Kulon Progo dan Sleman. Berlanjut lurus sampai sebuah pertigaan dan kami mengambil kiri. Karena merasa salah arah, kami bertanya ke seorang warga di sana. Saya bertanya arah Kecamatan Temon. Beliau bilang sangat jauh dan beliau memberikan petunjuk arah yang juga cukup rumit untuk dipahami. Yang saya ingat adalah beliau berkata bahwa itu di dekat Wates. Wates adalah pusat pemerintahan Kulon Progo. Banyak penunjuk arah yang menuliskan "Wates". Jadi, saya ambil itu sebagai kuncinya.

   Kami berbalik arah. Karena daya telepon genggam saya tinggal sedikit, saya terpaksa harus sesekali mematikannya untuk menghemat. Oleh karena itu, saya hanya mengandalkan papan penunjuk jalan. Terlihat tulisan "Wates" dan tanda panah lurus di sebuah papan kecil. Jadi, saya arahkan Yunaz untuk lurus. Eh, ternyata yang kami temui malah area persawahan yang disusul dengan permukiman warga dan berakhir jalan buntu. Kami berbalik arah dan berhenti di sebuah tempat. Saya menghidupkan kembali telepon genggam dan melihat Google Maps. Benar saja; kami salah arah. Seharusnya tadi ke kanan dan bukan lurus. Sebelum pergi, kami membeli bensin eceran di dekat sana.

   Perjalanan dilanjutkan. Kali ini kami berada di jalan yang benar. Saya melihat papan hijau bertuliskan "Wates". Di tengah perjalanan itulah telepon genggam saya sudah berhenti "bernapas". Yunaz tidak membawa power bank. Hanya papan hijau sebagai petunjuk. Ah, manusia memang suka mencari petunjuk. Kalau petunjuk jalan ke hatimu bagaimana?

   Kami berhenti di sebuah masjid di daerah entah apa namanya. Setelah salat, Yunaz membuka Google Maps. Jarak dari tempat itu ke Kecamatan Temon masih sangat jauh. Kami menyegerakan untuk berangkat. Telepon genggamnya saya pegang; melihat Google Maps. Saya tinggal mengarahkan dan masih dibantu dengan papan hijau. Jauh dari tempat tadi, kami menjumpai keramaian. Dugaan saya bahwa kami sudah sampai di Wates ternyata benar. Kami mulai mengikuti jalan besar.

   Kira-kira pada pukul 16.10 kami tiba di titik Kecamatan Temon yang ditunjukkan di Google Maps. Yunaz masih melanjutkan perjalanan melewati titik tersebut. Kami berhenti di depan sebuah toko. Saya turun dari sepeda motor dan masuk ke dalam toko untuk bertanya tentang Situs Glagah. Penjual yang seorang nenek tidak mengerti tentang situs itu. Beruntung ada seorang ibu berumur sekitar 40 tahun mengerti. Saya diberi petunjuk yang cukup mudah dipahami. Akhirnya, saya kembali ke Yunaz dan melanjutkan perjalanan.

   Kami melewati jalan kecil di sebelah toko tersebut sampai keluar dari perkampungan yang mirip rawa dengan jarak dari toko sampai ke luar perkampungan tersebut sekitar satu kilometer. Dari sana kami belok kiri. Ibu tadi bilang ada di dekat SD. Tak lama setelah itu kami temui SD. Tapi, di mana situsnya? Kami terus saja sampai akhirnya kami bertanya lagi kepada seseorang. Ia mengatakan bahwa Situs Glagah ada seratus meter dari situ dan di depannya ada tulisan "Situs Glagah". Ya, benar. Kami menemukan situs tersebut. Ternyata situs itu adalah sebuah stupa kecil. Yunaz terlihat bahagia bisa bertemu dengan benda kesukaannya sekaligus meningkatkan semangat untuk masuk Arkeologi.


   Awalnya kami masih ingin mencari situs-situs kuno di sekitar sana, tapi karena sudah sore dan dekat dengan pantai, kami ke pantai. Sekarang saya sebagai pengemudi dan Yunaz sebagai pengarah. Pantai yang kami kunjungi adalah Pantai Glagah. Karcis masuk Pantai Glagah adalah Rp. 3.000,- per orang dan Rp. 1.000,- per sepeda motor. Cukup murah.

   Menurut saya, melihat laut dapat menciptakan ketenangan dan memberi inspirasi jika dimaknai dengan baik. Begitu masuk ke Pantai Glagah, saya disapa ombak-ombak yang cantik. Kamu yang cantik, kapan menyapa saya? Hehehe.

   Sebelum ke area pantai lebih dekat, kami memarkirkan sepeda motor. Biaya parkir Rp. 2.000,-. Kami segera menuju pantai. Sebelum itu, kami melewati warung-warung yang menual aneka makanan, terutama khas ikan laut. Ada satu makanan unik, yaitu kentucky undur-undur laut. Saya tidak melihatnya lebih detail; hanya terlihat warnanya yang kemerahan dan berbentuk seperti kepiting kecil.

   Seperti biasa, di mana saja tempat wisata berada, di situ pasti ada orang pacaran. Sepanjang jalan menuju tanjung buatan terdapat banyak orang pacaran. Saya juga baru ingat kalau itu adalah hari Sabtu. Pantas saja ramai sekali. Ada juga orang yang memancing. Juga ada yang duduk di tepi pantai atau di beton pemecah ombak. Saya dan Yunaz duduk di salah satu beton pemecah ombak.



   "Eh, tibakno iki ndek Balekambang. (Eh, ternyata ini di Balekambang)" kata Yunaz bercanda.

   "Eh, tibakno iki mek ngimpi. Aku sek ndek Malang. (Eh, ternyata ini cuma mimpi. Aku masih di Malang)" sambungnya.

   Bercandaan yang begitu khas dan tak pernah basi bagi saya: "Eh, ternyata". Sambil bercanda, saya meminjam telepon genggam Yunaz untuk memfoto sekitar.

   Karena lapar, saya dan Yunaz kembali ke deretan warung tadi. Mencari yang paling murah di sana. Kami makan soto dan minum teh hangat. Menunggu matahari tenggelam.

   Sekitar pukul 17.15 kami kembali ke bibir pantai.  Kami duduk lagi di beton pemecah ombak untuk melihat matahari terbenam. Namun, sayang sekali; matahari tertutup awan dan akhirnya yang kami tunggu tidak dapat kami lihat.


   Saat Yunaz mengunggah sebuah foto di Instagram, Mbak Rere mengomentarinya untuk meminta ID Line Yunaz; mungkin menanyakan kepastian berkumpul nanntinya. Jadi, ketika hari Jumat, saya dan Yunaz mengajak anggota Imaba Jogja untuk bertemu; mumpung Yunaz di sini. Mbak Rere ini adalah salah satu anggota Imaba Jogja.  Mungkin karena saya tidak bisa dihubungi ketika itu, maka Mbak Rere bertanya kepada Yunaz. Kami segera pulang.

   Saya suka dengan jalanan di Kulon Progo. Kondisi jalannya sangat baik. Hanya sedikit menemui lubang; itupun hanya lubang kecil.

   Perjalanan dari Pantai Glagah ke tempat kami semua akan bertemu (GOR Klebengan) sekitar satu jam setengah. Rencananya adalah saya mengemudi sampai Kota Yogyakarta dan Yunaz melanjutkan mengemudi. Tapi, karena diburu waktu dan teman-teman lain sudah berkumpul, saya lanjut sampai tempat tujuan dengan dibantu Yunaz sebagai pengarah.

   Di jalan, mulai dari Pantai Glagah, banyak hewan kecil yang terkadang tertabrak area wajah, terutama mata. Antisipasinya adalah saya meminjam kacamata Yunaz karena kaca helm saya kurang bersih sehingga tidak bisa melihat dengan jelas dan akhirnya harus membukanya. Cepat tapi tidak mengebut; sambil bercanda juga.

   Akhirnya kami sampai di GOR Klebengan sekitar pukul 20.10. Di sana sudah ada Mbak Rere, Mas Udin, Fatizha, Cipot, Almira, Mbak Azmi, dan Mbak Puji. Anggota Imaba Jogja yang lain sedang ada acara. Di sana kami semua saling bercerita, mulai dari perkuliahan hingga hal seperti makanan setiap kota (Surabaya dan Jogja). Cipot dan Mbak Rere memesan makanan. Sambil menunggu makanan datang, saya mengembalikan motor dengan diikuti Mas Udin agar saat kembali ke GOR ada tumpangan. Batas pengembalian adalah pukul 21.00.

   Ketika saya dan Mas Udin kembali, makanan sudah disiapkan. Ah, nikmat sekali bisa makan bersama di tempat terbuka. Belum lagi tak lama setelah itu Almira dan Mbak Puji membawa martabak manis atau terang bulan. Itu adalah terang bulan yang paling enak. Memang terlihat; dari kemasannya saja sudah bagus. Rasa susunya mantap, bercampur dengan cokelat manis. Saya mohon itu jangan dibayangkan; bisa menyebabkan lapar tak berkesudahan dan air liur menggenang.

   Satu hal yang tidak bisa lepas dari tempat makan di sekitar kampus UGM dan UNY adalah waria mengamen dan pengemis. Untuk waria, saya anggap saja sebagai hiburan atau bercandaan dengan teman-teman karena memang lucu. Untuk pengemis, saya agak bingung. Jadi, di Jogja ada peraturan bahwa tidak boleh memberi uang kepada pengemis. Di satu sisi, tentu sebagai manusia memiliki rasa kasihan. Tapi, di sisi hukum daerah, itu tidak diperbolehkan. Akhirnya, sering diambil keputusan oleh banyak orang bahwa asal tidak ketahuan maka tidak apa-apa untuk memberi. Saya pernah menanyakan ini kepada beberapa teman yang saya anggap sering memiliki ide penyelesaian masalah yang bagus. Ada yang menjawab bahwa para pengemis itu seharusnya diberikan pelatihan keterampilan. Ada pula yang menjawab bahwa tidak perlu memberi uang kepada pengemis karena itu akan menjadi sebuah kebiasaan. Ya, semua punya cara pandang masing-masing untuk menyelesaikan masalah dan setiap argumen memiliki kebenaran. Saya lebih setuju dengan pendapat yang pertama karena secara peraturan itu tidak ada salahnya dan secara kemanusiaan itu jauh lebih memanusiakan. Banyak dari para pengemis itu berumur berkisar di atas empat puluh tahunan. Pertanyaan saya, di mana anak-anaknya?

   Sekitar pukul 21.15 kami menyudahi acara berkumpul itu. Ketika kami hendak mengumpulkan uang, Mbak Rere mengatakan bahwa ia mentraktir semuanya. Wah, baik sekali kakak kelas yang satu ini. Mungkin ia sudah tahu jika dompet kami sedang kering kerontang. Hehehe.

   Saya kembali ke indekos diantar oleh Mas Udin. Sementara itu, Yunaz dengan Mbak Azmi. Sesampainya di indekos, saya dan Yunaz tidak segera tidur. Kami mengisi daya telepon genggam kami yang sudah habis dan hampir habis. Tiga puluh menit setelah itu, kami bersepeda ke Malioboro. Yunaz hendak mencari barang-barang antik. Ia mengatakan bahwa pada saat bersepeda ke Malioboro sebelumnya, ia melihat toko benda antik. Akhirnya, kami ke sana.

   Kami mencari toko yang dicari Yunaz dengan bersepeda perlahan di belakang becak atau dokar. Ternyata toko yang dimaksud sudah tutup. Kami berbalik arah dengan tetap bersepeda perlahan. Masih ada penjual cendera mata di tepi jalan. Yunaz mencoba menghampiri beberapa, tapi tidak menemukan yang cocok. Yunaz akhirnya memutuskan untuk membeli sebuah kaos untuk kakaknya. Hanya itu.


   Pada akhir perjalanan pulang saya ingin menunjukkan kepada Yunaz tentang sisi lain Jogja. Di balik kemewahan dalam pariwisata dan kesederhanaan orang-orangnya, ada sisi lain yang perlu di pahami. Saya mengajak ia menyusuri sebuah jalan atau gang di sekitar Malioboro sembari arah pulang. Saya dulu pertama kali lewat jalan itu secara tidak sengaja dan saya kaget. Sambil bersepeda perlahan, saya dan Yunaz menyaksikan beberapa pasangan keluar masuk gang atau berjalan di tepi jalan, juga ada yang duduk di depan hotel dan toko. Ada beberapa orang minum minuman keras di tepi jalan dengan bebas. Kami hanya tersenyum. 

   Jalanan Jogja pada malam hari sangat enak untuk dipakai bersepeda. Kami pulang lewat Tugu, Gramedia, Bunderan UGM, Sekolah Vokasi Diploma Ekonomi, dan akhirnya sampai di indekos. Karena lelah, kami beristirahat. Sebelum itu, mencuci muka dahulu.

   Yunaz akan berangkat pukul 07.00 menggunakan bus. Saat bertemu dengan Imaba Jogja, Mas Udin menawarkan untuk mengantarkan Yunaz ke Terminal Giwangan. Entah itu jadi atau tidak, saya sebisanya juga akan mengantarkan karena prinsip saya adalah ketika saya menjemput maka saya harus mengantarkan pulang juga.


   14 Januari 2016

   Ketika sedang asyik bermimpi, Yunaz membangunkan saya. Saya segera teringat jika Yunaz hendak pulang. Saya tanya ke Yunaz apakah Mas Udin jadi mengantarkan atau tidak; ia belum tahu. Saya bertanya ke Mas Udin lewat Line; Yunaz mandi. Ternyata Mas Udin sedang agak sakit dan meminta maaf tidak bisa mengantarkan. Tidak apa-apa. Nah, berarti saya harus segera pinjam motor.

   Saya dengar tadi ada suara Bayu dan Viki. Saya ketuk kamar Bayu, tapi tidak ada yang menjawab. Saya mengulangi sampai tiga kali. Setelah itu saya biarkan agak lama. Mungkin tertidur. Lalu, saya panggil nama "Bayu". Mas Fadli tiba-tiba mengatakan bahwa Bayu sedang pulang ke Kebumen. Tidak mengapa memang, tapi siapa yang bicara tadi?

   Saya berlanjut ke kamar Mas Rosyid. Saya bilang bahwa saya akan mengantarkan teman saya ke Giwangan dan Bayu sedang pulang. Mas Rosyid mengerti dan ia segera mengambil kunci motor dan STNK, juga helm untuk berdua. Siap sudah; tinggal menunggu Yunaz.

   Setelah Yunaz selesai mandi, saya bilang bahwa Mas Udin tidak bisa mengantar karena sakit dan saya yang akan mengantar. Yunaz berganti pakaian dan mengemasi barang-barangnya. Wah, cukup cepat; tidak sampai lima menit ia sudah selesai mengemasi.

   Setelah semua selesai, Yunaz berpamitan ke orang-orang yang ada di sana. Sebelum ke Giwangan, kami sarapan dulu di warung. Rasanya Yunaz terlalu cepat untuk kembali ke Surabaya. Tapi, ya bagaimana lagi.

   Selesai makan, kami pergi ke Giwangan lewat Jalan Colombo, Jalan Gejayan, Plaza Ambarukmo, Janti, dan masuk jalur linkgkar timur dan selatan. Perjalanan itu sekitar dua puluh menit. Cukup lancar karena masih pagi. Dalam perjalanan menuju Giwangan, kami berjanji untuk fokus untuk tes dan jelajah hari Sabtu adalah main-main terakhir.

   Tibalah kami di Terminal Giwangan. Yunaz dan saya turun dari sepeda motor lalu kami bersalaman. Seelah itu Yunaz masuk ke terminal. Saya pulang lewat tengah kota.

   Sampai di kamar kos, saya kembali merasa sepi. Lalu, apa yang saya lakukan? Saya menulis ini sampai pada jam selesai, yaitu sekitar pukul 21.00. Yunaz mengirim kabar bahwa ia sudah sampai pada pukul 16.45. Alhamdulillah.

   Terima kasih banyak untuk Yunaz; telah meluangkan waktunya untuk bermain-main ke Jogja. Maaf ya hanya bisa menyambut dengan seadanya. Hehehe. Gunung, situs, pantai, bertemu dengan teman-teman, oleh-oleh sudah didapatkan. Lengkap. Semoga cita-cita tahun ini dapat tercapai dan dapat berkuliah di satu universitas yang sama. Juga terima kasih kepada Imaba Jogja yang telah menyempatkan waktunya untuk berkumpul dan khususnya Mbak Rere, Cipot, Almira, dan Mbak Puji yang sudah mentraktir. Semoga ada waktu untuk kita semua berkumpul kembali.

Komentar

Posting Komentar