Dari Depok Kecil ke Depok Besar: Sahabat-sahabat dan Sastra Indonesia Universitas Indonesia
Rasanya masih tak percaya bahwa saya
bersama teman-teman saya melewati cerita tahap kedua yang kami rencanakan
dengan sangat mengejutkan pada awalnya. Tahap kedua? Ya, ini cerita
lanjutan tidak terduga dari tahap pertama kami demi meraih jurusan dan
perguruan tinggi favorit kami. Kami mengucapkan terima kasih banyak kepada
Allah, orang tua, dan seluruh orang yang membantu dalam proses mewujudkan
impian kami ini.
Mungkin ada yang pernah membaca
cerita saya masuk ke UGM sebagai mahasiswa ilmu filsafat tahun lalu sekaligus teman-teman saya di kampus lain. Cerita
itulah tahap pertamanya dan ini adalah tahap keduanya. Sebenarnya kurang tepat
jika saya menyebut ini sebagai tahap; saya sebut ini sebagai bab, seperti bab
dalam buku yang mengisahkan bagian cerita. Saya akan menceritakan ini dari
awal.
SEBAGAI
MAHASISWA ANGKATAN 2015
Tahun 2015 adalah tahun yang
menyenangkan sekaligus haru bagi kami bertiga. Saya, Yunaz, dan Nafizal akhirnya
merasakan suasana yang benar-benar baru, yaitu suasana perkuliahan yang hampir
semuanya berbeda dengan masa sekolah menengah. Meski tujuan awal kami adalah
satu kampus yang sama, hasilnya berkata lain. Kami terpisah di tiga perguruan
tinggi berbeda di tiga kota. Saya di Ilmu Filsafat UGM, Yogyakarta; Yunaz di
Ilmu Sejarah UNAIR, Surabaya; dan Nafizal di Manajemen UB, Malang. Uniknya,
baru kami sadari saat masuk perkuliahan, ketiga kota tersebut adalah jalur
perjalanan kami saat berjuang untuk tes masuk perguruan tinggi, dimulai dari
Malang, transit di Surabaya, dan tes di Yogyakarta.
Kami masih sering menanyakan kabar
dan berbagi cerita walaupun perjuangan bersama kami sudah usai saat itu. Kami
pun bahkan menyusun acara pertemuan kecil yang kami lakukan 10 Oktober 2015 di
Batu. Kami berbagi pengalaman kami selama di kampus masing-masing.
ALASAN
MEMILIH UNTUK MENINGGALKAN
Menjelang akhir Oktober, saya mulai
merasa adanya ketidakcocokan saya dan ilmu filsafat. Saya sudah menuliskan alasan
saya tidak cocok dengan ilmu filsafat di tulisan-tulisan saya sekitar Oktober,
November, dan Desember 2015. Alasan utamanya, saya lebih suka belajar
mengenai kebahasaan, terutama bahasa dan sastra Indonesia. Saya ingin belajar linguistik.
Saya mulai berpikir untuk mengikuti
tes lagi. Bukan hal mudah untuk memutuskan apakah saya akan mengikuti tes lagi
atau tidak. Namun, akhirnya semua menjadi satu keputusan pasti: saya ikut tes
lagi. Saya mulai menceritakan hal tersebut kepada orang tua dan beberapa anggota
keluarga besar. Awalnya saya sangat takut untuk menceritakannya dan tentu saja
saya ditanyai alasan mengapa saya ingin pindah. Beruntung saya memiliki orang
tua yang mau mengerti. Mereka tidak menjawab dengan kata “ya” atau “tidak”.
Jawaban mereka adalah jika ini keputusan terbaik saya, mereka akan mendukung
saya dan mendoakan hasil yang terbaik. Lancar meminta izin kepada orang tua
bukan berarti yang lain juga lancar. Beberapa anggota keluarga besar lainnya malah
tidak setuju jika saya pindah. Di saat itulah seorang teman saya yang sudah
berkuliah di UI menyemangati saya untuk tetap mengejar impian saya. Akhirnya,
saya terus mencoba untuk menjelaskan alasan saya ingin pindah. Lama-lama mereka
mengerti dan sedikit demi sedikit mengizinkan.
Alasan saya sudah jelas untuk
memilih sastra Indonesia, yaitu dikarenakan saya sangat tertarik dengan sastra.
Saya ingin mengambil konsentrasi linguistik. Pertanyaan selanjutnya yang paling
sering ditanyakan oleh teman-teman saya adalah mengapa harus UI. Ada beberapa
alasan untuk hal ini. Alasan pertama, ini adalah cita-cita saya, serta insting dan feeling. Alasan kedua adalah UI
merupakan salah satu perguruan tinggi terbaik di Indonesia. Selanjutnya, FIB
UI, fakultas yang membawahi sastra Indonesia, adalah fakultas dengan jumlah
prodi sastra terlengkap sekaligus salah satu fakultas budaya yang paling tua di
Indonesia. Karena tertua dan terlengkap, fasilitasnya juga pasti lebih lengkap.
UI juga dekat dengan Jakarta. Jakarta adalah salah satu kota tujuan yang sudah
saya tulis dalam tulisan A Big Plan
yang saya buat. Teman-teman yang pernah masuk kamar indekos saya pasti pernah
melihat tulisan tersebut. Di sana juga dekat dengan saudara. Alasan sederhana mengapa ingin di UI karena tidak ada yang lain, just U and I. :)
Ketika saya sudah mendapat izin dari
keluarga, saya menceritakan keinginan saya untuk pindah kepada Yunaz. Saya lupa
kapan saya menceritakan itu, yang jelas saat itu siang hari, sepulang saya
kuliah. Kalau tidak salah, itu sekitar bulan November. Saya mengirim pesan di
Line kepada Yunaz bahwa saya sepertinya akan tes lagi. Yunaz segera memberi
respons. Sepertinya dia terkejut. Awalnya, ia bertanya-tanya melalui pesan.
Setelah itu, saya ditelepon oleh ia. “Kenapa ingin pindah?”, “Apa kamu tidak
rugi umur?”, dan “Bagaimana pendapat orang tuamu?”adalah pertanyaan-pertanyaan
awal yang diucapkan Yunaz. Saya kemudian menjelaskan semua.
Beberapa hari berlalu, tanpa saya
sangka, Yunaz mengirim pesan kepada saya. Ia menyampaikan bahwa ia sebenarnya
juga ingin mengejar impiannya untuk berkuliah di jurusan arkeologi, tetapi ia
masih mempertimbangkan beberapa masalah dan ia juga belum berani bilang ke
orang tuanya. Saat itu, perasaan saya mengatakan bahwa sepertinya kami bertiga (saya, Yunaz, dan sepertinya Fizal juga)
akan tes lagi dengan tujuan memperjuangkan jurusan yang benar-benar kami
inginkan sejak awal.
Saya dan Yunaz terus memberi kabar.
Akhirnya, Yunaz bilang bahwa ia sudah bicara kepada ibunya dan kakaknya.
Meskipun begitu, belum ada jawaban positif. Bahkan, kakak Yunaz sepertinya
tidak setuju dengan keputusan Yunaz yang ini. Kakak Yunaz berkata bahwa biaya
hidup di daerah sana (Jakarta dan sekitarnya) lumayan tinggi. Ia tahu karena ia
pernah di sana untuk coas. Kakak
Yunaz saat itu mahasiswa jurusan kedokteran hewan di UB. Sekarang ia menjadi asisten
dosen di UB.
Menjelang akhir bulan Desember,
Yunaz memberi kabar positif. Akhirnya, ia diizinkan untuk mengikuti tes. Hal
yang mengejutkan adalah Nafizal juga berencana untuk tes lagi. Saya diberi tahu
mengenai hal itu oleh Yunaz. Benarlah perasaan saya bahwa kami bertiga akan tes
lagi.
Alasan Yunaz ingin pindah adalah ia
ingin mengejar impiannya berkuliah arkeologi. Selain itu, ia merasa kurang jauh
dari rumah. Semakin jauh merantau, semakin banyak pengalaman. Itu merupakan
salah satu pepatah yang kami pegang erat. Sementara itu, alasan Nafizal pindah
juga tak jauh beda dengan Yunaz. Memang ia sudah berkuliah di jurusan
manajemen, tetapi bukan di universitas yang ia harapkan. Ia ingin lebih jauh. Merantau adalah hal
penting.
Setelah semuanya membawa kabar
positif untuk tes lagi, kami membuat obrolan grup di Line. Lewat sanalah
kami berkomunikasi hampir setiap hari. Kami menyusun rencana apa saja yang
harus kami persiapkan. Agar lebih mudah merencanakan, kami perlu bertemu
secara langsung. Kebetulan saya, Yunaz, dan teman-teman lain dari Imaba Jogja
dan Imaba Surabaya akan merencanakan kegiatan sosialisasi kampus pada bulan Januari
di Batu. Nah, sekalian saja, kami sepakat untuk bertemu pada bulan itu.
JANUARI
Usai jadwal yang lumayan sibuk untuk
sosialisasi kampus, kami bertiga akhirnya bertemu. Saya lupa tanggal berapa. Kami
awalnya berencana bertemu di sekitar hutan kota. Pada malam sebelum hari
bertemu itu, Yunaz bilang bahwa ia sedang sakit gigi dan sepertinya tidak bisa
datang pada hari yang telah direncanakan. Rencana bertemu itu hampir saja tidak
jadi. Namun, pada pagi hari setelah malam itu, Yunaz bilang bahwa dia akan
mengusahakan datang. Saya berpikir positif saja bahwa hari itu semua bisa
datang. Saya mulai mempersiapkan diri. Rencana berangkat pukul 08.00 molor satu
jam karena bapak saya sedang pergi dan tidak ada yang mengantar ke
pemberhentian bus. Maklum, rumah saya terpencil, sekitar lima kilometer dari
jalan utama (jalan provinsi Malang – Kediri). Yunaz akhirnya berkata bahwa ia
bisa datang. Ketika bapak saya datang, segera saya diantar untuk naik bus. Saya
berangkat sekitar pukul 09.00 dan sampai di hutan kota sekitar pukul 10.00. Di
sana saya menunggu di gazebo. Seperti
biasa, banyak orang pacaran di sana. Saya menunggu Yunaz sekitar lima belas menit.
Kedatangan Yunaz diiringi oleh hujan deras. Kami berteduh di sekitar sana
bersama banyak orang. Saking derasnya, jaket yang kami kenakan menjadi basah
sebagian.
Setelah hujan agak reda, saya dan
Yunaz ke tempat makan langganan kami, yaitu warung mie ayam yang ada di belakang
Masjid Sultan Agung. Tak lama setelah kami memesan makanan, Fizal datang. Saya
selalu suka jika berkumpul bertiga seperti itu. Ada guyonan khas dari Fizal dan
Yunaz yang sering membuat saya tidak berhenti tertawa. Nah, di saat itulah
Fizal membawa ide bagus. Ia menawarkan bagaimana jika kami bertiga belajar
dengan cara membeli CD Zenius per mata pelajaran. Kebetulan Fizal sudah punya
CD matematika dasar dan pembelajaran self-learning (semacam pengenalan konsep diri dan konsep belajar yang
benar). Ia berkata bahwa CD itu memberi pengaruh yang sangat besar setelah ia
lihat materinya. Fizal pun mengatakan bahwa teman kami, Farah, yang dulu tes
bersama kami dan sekarang di Pariwisata UGM, dulu juga menggunakan Zenius. Saya
ikut menambahkan bahwa ada teman saya yang juga menyarankan untuk memakai
Zenius karena dia sendiri memakainya dan lolos ke UI. Selain
itu, saya juga pernah membaca testimonium dari beberapa pengguna Zenius bahwa
ada pengaruh besar dalam cara mereka belajar setelah mereka memakai Zenius.
Saya dan Yunaz setuju untuk menggunakan Zenius.
Kami bertiga kemudian menentukan CD
apa saja yang akan kami beli. Kami sepakat membeli CD berdasarkan mata
pelajaran yang kami anggap cukup rumit. Mata pelajaran itu adalah bahasa Indonesia,
bahasa Inggris, ekonomi, dan geografi. Saya menanggung biaya untuk pembelian CD
bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Yunaz menanggung biaya untuk dua CD
lainnya. Fizal bertugas sebagai pembelinya. Jadi, kami tinggal memberi uang
kepada Fizal. Karena saat itu kami sedang kekurangan uang untuk membeli CD,
kami sepakat akan membelinya pada bulan Februari. Intinya, empat CD mata
pelajaran tersebut ditambah dua CD milik Fizal harus bisa dipakai kami bertiga meski di
tempat yang berbeda. Caranya? Rahasia. :)
Hari itu kami akhiri tidak sampai
malam karena Yunaz tidak tahan dengan giginya yang sakit dan ingin segera
pulang. Saya pun ada acara bertemu dengan adik kelas Bahasa untuk memberikan
foto-foto Bulan Bahasa. Setelah itu saya pulang.
Itu adalah pertemuan saya yang
terakhir dengan mereka pada bulan Januari dan terakhir bertemu Fizal sampai
bulan Mei. Sementara itu, Yunaz berencana untuk berkunjung ke Jogja pada bulan
Februari. Saya akhirnya pulang sekitar tanggal 20-an karena ada acara bertemu
dengan dosen PA untuk berkonsultasi mengenai KRS (Kartu Rencana Studi) semester
II sekaligus pengisiannya.
FEBRUARI
Yunaz datang pada tanggal 12. Selain
untuk bermain, ia juga datang untuk membawa CD Zenius milik Fizal. Saat itu
pula, saya memberi uang ke Fizal lewat Yunaz untuk membeli CD Zenius yang
menjadi tanggungan saya.
Kira-kira satu atau dua minggu
kemudian saya dikirimi empat CD Zenius oleh Yunaz. Di dalamnya kiriman itu juga ada sobekan tas FIB UI. Yunaz bilang dia dulu mendapat itu tidak sengaja di jalan dan sebagian sobekan itu ada di Yunaz dan sebagian dikirimkan ke saya. CD yang dikirim sesuai
pesanan, yaitu CD mata pelajaran yang kami butuhkan. Di dalam CD bahasa
Indonesia dan bahasa Inggris ada bonus voucher
Zenius yang bisa saya gunakan untuk streaming
video materi Zenius di situsnya. Nantinya, voucher ini saya gunakan pada bulan Mei akhir. Pembelajaran dengan
Zenius saya mulai hari itu juga, ketika kiriman CD datang.
Bulan Februari itu perkuliahan
semester II dimulai. Awal perkuliahan itu saya merasa bersemangat. Namun, masalah
tak terduga datang. Saya selalu tidak bisa tidur pada malam hari; saya
insomnia. Saya sudah berusaha menguranginya dengan mengehentikan semua aktivitas
saya pada pukul 21.00 WIB, tetapi hasilnya tetap saja. Parahnya, hal ini
berlangsung hingga satu atau beberapa bulan kemudian. Semakin lama insomnia ini semakin
parah. Bahkan, saya pernah baru bisa tidur pukul 04.30. Oleh karena itu, saya
sering kehilangan jam kuliah pagi saya, seperti pada mata kuliah filsafat barat
modern dan bahasa Indonesia.
Sejak bulan Februari pula kami
bertiga menyusun rencana untuk pilihan jurusan dan perguruan tinggi dalam tes
nanti. Tentu ini tidak boleh saya sia-siakan dan saya harus optimis terhadap
apa yang benar-benar saya perjuangkan. Sastra Indonesia UI sudah pasti ada di
urutan pertama. Saya agak bingung menentukan pilihan kedua dan ketiga untuk
SBMPTN dan SIMAK UI. Begitu pula yang terjadi dengan Yunaz. Yunaz sudah menentukan
pilihan pertamanya pada Arkeologi, tetapi masih bingung untuk pilihan kedua dan
ketiganya. Berbeda dengan saya dan Yunaz, Fizal sudah lebih dulu menentukan
pilihannya, yaitu manajemen dan ilmu ekonomi di UGM, baik pada SBMPTN maupun
UTUL UGM. Kesimpulan sementara yang kami dapat pada bulan itu adalah saya akan
memilih Sastra Indonesia UI, Ilmu Sejarah atau Arkeologi UI, dan Sastra
Indonesia UGM. Intinya, saya ingin keluar dari filsafat. Yunaz akan memilih Arkeologi
UGM, Arkeologi UI, dan Sejarah UI. Fizal sudah jelas. Oh iya, Yunaz punya
perjanjian tidak tertulis dengan mamanya. Ia boleh mengikuti tes lagi dengan
syarat tidak memilih sejarah pada pilihannya. Oleh karena itu, pemilihan
jurusan sejarah masih diragukan kepastiannya. Kesimpulan selanjutnya, kami
bertiga akan tes di Jogja, baik SIMAK maupun UTUL. Sementara itu, untuk SBMPTN,
kami rencananya akan tes di tempat masing-masing karena berbagai alasan.
Hal yang tidak saya sangka adalah
Yunaz memutuskan untuk ikut SIMAK. Argumennya simpel, yaitu ia ingin tempat
yang lebih jauh. Hal ini berkaitan dengan keyakinan kami bahwa semakin jauh
perjalanan, maka semakin banyak pengalaman. Pemilihannya untuk ikut SIMAK juga
didasari karena UI sangat dekat dengan daerah pusat, tempat seluruh pusat
aktivitas berada dan harapan relasi semakin banyak. Alasan lucu-lucuannya sih
agar bisa berdemonstrasi di pusat pemerintahan. :)
Kami juga mulai mencari penyemangat
berupa video. Semua video profil universitas, fakultas, dan apa saja mengenai hal-hal
tersebut kami unduh dan kami putar hampir setiap hari. Saya mengunduh video
profil UI, OKK UI 2015, dan profil FIB UI. Saya justru tertarik dengan video
profil FIB UI karena semuanya disajikan secara lengkap, mulai dari visi, prodi,
fasilitas, sampai hal yang paling membuat saya betah melihat video tersebut,
yaitu musik latarnya. Video tersebut berjudul Profil FIB UI 2015.
MARET
Saya ingin sekali ikut tes SIMAK di Depok,
tetapi keadaan tidak memungkinkan. Salah satu kendalanya adalah saat tes SIMAK,
yang dijadwalkan akan diselenggarakan pada tanggal 5 Juni 2016, saya perkirakan
akan bertepatan dengan hari efektif perkuliahan atau UAS. Padahal, saya ingin
sekalian jalan-jalan ke UI jika tes di sana. Untuk menginap, ada teman saya
yang siap menampung saya. Ia bilang bahwa jika saya jadi tes di sana, saya naik
kereta saja dan turun di Pasar Senen kemudian akan menjemput.
Menurut saya, dengan mengambil
tempat tes di daerah universitas tujuan, akan menambah semangat dalam tes
nanti, apalagi jika sempat mengunjungi universitasnya. Hal ini sudah saya
lakukan ketika tes tahun lalu dan memang menambah semangat. Di salah satu
bagian CD Zenius, kalau tidak salah bernama Zenius Learning, pemateri dan
sekaligus pendirinya, Sabda PS, juga mengatakan bahwa mengunjungi universitas
tujuan adalah hal penting.
ZENIUS
Cerita sedikit pengalaman
menggunakan Zenius bolehlah, ya? Jadi, untuk yang belum tahu, Zenius ini adalah
semacam media pembelajaran. Kalau dibilang bimbel, sepertinya kurang tepat, tetapi kita sebut saja ini sebagai bimbel agar lebih mudah. Kelebihannya dari bimbel lain adalah mereka tidak
hanya mengajarkan bagaimana mengerjakan soal dengan baik, tetapi juga penguatan
penalaran sehingga selain berpengaruh pada mengerjakan lebih mudah, efek
belajar penalarannya sangat berpengaruh pada cara pandang di kehidupan nyata.
Ada pula di bagian self-learning
Sabda menjelaskan pentingnya percaya diri dan kekuatan yakin terhadap sesuatu. Sampai
sekarang semua itu berpengaruh.
Saya akan beri satu contoh. Semua
pelajaran memberi efek, tetapi yang paling terasa menurut saya adalah saat belajar ekonomi.
Ekonomi diajar oleh Sabda. Sumpah, metode belajarnya asyik, keren! Dia kalau
mengajar pakai bahasa santai, tapi tetap detail dan banyak pengetahuan tambahan.
Nah, waktu saya belajar ekonomi ini, kesan saya selama belajar ekonomi mulai
SMP, SMA kelas X, sampai detik sebelum belajar itu berubah. Sebelumnya, kesan
saya terhadap ekonomi adalah pelajaran sulit, banyak rumus dan istilah, dan
tentu saja terkadang membosankan. Namun, setelah belajar ekonomi dengan Zenius,
saya mulai mengerti apa itu ekonomi sebenarnya. Memang tidak semuanya sih,
tetapi esensi dari ekonominya dapat. Ekonomi ternyata apa yang dilakukan manusia setiap
hari. Kalau boleh dibilang, hanya 20% yang benar-benar hafalan, sisanya adalah
penalaran dan ada di kehidupan sehari-hari. Asyik deh pokoknya. Di sini bukan
saya bermaksud promosi Zenius sebagai penjual produk, tetapi saya menceritakan
sedikit bagaimana Zenius dan efek dari penggunaan Zenius itu. Jika penasaran, coba
cek zenius.net. Di sana juga ada banyak artikel yang keren banget (zenius.net/blog). Salah satu artikel yang keren adalah https://www.zenius.net/blog/12141/sumber-semua-energi. Silakan klik link tersebut. Sangat saya rekomendasikan!
RENCANA
KE JAKARTA
Suatu hari di awal minggu bulan
Maret saya tidak sengaja melihat jadwal hari efektif perkuliahan yang dipajang
di depan ruang kuliah setelah selesai kuliah pada sore hari. Itu adalah jadwal
perkuliahan dan hari-hari penting di semester II. Saya segera melihat jadwal
pada bulan Mei dan Juni. Ternyata, jadwal UAS berada pada tanggal 8 Juni. Dengan
mengabaikan hari efektif di tanggal sebelumnya, saya akhirnya memilih untuk
membeli tiket kereta api pada hari itu juga. Saya memberi kabar
kepada Fizal dan Yunaz di grup Line bahwa saya akan membeli tiket kereta yang
berarti saya akan tes di Depok. Saya memesan tiket kereta lewat daring (online) di situs kereta api. Alasan saya
memesan jauh hari adalah menurut pengalaman saya, tiket kereta sering habis
pada satu bulan sebelum tanggal. Selagi masih lama dan mempertimbangkan jadwal
UAS yang berada sesudah SIMAK, saya jadi memesan tiket. Saya mengambil tanggal
3 Mei 2016 karena itu adalah hari Jumat dan saya percaya bahwa hari Jumat
adalah hari terbaik. Tiket akhirnya sudah saya pesan. Saya harus membayar biaya
tiket sebelum sekitar pukul 20.00 pada hari itu. Saya segera pulang ke indekos.
Saya memberi kabar kepada orang tua saya bahwa saya jadi tes di Depok. Yunaz
dan Fizal pun saya beri kabar. Sesampainya di indekos, saya segera menaruh tas
kemudian pergi ke Alfamart untuk membayar tiket. Saya mencetak tiket tersebut
di Stasiun Lempuyangan esok harinya.
Beberapa hari kemudian, saya
berencana untuk membeli tiket pulang. Sayangnya, keuangan saya sedang krisis.
Jadi, saya pinjam uang teman indekos saya dulu. Untungnya, dua hari
kemudian saya mendapat kiriman uang dari orang tua. Segera saya ganti uang
teman saya itu.
Saya memberi tahu orang tua saya
kalau saya sudah memesan tiket pulang. Mereka menyuruh saya untuk menghubungi
Mas Bagos, kakak sepupu saya yang ada di Jakarta, dan juga Mbak Syifa, anak
dari teman bapak saya sekaligus ia adalah mahasiswi Sastra Jawa UI. Saya akhirnya menghubungi mereka lewat Line. Mas Bagos
yang pertama membalas. Saya memberi tahu dia bahwa saya akan tes SIMAK dan saya
sudah memesan tiket. Ia agak terkejut. Pada akhirnya, ia menawarkan saya untuk
tinggal di indekosnya saja selama masa tes. Saya agak bingung sebenarnya. Teman
saya yang di Depok juga sebelumnya menawarkan seperti itu. Namun, akhir-akhir
itu ia sulit dihubungi dan tidak membalas pesan saya. Jadi, saya menerima
tawaran Mas Bagos untuk tinggal di indekosnya. Sebenarnya bukan di indekosnya,
tetapi di rumahnya yang ada di Depok karena saya bilang kepada dia bahwa saya
akan mengambil tempat tes di Depok. Indekosnya ada di Jakarta Pusat. Tidak
berselang lama setelah itu, Mbak Syifa membalas pesan saya. Saya bilang tujuan
saya. Ia pun menawarkan hal yang sama. Akhirnya, saya memilih untuk tinggal di tempat
Mas Bagos.
Saya terus mengubungi Yunaz dan
Fizal. Jadi, progres apa pun yang terjadi, kami saling memberi tahu. Saya
bilang bahwa saya sudah memesan tiket pulang dan sudah menghubungi saudara saya
yang ada di Jakarta. Saya tak menyangka untuk kedua kalinya: Yunaz memilih ikut
SIMAK bersama saya di Depok. Namun, sebelum memutuskan untuk benar-benar ikut
dan memesan tiket, Yunaz minta izin ke orang tuanya. Orang tua Yunaz memeberi
izin. Yunaz segera memesan tiket. Jadilah saya tak akan sendiri ke Depok.
Terima kasih, Naz.
Marry her |
Belajar |
Rencana yang kami susun semakin matang dan jelas akan seperti apa. Jadi, kami bertiga akan tes di Jogja untuk SBMPTN. Tanggal 3 Juni saya dan Yunaz akan berangkat ke Pasar Senen, Jakarta. Sementara itu, Nafizal tinggal di indekos saya. Kabar bahagianya adalah salah satu teman Yunaz ada yang akan tes SBMPTN dan UTUL di Jogja. Namanya Hasbi. Ia ternyata lebih tua dua tahun dari kami. Ia adalah mahasiswa jurusan perpajakan di Vokasi Unair. Ia akan mengambil Hubungan Internasional UGM. Jadi, Nafizal tidak akan sendirian ketika saya dan Yunaz ke Jakarta.
Saya tidak sabar untuk berangkat ke
Jakarta bersama Yunaz. Itu akan menjadi pertama kalinya saya dan Yunaz ke sana. Di antara
rasa senang itu, sebenarnya saya juga sedikit bingung mengenai akan bagaimana
kami di sana. Di televisi atau bahkan di internet, Jakarta sering diberitakan
dengan kabar yang tidak mengenakkan. Selain itu, menurut orang-orang yang
pernah ke sana, biaya hidup di sana tinggi. Hal yang paling saya khawatirkan
adalah masalah keuangan. Saat itu, banyak keperluan yang mengharuskan saya
mengeluarkan uang. Dompet semakin tipis. Saya tidak berani bilang ke orang tua
saya bahwa uang saya tinggal sedikit. Saya takut membebani. Akhirnya, dengan sisa
uang sekitar Rp150.000,00 di dua minggu terakhir sebelum bulan Maret selesai,
saya harus berpikir bagaimana caranya agar uang itu tidak habis sama sekali. Beasiswa
Bidikmisi dari pemerintah belum juga turun. Hanya kabar bahwa sekitar Maret
akhir atau Juni awal akan turun. Sampai akhirnya, pada akhir Maret, uang saya
tinggal Rp5.000,00. Semakin remang untuk berpikir bahwa saya akan baik-baik
saja di Jakarta. Karena terpaksa, saya akhirnya bilang kepada ibu saya bahwa
uang saya benar-benar tinggal sedikit. Namun, seperti keajaiban, siang
menjelang sore hari itu juga ada kabar uang Bidikmisi turun. Saya senang bukan
main. Saya segera ke ATM di FEB UGM. Ternyata benar, uang Bidikmisi sudah
turun. Alhamdulillah. Saya tidak jadi minta uang ke ibu saya. Saya segera
memperinci keperluan saya dan strategi agar uang tersebut bisa saya gunakan
hingga di Jakarta. Terima kasih untuk pemerintah yang sudah menurunkan beasiswa
ini. Jujur, baik untuk keperluan ini atau pun keperluan kehidupan selama kuliah
di filsafat dan kehidupan indekos, beasiswa ini sangat banyak membantu.
Setidaknya, beban orang tua saya dalam pembiayaan kuliah saya dapat berkurang,
jauh berkurang. Siapa pun orang yang mencetuskan ide beasiswa ini saya ucapkan
terima kasih banyak dari dasar hati. :)
Banyak hal untuk meningkatkan semangat
dalam belajar, seperti melihat video-video mengenai kampus tujuan. Namun, ada
cara lain. Yunaz dan Fizal stalking
akun Instagram milik ui.cantik. Hehehe. Sempat di-screenshoot dan dikirim ke grup Line. Akhirnya, saya tergoda untuk
ikut stalking. Ya… namanya juga cari
penyemangat. Hehehe. Namun, lama-kelamaan, hal ini akhirnya menjadi pengganggu.
Kalau sudah memegang HP untuk berinternetan, sampai beberapa jam pun tidak
terasa. Oleh karena itu, saya akhirnya menghapus sementara aplikasi Instagram,
Path, Twitter, dan Facebook. Dari keempat itu, nantinya yang benar-benar tidak
saya hidupkan kembali adalah Path. Sementara itu, Twitter dan Facebook saya
hidupkan lagi sekitar dua minggu setelah saya hapus dan Instagram baru saya
hidupkan ketika selesai SIMAK.
APRIL
April merupakan bulan pendaftaran
SBMPTN dan SIMAK. Sementara itu, UTUL baru dibuka pada bulan Mei. Kami berencana
untuk mendaftar pada waktu yang sama untuk SBMPTN. Pendaftaran SBMPTN dimulai
pada tanggal 25, tetapi kami memilih melakukan pengisian formulir pendaftaran
pada tanggal 29 setelah salat Jumat. Untuk pembayarannya, kami sepakat
melakukannya antara tanggal 25 sampai 28. Untuk SIMAK UI, karena dibuka pada
tanggal 18, saya dan Yunaz sepakat melakukan pengisian formulir pada tanggal 22
setelah salat Jumat juga.
Pada awal bulan ini, kami sudah
menentukan apa yang akan kami pilih. Pilihan-pillihan kami ini sudah kami
pertimbangkan dengan menilai urutan prioritas, kesesuaian minat, juga
pertimbangan jika nantinya diterima pada bukan pilihan yang diutamakan. Nafizal
sudah jelas memilih Manajemen UGM dan Ilmu Ekonomi UGM, baik pada SBMPTN maupun
UTUL. Yunaz akhirnya memilih Arkeologi UGM, Arkeologi UI, dan Sastra Jawa UI
pada SBMPTN dan memilih Arkeologi UI dan Sastra Jawa UI pada SIMAK. Saya
akhirnya memilih Sastra Indonesia UI, Antropologi Sosial UI, dan Sastra
Indonesia UGM pada SBMPTN dan Sastra Indonesia UI, Antropologi Sosial UI, dan
Arkeologi UI pada SIMAK. Saya memilih antropologi karena saya tertarik
mempelajari hubungan manusia dalam menciptakan kebudayaan. Selain itu, karena
dulu saya sekolah SMA di jurusan Bahasa, saya sudah mengenal bagaimana
antropologi dan itu sangat menarik. Awalnya saya bertanya-tanya apakah
antropologi sosial di UI sama dengan antropologi kebudayaan yang ada di beberapa
universitas. Ternyata, setelah saya cari daftar mata kuliah beserta muatan
kuliah Antropologi Sosial UI di internet, tidak jauh beda antara antropologi
kebudayaan dan antropologi sosial. Saya tahu kalau itu tidak jauh beda setelah
saya bertanya teman saya yang berkuliah antropologi kebudayaan di UB. Arkeologi
saya pilih karena memang dari dulu saya selalu tertarik jika melihat
benda-benda peninggalan kebudayaan masa lalu. Berkunjung ke sebuah situs dan cagar budaya adalah salah satu hobi saya. Yang pernah membaca cerita saya
tahun lalu pasti mengerti mengapa saya memilih arkeologi. Untuk Sastra
Indonesia UGM, sebenarnya ini pilihan yang paling terakhir di antara semua
pilihan. Jadi, jika kemungkinan nanti saya tidak diterima di semua pilihan kecuali
yang ini, saya baru akan mengambilnya. Namun, jika semisal saya diterima pada
pilihan ini di SBMPTN dan ternyata ada dari SIMAK yang lolos, meskipun itu
antropologi atau arkeologi, saya memilih yang lolos di SIMAK. Intinya, saya
akan memilih UI dengan proritas utama sastra Indonesia.
Karena saya belum pernah ke Jakarta,
saya juga mulai bertanya-tanya mengenai Jakarta dan juga UI kepada teman-teman
saya di filsafat yang berasal dari Jakarta dan sekitarnya. Hampir semua yang
saya tanya malah menyayangkan keputusan saya pindah ke UI. Mereka bilang biaya
di sana lebih mahal dan pergaulannya lebih “menyeramkan”, semua yang negatif.
Namun, karena ini cita-cita, saya tak terlalu mengacuhkan, tetapi memang saran
mereka penting sebagai peringatan.
PERUBAHAN
RENCANA TEMPAT TES SIMAK
Sebelumnya, saya dan Yunaz
merencanakan akan memilih tempat tes SIMAK di Depok. Namun, akhirnya kami
memilih tempat tes di Jakarta Pusat.
Beberapa hari sebelumnya, saya
berkonsultasi dengan Mas Bagos mengenai tempat tes. Saya pun memberi tahu bahwa
saya tidak jadi tes sendirian; saya bersama Yunaz. Akhirnya, setelah
mempertimbangkan, saya memilih untuk mengambil tempat di Jakarta Pusat. Alasannya,
jika saya mengambil tes di Jakarta Pusat, akan lebih mudah kalau ingin ke mana-mana,
pun sudah ada yang tinggal di sana dan bisa memberi arah (Mas Bagos). Selain
itu, saya dan Yunaz nantinya juga turun di Pasar Senen yang berarti di Jakarta
juga. Jadi, sekalian saja. Kami berencana menginap di indekos Mas Bagos. Ia
bilang indekosnya tidak terlalu jauh dari Pasar Senen.
MENDAFTAR
SIMAK UI
Sebelum mengisi formulir
pendaftaran, saya terlebih dahulu membuat akun beberapa hari sebelum
pendaftaran. Saya kira akan ruwet, ternyata tidak sama sekali. Panduan langkah-langkahnya
sudah disediakan oleh pihak sana. Tinggal mengikuti.
Tanggal 17 malam, seperti malam-malam
biasanya, saya tidak bisa tidur. Pikir saya sekalian saja saya mendaftar. Memasuki
tanggal 18, saya mulai membuka situs pendaftaran SIMAK. Jadilah saya mendaftar
pada dini hari itu juga. Selesai mengisi beberapa data, serta memilih jurusan
dan lokasi, keluarlah bagian keterangan jadwal tes, nomor pendaftaran,
hasil formulir, dan berapa jumlah biaya yang harus saya bayar untuk tes. Saya
mengirim screenshot formulir saya ke
grup Line. Saya kemudian tidur.
Paginya, Yunaz memberi kabar bahwa
ia akan mengisi formulir. Seketika itu saya baru ingat bahwa seharusnya saya
dan Yunaz melakukan pengisian formulir pada hari Jumat. Namun, tidak masalah,
sudah telanjur. Pagi itu pula, selesai kuliah, saya melakukan pembayaran lewat
ATM di FEB UGM. Setelah saya cek lagi akun pendafataran SIMAK saya, tanda merah
di keterangan biaya pendaftaran sudah berubah menjadi hijau yang berarti sudah
dibayar. Pengunduhan kartu ujian baru bisa dilakukan pada tanggal 2 Mei
sekaligus di dalamnya ada keterangan mengenai lokasi ujian dan nomor ujian.
MENDAFTAR
SBMPTN 2016
Seperti yang sudah direncanakan,
kami melakukan pendaftaran pada tanggal 29 Juni setelah salat Jumat. Sebelumnya,
pada hari Senin, tanggal 25, kami melakukan pembayaran di bank. Saya membayar di
BNI UGM, dekat gerbang utama, sebelum kuliah. Saat kuliah, saya ditanyai
teman-teman apakah saya sudah mendaftar SBMPTN atau belum. Oh iya, beberapa teman saya di kelas
juga berencana untuk ikut tes lagi, seperti teman saya yang bernama Denta yang
akan mendaftar Manajemen UGM. Saya bahkan pernah menjumpai ia belajar dengan
mengerjakan soal-soal bimbel pada saat kuliah filsafat manusia.
29 Juni, setelah salat Jumat, kami
melakukan pendaftaran. Niat kami mendaftar bersama-sama sebenarnya agar mendapat
ruang tes yang sama atau setidaknya berdekatan. Ternyata, meskipun mendaftar di
hari yang sama dan klik finish pada
waktu yang hampir bersamaan, kami mendapat ruang tes yang berbeda, tetapi sama-sama
bertempat di UPN Veteran, tempat tes kami tahun lalu. Teman
Yunaz yang hendak tes di Jogja, Hasbi, juga mendapat tempat di UPN Veteran.
MEI
2 Mei 2016. Sesuai jadwal, tanggal
tersebut adalah waktunya mengunduh kartu ujian SIMAK. Saya segera membuka akun
pendaftaran SIMAK kemudian mengunduh pada tautan yang tersedia. Hal pertama
yang saya lihat pada kartu ujian itu adalah keterangan lokasinya. Saya
mendapatkan tempat di SMPN 4 Jakarta. Saya segera mengabari Yunaz di grup Line
dan juga Mas Bagos. Beberapa menit kemudian Yunaz mengirim screenshoot kartu ujiannya. Betapa bahagianya saya ketika tahu
tempat ujian kami sama: SMPN 4 Jakarta. Setelah itu, saya membuka Google Maps.
Saya mencari letak SMPN 4 Jakarta. Maksud hati ingin mengetahui seperti apa
rupa SMPN 4 Jakarta lewat Google gambar dengan kata kunci “SMPN 4 Jakarta”, eh,
ternyata yang keluar…sudahlah. Saya memberi tahu Yunaz setelah itu. Beberapa
menit kemudian Mas Bagos membalas. Ia bilang SMPN 4 cukup dekat dengan
indekosnya. Setelah semua saya beri kabar, saya pergi ke kampus. Ada “pesta
rakyat” di rektorat hari itu.
Pada awal bulan Mei, tanggal 8, akan
dilaksanakan try out SBMPTN oleh
Imakoba (Ikatan Mahasiswa Kota Batu). Panitia menyediakan stan-stan untuk
kampus yang ingin mempromosikan kampusnya. Saya berencana pulang untuk mengisi
salah satu stan mewakili UGM dengan teman saya, Farah, mahasiswi Pariwisata UGM
yang juga berasal dari Batu, teman tes UTUL di Jogja bersama Yunaz, Fizal, dan
Toni tahun lalu. Saya berencana pulang tanggal 4. Kebetulan, saya dikabari
Yunaz bahwa pada tanggal 3, ia dan teman-teman kelasnya akan ada semacam study tour ke Sangiran, Ratu Boko, dan
mereka akan ke Malioboro sebelum pulang. Yunaz berencana untuk pulang bersama
saya ke Malang pada tanggal 4. Oleh karena itu, setelah turun di Malioboro, ia
langsung ke indekos saya. Pada tanggal 3, saya ada kuliah sampai sore. Yunaz
bilang dia akan ke kampus bersama dengan temannya, Adam.
3 Mei, setelah pulang kuliah sekitar
pukul 16.45, saya menghubungi Yunaz. Dia dan Adam sudah berjalan ke arah UGM. Saya
segera keluar lewat gerbang utama UGM ke arah Mirota Kampus di Jalan C.
Simanjuntak. Singkat cerita, akhirnya kami bertemu tepat di depan gang
penginapan saya, Yunaz, dan Fizal saat tes UTUL tahun lalu. Saya kaget karena
rambut Yunaz semakin gondrong. Saya berkenalan dengan Adam. Adam ini ternyata
juga akan ikut tes UTUL di Jogja. Ia berencana mengambil Biologi UGM.
Karena sudah magrib, kami mencari
masjid di dekat sana. Kami salat di masjid depan area FMIPA selatan. Masjid
tersebut adalah masjid tua, terlihat dari interiornya, terutama pada tiang
penyangga masjid dan mimbar. Setelah selesai salat, kami ke Kopma UGM. Adam dan
Yunaz membeli beberapa oleh-oleh, salah satunya stiker. Setelah dari sana, kami
berencana ke Fisipol UGM. Adam ingin memfoto Fisipol UGM untuk dikirim ke Hasbi
sebagai penyemangat belajar. Namun, ketika sampai di depan DSSDI, hujan lebat
turun. Kami berteduh di sana. Sambil menunggu hujan agak reda, kami saling
bercerita. Setelah 15 menit menunggu, hujan agak reda. Kami melanjutkan perjalanan
ke Fisipol UGM.
Kami hanya sebentar di fisipol. Kami
segera melanjutkan ke fakultas biologi. Adam ingin mengunjungi calon
fakultasnya katanya. Sambil diguyur gerimis, kami lewat rektorat. Kami berjalan
agak cepat karena Adam akan ikut rombongan busnya pulang ke Surabaya. Yunaz
terlihat santai saja karena ia akan tinggal di Jogja. Saat sampai di depan
fakultas biologi, saya teringat Fatizha. Fatizha adalah mahasiswi biologi,
teman saya satu SMA dulu bersama Yunaz dan Fizal. Saya menelepon Fatizha lewat
Line, tetapi saya berikan ke Yunaz setelah tersambung. Nah, kebiasaan kami yang
di Jogja kalau ada teman dari jauh, apalagi pernah satu SMA, adalah menemuinya,
berkumpul di suatu tempat. Fatizha bilang ia akan ke fakultas. Singkat cerita,
Adam selesai berkeliling calon fakultasnya kemudian ia kembali ke Malioboro,
tempat bus rombongannya, dengan menggunakan Go-Jek. Saya dan Yunaz menunggu
Fatizha di fakultas. Setelah Fatizha datang, kami bercerita sebentar. Kami
bertiga kemudian makan di lesehan depan fakultas. Setelah itu, kami pulang ke
indekos masing-masing.
Beberapa cerita di tulisan ini saya
singkat dengan awalan kalimat "singkat cerita" karena memang akan panjang sekali kalau diceritakan detailnya sekaligus
agar langsung ke topik-topik yang berkaitan langsung dengan perjalanan kami
menuju tes.
4 Mei setelah magrib, saya dan Yunaz
pulang ke Malang. Kami berangkat dari halte Kosudgama, transit di halte
Kridosono, dan terakhir di Terminal Giwangan. Kami naik bus Sugeng Rahayu,
duduk di bangku paling depan. Singkat cerita, kami sampai di perbatasan Kediri-Malang sekitar 06.30 tanggal 5. Awalnya Yunaz berencana akan ikut ke
rumah saya dulu, tetapi ibunya menyuruh untuk langsung pulang saja. Akhirnya,
saya turun duluan dan Yunaz melanjutkan sampai Malang.
6 Mei saya, Yunaz, dan Fizal
berencana untuk bertemu pukul 10.00 di Batu. Saya berangkat dari rumah sekitar
pukul 08.45. Sesampainya di Batu, saya disuruh Yunaz untuk ke tempat biasa
bertemu, di warung mie ayam langganan. Di sana sudah ada Fizal dan Yunaz. Kami
membahas perkembangan belajar kami dengan Zenius. Memang, untuk materi, kami
sudah mendapatkan banyak penjelasan, tetapi kami merasa kurang latihan soal. Bercermin dari
pengalaman tahun lalu, kami berlatih soal pada satu bulan sebelum tes. Oleh
karena itu, rencana pada bulan Mei ini adalah memperbanyak latihan soal. Urusan
penguasaan materi dilimpahkan sebagai tambahan apabila setelah mengerjakan soal
dirasa ada materi yang kurang dipahami. Muncullah ide untuk membeli buku
latihan soal di Gramedia. Hari itu juga kami ke Gramedia Malang. Saya dibonceng
Yunaz; Fizal sendiri. Kasian. :)
Kami sampai di Malang tepat saat
sebelum salat Jumat berlangsung. Kebetulan di Gramedia terletak di sekitar
alun-alun dan di sana pula ada masjid besar. Kami salat Jumat di sana. Setelah
salat Jumat, kami segera ke Gramedia. Kami melihat ada beberapa buku bagus yang
membuat kami ingin membelinya, tetapi tidak karena tujuan kami adalah mencari
buku latihan soal. Kami membandingkan beberapa buku. Akhirnya, kami mendapat
satu yang menurut kami berisi latihan soal yang lengkap.
Saat antre di kasir, Fizal bertanya,
“Kenapa sih kok orang-orang Indonesia lebih cenderung lebih banyak membeli buku
yang semacam motivasi-motivasi, trik meraih sukses, tujuh cara bla bla bla
daripada semacam buku-buku pemikiran, biografi, pengalaman hidup?”. Saya menjawab, “Mungkin
dikarenakan budaya instan, dalam artian ingin tahu cepat mendapatkan sesuatu
tanpa melewati dan memahami prosesnya sehingga buku-buku pemikiran kurang laku
karena dianggap akan hanya menghabiskan waktu”. Namanya juga kemungkinan;
jawaban saya ini bisa benar bisa salah. Terlepas dari itu, pertanyaan Fizal ini
menarik juga untuk dicari jawabannya. Memang saya pernah melihat sebuah survei
yang menunjukkan bahwa bacaan tentang motivasi menjadi yang paling banyak
dipilih masyarakat Indonesia. Coba kenapa.
Setelah membeli buku, kami segera
kembali ke Batu. Kami berkumpul kembali di warung biasanya. Kami makan di sana.
Sekitar dua puluh menit setelah itu, kami berkunjung ke sekretariat Imakoba di
dekat alun-alun. Beberapa anggota Imakoba terlihat sibuk mengurus berbagai
keperluan untuk acara hari Minggu. Saya dan Yunaz hanya sekitar tiga puluh
menit di sana. Sementara itu, Fizal tetap di sana. Saya diantar oleh Yunaz ke
terminal untuk menunggu bus. Buku yang kami beli tadi dibawa Fizal untuk
difotokopi dan dibagikan besok harinya.
7 Mei kami kembali berkumpul. Saya
sampai duluan di tempat. Saya menunggu di dekat Indomaret, dekat RSI. Fizal
kemudian datang dan mengajak saya untuk menunggu di warung bubur ayam Abu
Dhoni. Jadilah kami makan di sana. Karena kemarin saat makan mie ayam memakai
uang saya, Fizal kali ini yang membayar. Tak lama kemudian datanglah Yunaz.
Fizal segera membagi fotokopi buku latihan soal. Di buku tersebut ada lima
paket soal. Kami menyusun bagaimana caranya agar kami bisa latihan bersama
mengerjakan soal-soal itu. Akhirnya, disepakati bahwa kami akan mengerjakan
soal-soal tersebut setiap hari Senin dan Jumat dan setiap satu paket untuk satu
hari dimulai tanggal 9. Jadwal pengerjaannya dimulai pukul 15.30 sampai 17.15
dan 19.15 sampai 20.15. Kami harus saling melaporkan berapa persentase
perolehan kami setiap selesai mengerjakan satu paket agar menjadi bahan evaluasi.
Penghitungan itu dengan proses jumlah jawaban benar dikali empat kemudian
dikurangi jumlah jawaban salah, dibagi jumlah soal dikali empat, dikali
seratus.
Singkat cerita, saya dan Yunaz
mempersiapkan keperluan untuk acara tanggal 8. Tanggal 8 berjalan lancar. Saya
harus pulang sebelum waktu berakhir karena malam itu juga saya pulang ke Jogja
dan saya belum mempersiapkan barang-barang yang dibawa ke Jogja.
Sesuai rencana, tanggal 9 kami
memulai pengerjaan soal bersama-sama itu. Keesokan harinya, teman saya yang
juga akan tes lagi, Bedrow, mengisi formulir SBMPTN di kelas lewat telepon
genggam. Coba bayangkan. Saya penasaran. Saya kemudian meminjam telepon
genggamnya. Selain untuk melihat formulir Bedrow, saya juga meminjamnya untuk
bertanya kepada Halo SBMPTN perihal syarat bahwa alumni 2015 dan 2014 harus
membawa ijazah legalisasi pada tes nanti. Saya bertanya apakah boleh membawa
ijazah aslinya saja karena saya tidak punya ijazah legalisasinya dan hanya
membawa ijazah asli ke Jogja. Sampai akhir kuliah masih belum ada jawaban dari
Halo SBMPTN. Akhirnya, saya membuka lagi kolom pertanyaan saya dengan kode
kolom pertanyaan yang sudah saya simpan. Ada jawaban dari pihak Halo SBMPTN
yang intinya mengharuskan membawa ijazah legalisasinya. Itu berarti saya harus
pulang lagi ke Malang. Saya mencari teman (barengan).
Oh iya, mumpung teman saya ada yang
asli Jakarta, saya bertanya kepada dia mengenai Pasar Senen dan SMPN 4 Jakarta. Teman saya ini bernama Ganita.
Ia bilang bahwa rumahnya di dekat Pasar Senen. Nah, saya bertanya mengenai
jarak antara Pasar Senen-Sudirman (tempat indekos Mas Bagos). Ia bilang cukup
jauh. Saya bertanya lagi, kali ini soal jarak Sudirman-SMPN 4. Saya bertanya
apakah bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Dengan logat khas Jakarta-nya, dia
bilang, “Anjir… jauh banget itu anjir. Mending lo naik busway (Transjakarta) aja, turun Istiqlal”. Saya hanya
mengiyakan saja seolah saya paham.
Di kesempatan yang lain, sebelum
bulan Mei kalau tidak salah, di kelas, Ganita menanyakan lagi perihal pendaftaran SIMAK. Saya bilang bahwa saya jadi
SIMAK dan tes di Jakarta. Eh, bukan Ganita yang bertanya; Nadia sebenarnya.
Jadi, saat itu ada saya, Ganita, dan Nadia di kelas. Saya sedang iseng main
komputer kelas untuk mengunduh beberapa video dari Youtube. Nadia kemudian
bertanya seperti itu. Ternyata, ia juga pernah tes SIMAK. Ia diterima di pilihan
keduanya, sejarah, tetapi tidak diambil. Ia memilih mengambil filsafat (SBMPTN).
Ia punya soal SIMAK. Saya kemudian minta soalnya, tetapi itu ada di rumahnya,
di Kebumen. Singkat cerita, nantinya dia memberi saya soal SIMAK 2015 sekitar
Mei pertengahan. Saya gunakan soal SIMAK itu untuk belajar. Saya baru menyadari
bahwa di SIMAK tidak ada TPA dan sosiologi; IPS terpadu sebagai pengganti
sosiologi. Namun, pada Mei akhir, saya malah bersyukur karena tidak ada TPA. Itu
artinya saya bisa fokus ke bahasa Indonesia, bahasa Inggris, dan matematika.
Pada Mei akhir juga, ada kabar bahwa SIMAK 2016 ada sosiologi yang menggantikan
IPS terpadu. Kabar baik.
Berlanjut kembali ke mencari teman. Saya
mulai mencari teman untuk menemani saya mengurus ijazah legalisasi di sekolah.
Barangkali ada yang belum mengurus legalisasi ijazah. Saya berencana berangkat
pada tanggal 14. Setelah cari teman sana-sini, ada satu teman yang dulu sekelas
juga belum mengurus ijazah. Saya ajak mengambil bersama. Rencananya hari
Selasa, tanggal 17, tetapi masih belum pasti, masih mengambang.
Saya jadi pulang tanggal 14 Mei. Sabtu
malam itu saya lewati sendiri sepanjang jalan dari Jogja ke Malang dengan suara
romantis dari sepi. Ceh. Saya sampai
di Malang hari Minggu pagi. Malam harinya, Yunaz mengirim pesan kepada saya
bahwa ada yang belum mengurus ijazah legalisasi. Ia adalah Andre. Andre berencana
ikut tes. Kabarnya sih akan memilih UGM. Akhirnya, saya kirim pesan ke Andre.
Benar, dia mau mengurus ijazah, tetapi pada hari Senin. Karena teman saya yang
satunya akhirnya mengatakan tidak jadi ke sekolah, saya ikut jadwal Andre pada
hari Senin pagi.
16 Mei saya dan Andre berkumpul di
Indomaret dekat sekolah (SMAN 1 Batu). Sebelum masuk ke sekolah dan mengurus
ijazah, saya dan Andre memfotokopi ijazah dan SHU di tempat fotokopi depan
sekolah, di samping indekos saya waktu SMA. Setelah itu, kami segera ke sekolah
dan menuju bagian TU. Kami juga bertemu guru-guru kami di sana. Segera kami
menyampaikan maksud kami dengan menyerahkan fotokopi ijazah. Namun, menurut
petugas TU, ijazah legalisasi baru bisa diambil pukul 12.00. Baiklah, kami ke
kantin dahulu. Kami duduk di bangku depan koperasi siswa. Kami bercerita. Andre
ternyata tidak kuliah. Ia tahun lalu sebenarnya diterima di jurusan hukum di
UB, tetapi tidak diambil karena ada suatu masalah. Kami bercerita banyak hal,
terutama mengenai rencana tes lagi. Ia bertanya-tanya mengenai UGM. Benar, ia
akan memilih UGM, tepatnya di jurusan ilmu komunikasi. Karena saat itu bel
istirahat berbunyi dan kantin pasti akan ramai, kami pindah ke halaman tengah
atau biasa disebut paving.
Di paving saya bertemu adik-adik
kelas saya jurusan Bahasa. Mereka hendak mengambil SKL. Kabar baiknya adalah
banyak dari mereka yang lolos SNMPTN. Ada beberapa yang harus SBMPTN. Sedihnya, tak ada yang keluar lebih jauh
ke luar Jawa Timur. Namun, ini hanya di Bahasa. Beberapa siswa dari jurusan
lain ada yang diterima di UGM dan IPB. Saya senang kalau ada yang kuliah jauh
dari tempat asal; itu berarti mereka berani merantau. Hal itu pula yang saya
sampaikan ke Andre, pun Fizal. Merantau itu penting bagi anak muda.
Saya dan Andre kemudian teringat
bahwa teman-teman lain di angkatan kami sudah mendapat ijazah dan SHU
legalisasi. Yunaz bilang ia mengambil di tempat fotokopi di sekolah, dekat
kantin. Mungkin saya belum mendapat ijazah legalisasi karena belum ke tempat
tersebut. Saya segera mengajak Andre ke sana. Di sana kami bertemu Mas Andi,
operator fotokopi. Saya bertanya ke Mas Andi apakah dulu teman-teman mengambil
ijazah legalisasi di situ. Ia menjawab bahwa bahkan masih banyak yang belum
diambil. Saya dan Andre mencari milik kami masing-masing. Ternyata benar, ada
ijazah dan SHU legalisasi milik kami. Masing-masing ada lima lembar. Meski
sudah mendapat, kami tetap menunggu ijazah fotokopi yang masih diproses di TU.
Biar sekalian banyak.
Andre tidak bisa berlama-lama di
sana. Ia ada latihan try out di
tempat bimbelnya di Malang. Ia bilang bahwa ia akan mengambil ijazah legalisasinya yang di TU pada esok hari. Saya akhirnya bersama adik-adik kelas Bahasa yang
baru lulus. Selain mengurus SKL, mereka ternyata hendak bertakziah ke rumah salah
satu teman mereka, Azmi, karena neneknya baru saja meninggal. Saya ikut. Kami
berangkat ke rumah Azmi setelah saya mengambil ijazah dan SHU legalisasi di TU.
Singkat cerita setelah dari Azmi, saya bersama Azif, adik kelas, pulang bersama
ke Pujon. Kami makan bakso sebentar di depan objek wisata Dewi Sri. Baksonya
luar biasa enak. Agak mahal, tapi sesuai dengan rasa dan porsinya. Memang,
kalau untuk urusan kuliner, Malang juaranya. Kalau soal harga murah, Jogja
tempatnya. Setelah itu, saya pulang ke Ngantang naik bus.
Malam harinya saya pulang ke Jogja.
Saya menunggu bus jurusan Jombang sejak pukul 19.45 sampai sekitar 22.00 di
tempat pemberhentian penumpang, di pertigaan yang bernama Kambal.
NEKAT
Perkuliahan tinggal satu minggu
setengah. Di lain sisi, saya merasa masih kurang dalam belajar dan saya ingin
fokus belajar materi-materi yang belum saya pelajari. Akhirnya, dengan agak
berat, berdasarkan prioritas, saya memilih untuk belajar SBMPTN dan SIMAK dalam
satu minggu setengah itu. Kuliah saya lepaskan beserta tugas-tugasnya. Ada
beberapa alasan mengapa saya berani meninggalkan perkuliahan dan memilih
belajar untuk tes.
1. Perkuliahan waktu itu tinggal
presentasi kelompok. Akan ada banyak waktu yang saya buang kalau saya hanya
menjadi “penonton” presentasi. Namun, saya tidak mau belajar SBMPTN di kelas
karena saya pasti tidak dapat berkonsentrasi.
2. Sudah ada beberapa mata kuliah
yang pasti tidak bisa saya ikuti UAS-nya. Ini dikarenakan saya sudah tidak
masuk melebihi batas absen yang disediakan (tiga kali). Di awal, saya sudah
menceritakan bahwa saya terkena insomnia akut sehingga saya sering bangun lebih
siang dan ketinggalan mata kuliah di jam pagi. Itu salah satunya. Kedua, saya
sering sakit selama semester II. Sakit yang terakhir adalah sakit radang
telinga. Saya sudah ke GMC untuk meminta obat, tetapi lupa meminta surat izin
tidak masuk. Jadilah hampir semua mata kuliah sudah pasti tidak bisa saya ikuti
di UAS. Kalau sudah begitu, untuk apa ikut perkuliahan? Lebih baik saya belajar
untuk tes SBMPTN dan SIMAK yang tinggal hitungan hari itu.
3. Ini yang agak membuat saya kesal.
Ternyata UAS tidak jadi dimulai pada tanggal 8, tetapi tanggal 6. Saya baru
pulang dari Jakarta pada tanggal 7. Sementara itu, mata kuliah yang biasa saya
ikuti UAS-nya semua ada di tanggal 6 dan 7. Jadi, ya sudah, hilang semua. Saya
tidak ikut UAS sama sekali. Saya bisa saja membuat surat izin untuk tidak ikut
UAS, tetapi kok rasanya aneh kalau alasan saya menunda ujian di surat izin
nanti dengan alasan saya akan tes lagi.
Akhirnya, saya, dengan kenekatan
itu, memilih untuk belajar, mempersiapkan agar bisa mengerjakan SBMPTN dan
SIMAK secara maksimal. Saya belajar materi-materi yang belum saya pelajari di
CD Zenius. Saya menggunakan voucher
Zenius untuk belajar materi sejarah. Keren! Materi sejarah disampaikan dengan
santai tapi detail. Banyak pengetahuan baru yang saya dapatkan. Saya sampai tepuk tangan ketika belajar sejarah, saking
kerennya materi itu disampaikan.
Mungkin ada yang bertanya kenapa
saya tidak TA (titip absen) saja. Menurut saya, TA hanya untuk pengecut yang
tidak bertanggung jawab mengambil konsekuensi. Kalau tidak masuk ya pilihannya
hanya dua: mengirim surat izin atau tidak sama sekali, bukan TA. Oh iya, saya
sendiri kurang setuju dengan istilah “titip absen” ini. Absen berarti ketidakhadiran.
Kalau titip absen ya berarti titip ketidakhadiran. Apakah yang dititipkan itu
ketidakhadiran? Tidak. Memang orangnya
tidak hadir, tetapi yang dititipkan adalah tanda kehadirannya. Kehadiranlah
yang dititipkan. Jadi, yang benar adalah titip presensi. Presensi berarti
kehadiran.
Sebenarnya pada awal semester II,
saya sangat berniat berkuliah dengan lebih rajin. Eh, ternyata ya ada-ada saja kendalanya.
KEDATANGAN
TEMAN-TEMAN DI JOGJA
Yunaz dan Fizal sudah memesan tiket
jauh hari untuk berangkat ke Jogja. Mereka akan berangkat pada tanggal 28 Mei. Beberapa
hari sebelum hari keberangkatan mereka, Yunaz memberi tahu bahwa mereka akan
berangkat bersama Andre. Mereka bertiga berangkat dari Malang pada 07.30 dan
sampai di Jogja (Stasiun Tugu) sekitar 15.30. Sementara itu, Hasbi akan datang
keesokan harinya dan Adam datang pada tanggal 1 Juni karena ia tes SBMPTN di
Surabaya.
28 Mei. Yunaz, Fizal, dan Andre
berangkat dari Malang (Stasiun Malang). Saya menyuruh mereka untuk memberi
kabar ketika sudah sampai di Solo. Rencananya saya akan menjemput mereka di
pintu keluar Stasiun Tugu. Saya tidak menjemput memakai motor. Nantinya kami
akan naik bus Trans Jogja bersama-sama.
Mereka memberi kabar sudah sampai di
Solo sekitar pukul 14.40. Wah, tanggung karena sebentar lagi salat asar. Setelah
salat asar, sekitar 15.05, saya mulai berangkat; saya menuju halte Trans Jogja
di depan Kosudgama. Sesampainya di halte, saya bertanya apakah ada halte di
sekitar pintu keluar stasiun. Petugas bilang ada halte tapi agak jauh.
Akhirnya, saya menyuruh teman-teman untuk menunggu di Malioboro saja, di depan
Hotel Inna; di sana lebih dekat dan ada halte. Mungkin karena akhir pekan,
penumpang bus Trans Jogja banyak sampai penuh. Saya turun di halte Malioboro I.
Ketika saya keluar dari halte dan melihat arah depan halte, Yunaz, Fizal, dan
Andre ternyata sudah ada di sana. Mereka membawa banyak tas. Saya menyeberang. Betapa
senangnya saya dan mereka bertemu lagi untuk benar-benar berjuang lagi kali
ini. Kami di sana sekitar 10 menit.
Selesai berjumpa-sapa layaknya
seperti tidak pernah bertemu sekian lama, kami ke halte lagi untuk naik bus ke
halte Kosudgama. Seperi biasa, karena jumlah kendaraan Trans Jogja relatif
sedikit, kami menunggu lama. Oh ya, saya sempat membuat tulisan berisi pendapat
saya mengenai Trans Jogja di blog ini.
Kami menunggu bus kode 2A. Ketika
bus itu datang, kami segera naik. Kami hampir mengikuti seluruh rute 2A.
Bayangkan, dari Malioboro kemudian ke arah selatan, ke timur, sampai saya lihat
sudah mencapai perbatasan Jogja-Bantul, kemudian ke utara. Lebih dari satu jam
kami di dalam bus itu. Kami baru sampai di indekos saat sepuluh menit setelah
magrib.
Kami masih ada acara malam harinya.
Seperti biasa, kalau ada teman dekat datang, pasti disambut teman-teman lain
yang ada di daerah itu. Dalam hal ini yang menyambut adalah Imaba Jogja.
Setelah isya, kami ke GOR Klebengan. Kami bertemu teman-teman lain dan makan
bersama di sana. Singkat cerita, setelah pulang dan sampai indekos, kami cuci
muka kemudian tidur.
29 Mei. Saat kami belajar pada siang
hari, dua tamu tidak terduga datang. Tebak siapa? Mas Adit dan Indah. Bagi yang
belum membaca cerita saya tahun lalu pasti tidak mengenal siapa mereka. Mas
Adit inilah yang dulu berjasa menampung kami ketika berada di Jogja untuk tes
SBMPTN, kurang lebih selama tujuh hari kami menginap di indekosnya. Nah, kalau
Indah ini teman kami satu SMA. Dia sekarang berkuliah di jurusan seni musik ISI
Yogyakarta dengan major vokal.
Mas Adit tiba-tiba muncul dari balik
pintu. Kami berempat terkejut karena memang hari itu tak ada rencana bertemu.
Setelah saya ingat-ingat kenapa Mas Adit bisa tahu alamat indekos saya, dulu,
saat awal-awal di Jogja, ternyata saya pernah memberi alamat saya kepada Mas
Adit. Ketika keluar ke ruang depan, ternyata sudah ada Indah. Jadilah kami
berenam di ruang depan itu bercerita banyak hal.
Kira-kira setelah asar, Yunaz diberi
kabar oleh Hasbi. Ia sudah di daerah Kuningan, daerah indekos saya. Saya
menelepon ia lewat Line. Kebetulan hari sedang hujan dan saya tidak punya
payung. Saya dan Yunaz pinjam mantel motor Mas Adit. Kami berdua menjemput
Hasbi sekitar tiga ratus meter dari indekos saya. Ternyata Hasbi tidak seperti perkiraan
saya. Saya kira Hasbi berwajah tua karena dia beda dua tahun dari kami,
ternyata dia sama saja dan yang paling saya suka adalah ternyata dia ramah,
juga enak kalau diajak bicara. Kami segera kembali ke indekos. Kami jadi
bertujuh berkumpul di ruang depan.
Kami berkumpul tidak hanya satu atau
dua jam, tetapi sampai setelah magrib. Setelah magrib, kami mencari tempat
makan. Kami di warung lalapan kenangan saya, Fizal, dan Yunaz di daerah
Karangmalang yang bernama warung Prasojo. Singkat cerita, setelah makan, kami
kembali ke indekos kemudian Mas Adit dan Indah pulang. Terima kasih untuk Mas
Adit dan Indah.
Saya cerita sedikit tentang kamar
saya. Kamar saya bukanlah kamar indekos yang besar. Ukurannya hanya 2,5 X 3
meter atau mungkin lebih kecil dari itu sedikit. Jadi, ketika ada lima orang di
sana, kami harus menyesuaikan. Luas lantai kamar ini masih dikurangi dengan
luas alas tas kami dan barang-barang saya yang sudah ada dahulu di situ. Belum lagi
kalau nanti Adam datang. Belum lagi kalau ada adik kelas dari sekolah saya yang
diterima SNMPTN di UGM menginap untuk keperluan daftar ulang. Oleh karena itu,
agar bisa sedikit nyaman, dua minggu sebelumnya saya beli dua guling besar dan empuk
bergambar klub sepak bola MU dan kartun Hello Kity. Ok fix ini tidak penting. Skip.
Namun, dari pengamatan saya, luas lantai untuk tidur tidak memengaruhi
kenyamanan seseorang untuk tidur. Buktinya, masih bisa tidur meski
berdesak-desakkan. Yang penting kebersamaan. Hehehe. Saya sesekali tidur di
kamar teman saya. Sayang sekali saya lupa memfoto kegiatan belajar di kamar. Padahal, penting untuk dokumentasi. :(
30 Mei. Rencana hari itu adalah
mengecek lokasi ujian di UPN Veteran. Pagi hari sampai menjelang siang kami
belajar. Kami berangkat ke UPN pukul 14.05. Kami naik Trans Jogja dari halte
UNY (Jalan Colombo). Perjalanan ini kami jadikan patokan apakah esok hari kami
naik Trans Jogja atau yang lain. Ternyata, keseluruhan perjalanan berangkat ke
UPN termasuk transit di halte Condongcatur mencapai satu jam lebih. Sudah bisa
dipastikan kami tidak naik Trans Jogja esok hari, entah dengan apa.
Sesampainya di UPN, kami masuk lewat
pintu utama. Karena lokasi saya, Yunaz, dan Hasbi ada di area teknik dan Fizal
di area ekonomi seorang diri, kami cek lokasi Fizal dahulu. Kami bertanya
kepada satpam yang ada di sana. Setelah itu, kami melanjutkan cek lokasi.
Lokasi Fizal berada di lantai dasar. Tidak sulit untuk menemukannya.
Lanjut ke lokasi saya, Yunaz, dan
Hasbi. Jarak lokasi kami bertiga memang tidak terlalu jauh, bahkan lokasi saya
dan Hasbi hanya berselisih beberapa ruang, tetapi semua lokasi kami ada di
lantai III. Setelah semua lokasi dicek, kami berkumpul sebentar. Jadi, besok
kami akan langsung ke ruangan masing-masing. Saat istirahat, kami berencana
berkumpul di masjid UPN yang terletak di belakang kemudian kembali lagi ke
lokasi ujian masing-masing.
Di dekat ruangan ujian Hasbi ada
musala. Kami salat asar sebentar di sana. Di saat akan salat itulah saya bilang
ke Yunaz kalau bagaimana tidak usah berkumpul bersama di masjid saat istirahat,
tetapi langsung seusai tes berkumpul di lapangan. Akhirnya, kami semua setuju
begitu saja karena jarak lokasi saya, Yunaz, dan Hasbi memang cukup jauh dari
masjid.
Kami pulang melewati lapangan UPN.
Kami berencana berkumpul di dekat bangku yang ada di sana ketika pulang esok
harinya. Kami segera pulang.
Oh iya, sayang sekali, Andre tidak
satu lokasi ujian bersama kami. Andre mendapat tempat kalau tidak salah di SMA
11 atau SMA 8 Yogyakarta. Andre nantinya diantar menggunakan sepeda motor
dengan Farah.
Kembali lagi ke kami yang di UPN. Kami
pulang menggunakan bus Trans Jogja. Kami menunggu di halte selama lebih dari
empat puluh menit. Serius? Iya. Ketika bus sudah datang, ternyata penuh, kami
didahului penumpang lain. Saya iseng memfoto dan menge-twit ke akun Jogja 24 Jam. Saya banyak menerima retweet dan mention. Ada yang bercerita bahwa dirinya pernah menunggu selama satu
jam, bahkan ada yang tiga jam. Saya percaya bahwa apa yang mereka katakan benar
karena memang saya sendiri sering menunggu bus Trans Jogja sangat lama. Eh,
tetapi menunggu bus Trans Jogja itu lebih pasti daripada menunggu dia, lho. Namun, kenyataannya, saya masih
menunggu dia. Masihkah engkau sedingin angin kepadaku? Hmmm… Skip. Ini tidak penting.
Singkat cerita kami mendapat bus
Trans Jogja persis sebelum magrib. Kami turun di halte Sanata Dharma. Kami
tidak langsung pulang karena masih akan membeli papan dada di Toko Merah. Setelah
dari Toko Merah, kami ke Indomaret, kemudian ke warung warmindo (burjo) dekat
sana untuk makan. Setelah itu, kami pulang, mandi, dan tidur.
Oh iya, tepat setelah kami datang di indekos, saya
dikirimi pesan oleh adik kelas saya yang diterima di UGM lewat SNMPTN dan
hendak daftar ulang (tes ACePT) esok harinya. Jadi, saat pengumuman SNMPTN
2016 pada 9 Mei, anak ini, Fikri, menghubungi saya lewat Line. Ia bingung hendak menginap
di mana saat untuk tes ACePT. Saya sarankan saja di indekos saya, tetapi ya
begitulah, saya bilang kepada dia bahwa nantinya akan ada teman-teman saya
juga. Hari-hari berlalu. Singkat cerita, ia jadi menginap di indekos saya.
Setelah dikirimi pesan bahwa ia sudah di dekat indekos, saya menemuinya. Saya
segera mengajak dia ke indekos. Ia kemudian menaruh barang-barangnya. Karena
kamar saya sudah penuh, saya minta teman indekos saya, Mas Danar, untuk bersedia kamarnya
dibuat penampungan tas, tas Fikri saja. Sesudah kami mandi, kami bercerita
sebentar di kamar bersama Yunaz, Fizal, Andre, dan Hasbi. Sekitar pukul 22.00
kami tidur. Saya tidur di kamar teman indekos saya.
PERANG
PERTAMA: SBMPTN, 31 MEI 2016
Pagi itu saya, Yunaz, Fizal, Hasbi
berangkat pukul 07.30. Karena kami tes
golongan soshum, tes kami dimulai pukul 09.45. Sementara itu, Andre masih di
indekos untuk menunggu Farah. Fikri berangkat lebih dahulu sebelum saya
sekaligus ia berpamitan pulang. Kami berempat jadi naik taksi. Alasan utamanya
adalah pertimbangan waktu dan energi. Kami naik taksi dari depan Wisma MM UGM.
Kebetulan ada satu taksi di sana. Taksi
yang kami naiki lumayan nyaman.
Kami turun di pintu samping timur
UPN. Saya menemukan suatu hal menarik di sana. Di sana banyak orang menjual
papan dada. Fizal dan Yunaz hendak membeli. Namun, ternyata harganya
Rp20.000,00. Wow! Mereka tidak jadi membelinya. Sebelumnya, di Toko Merah,
hanya saya saja yang membeli papan dada. Harga papan dada di Toko Merah hanya
Rp3.000,00. Beda jauh, bukan? Kami segera menuju masjid untuk salat duha.
Setelah dari sana, sekitar pukul 09.00, kami ke ruangan masing-masing.
Saat saya sampai di depan ruangan,
sudah banyak peserta lain yang menunggu. Ada yang belajar, ada yang bermain
telepon genggam, dan ada yang diam saja sambil berdoa. Saya, Yunaz, Fizal, dan
Hasbi sepakat untuk tidak belajar saat menjelang ujian, bahkan kami tidak
membawa apa pun kecuali barang-barang yang kami perlukan untuk tes. 09.45 pintu
dibuka; peserta dipersilakan masuk.
Saya mengamati sesuatu. Banyak
peserta yang membawa ijazah legalisasi. Ini berarti mereka adalah alumni tahun
lalu, sama seperti saya. Memang tidak menjamin bahwa semua yang membawa ijazah
legalisasi adalah alumni tahun lalu, tapi kenyataanya, ijazah biasanya
diberikan sekitar dua bulan setelah kelulusan. Oleh karena itu, panitia SBMPTN
membolehkan siswa untuk membawa surat tanda lulus asli sementara jika belum
mendapatkan ijazah.
Saya mengisi data diri di lembar jawaban yang
disediakan. Soal dibagikan, tetapi tidak boleh dibuka sebelum tanda mulai
mengerjakan. Sesi pertama adalah TPA (Tes Potensi Akademik) yang memuat verbal,
numerikal, figural, matematika dasar, bahasa Indonesia, dan bahasa Inggris. Bel
berbunyi beberapa menit kemudian; peserta sudah boleh mengerjakan. Di awal,
saya santai saja mengerjakan. Sampai nomor 20-an, soal mulai sulit. Ada jenis
soal baru ternyata. Edan! Figuralnya lumayan susah, walaupun akhirnya bisa saya
temukan jawabannya. Selesai figural, saya segera ke bahasa Indonesia. Setelah
itu, ke bahasa Inggris. Tidak terasa sudah masuk lima belas menit terakhir. Saya
mulai tergopoh. Sepuluh menit terakhir baru saya sampai di matematika. Lebih
edan! Akhirnya, dengan sangat terpaksa, saya gambling. Gambling ini
adalah istilah yang dibuat oleh Hasbi. Teknisnya adalah mengerjakan semua soal
pada bab tertentu dengan cara memilih abjad yang sama dari nomor awal sampai
akhir. Malam sebelumnya, tanggal 30 malam, saya sempat “berlatih” gambling dengan Hasbi dan Yunaz. Jadi,
kami meguji coba semua jawaban dari lima paket soal dari berbagai buku latihan
soal yang kami punya. Singkat cerita, jawaban yang paling banyak muncul dari
semuanya adalah jawaban “C”. Gambling ini
digunakan ketika benar-benar tidak bisa mengisi semuanya karena soalnya sulit.
Akhirnya, saat sampai di bab matematika, saya gambling. Saya memilih C di semua nomor matematika (15 soal). Ini
karena memang soalnya yang edan dan saya tidak punya banyak waktu. 10 menit itu
terasa pendek. Ya sudah. Yang penting saya sudah berusaha semampu saya. Peserta
kemudian dipersilakan keluar setelah bel tanda berakhir pengerjaan berbunyi.
Saya kemudian ke musala dekat
ruangan Hasbi untuk salat duhur. Di sana saya bertemu Hasbi. Setelah salat,
saya ke depan musala untuk bertemu Hasbi. Ternyata, ini juga sekaligus membuat
saya bahagia, tidak saya saja yang merasakan bahwa TPA SBMPTN 2016 cukup sulit.
Hasbi yang cerdas matematika dan sering mengajari saya matematika di indekos
hanya bisa menjawab sekitar tiga atau lima soal saja. Ia pun mengakui bahwa TPA
tahun ini lebih sulit dari TPA tahun lalu. Ia juga bertanya ke teman-temannya
yang ada di Surabaya tentang kesulitan di TPA. Teman-temannya di Surabaya, yang
juga ikut tes lagi, bilang bahwa TPA tahun ini lebih sulit dari TPA tahun lalu.
Itu membuat saya jauh lebih lega. Mengapa? Kalau semua peserta merasakan sulit
dalam TPA ini, itu berarti kami semua rata alias sama saja. Harapan itu masih
ada. Saat itu saya yakin bahwa saya masih berkemungkinan diterima, tetapi saya
tidak tahu akan jatuh di pilihan berapa.
12.45 dimulai sesi kedua. 15 menit
waktu pengisian data diri. 13.00 mulai mengerjakan. Kali ini adalah soal tes
soshum yang terdiri dari sejarah, ekonomi, geografi, dan sosiologi. Saya merasa
soshum lebih mudah dan tidak semenengangkan TPA. Namun, tetap diperlukan
ketelitian untuk mengerjakan soal.
Pukul 14.00 tes selesai. Alhamdulillah. Satu perang selesai
dilaksanakan. Sesuai rencana, kami berkumpul di lapangan UPN. Saya datang
terlebih dahulu bersama Hasbi. Yunaz dari arah timur dan Fizal dari arah barat
datang hampir bersamaan. Reaksi pertama bertemu sesuai ujian: tertawa. Kami
duduk di sana. Kami bercerita banyak hal. Hal pertama yang kami bicarakan
adalah mengenai TPA. Ternyata, tidak saya saja yang gambling untuk matematika. Fizal, seorang yang juga pandai dalam
matematika, melakukan gambling. Yunaz
hanya menjawab satu soal matematika. Itu saja katanya menjawab dengan
sekenanya. Kami juga mengakui bahwa figural tahun ini sulit. Agar tidak tegang,
kami berhenti membahas tentang ujian. Yang lalu biarlah berlalu, tinggal berdoa
agar diberikan yang terbaik oleh-Nya. Kami masih di situ. Kami bercanda.
Sebenarnya, dalam berbagai keadaan, termasuk saat belajar, kalau ada Fizal dan
Yunaz, hidup kami penuh dengan bercanda. Di lapangan itu saya tertawa sampai
tidak bersuara gara-gara Fizal. Yunaz tidak kalah lucunya. Mulai dari bercanda
mengenai TPA sampai bercanda mengenai iklan masa kecil dulu. Yunaz dan Fizal
adalah “everywhere-flexibly-comedian”
favorit saya. Saya dan Hasbi yang pada dasarnya tak pandai membuat lelucon pun hanya
menikmati Fizal dan Yunaz bercanda. “Urip
full guyon,” kata Yunaz. Namun,
sesekali kami masih mengungkit perihal tes tadi. Singkat cerita, kami salat
asar setelah itu di masjid UPN. Setelah itu, kami mencari tempat makan di dekat
sana. Ada warung prasmanan murah di dekat pintu selatan UPN. Saya makan porsi
kuli. Kami kemudian pulang dan membahas apa saja yang terjadi bersama Andre.
1 Juni 2016. Kami berniat belajar di
luar indekos. Karena saya ingat itu adalah minggu tenang, saya menyarankan agar
belajar di kampus saja, tepatnya di Psikologi UGM. Di sana ada tempat yang
nyaman untuk belajar. Ketika kami hampir sampai di psikologi, banyak mahasiswa
datang. Rupanya psikologi belum minggu tenang. Kami kemudian ke masjid kampus.
Hanya tiga puluh menit kami di sana. Kami kemudian ke GSP. Kami belajar di sana
cukup lama. Saya belajar dengan Yunaz. Hari itu kami sepakat untuk khusus
belajar materi bahasa Indonesia; esok harinya untuk bahasa Inggris dan sedikit
matematika. Sekitar 45 menit kemudian kami kembali ke indekos.
Sesampainya di indekos, kami
istirahat sebentar. Pada waktu istirahat itu, seperti biasa, kami bercanda
tentang sesuatu. Bercandaan kami tiba pada pembahasan mengenai suatu hal. Saya
lupa bagaimana awalnya hingga kami berbicara mengenai konsep lawan kata. Saat
Fizal berkata “hitam-putih”, saya kemudian menjelaskan bahwa lawan dari sesuatu
adalah yang bukan dari sesuatu itu, belum tentu apa yang biasanya disebut orang
selama ini. Saya belajar ini dari mata kuliah logika. Seperti hitam-putih,
sebenarnya lawan dari hitam belum tentu putih. Lawan dari hitam adalah yang
bukan hitam atau nonhitam, mungkin merah, hijau, dsb. Begitu pula dengan
siang-malam. Lawan dari siang sebenarnya bukanlah malam, tetapi bukan siang
atau nonsiang. Kami kemudian mencoba mencari maksud dari lawan kata yang
benar-benar lawan kata. Kami akhirnya menyimpulkan bahwa lawan kata hanya
berlaku apabila hanya ada dua variabel dalam satu jenis. Misalnya, jenis
kelamin. Jenis kelamin hanya ada dua: laki-laki atau perempuan. Maka, laki-laki
memiliki lawan kata, yaitu perempuan karena yang nonlaki-laki atau bukan
laki-laki hanya perempuan. Begitulah konsep lawan kata yang kami sepakati.
Sore menjelang petang Adam datang. Dengan
kedatangan Adam beserta barang-barangnya, kamar terasa seperti penampungan
pengungsi bencana alam. Hehehe. Tidak apa-apa. Saya justru senang dengan
keadaan seperti itu.
Malam itu Fizal dan Andre belajar
dengan Mbak Rere, kakak angkatan kami di SMA yang berkuliah di UGM jurusan
matematika, di kampus. Saya, Yunaz, Hasbi, dan Adam belajar di kamar. Saya dan
Yunaz menghabiskan materi bahasa Indonesia. Kelebihan belajar bersama seperti
ini adalah saling melengkapi dan mengajari. Contohnya, Yunaz unggul dalam
sejarah dan geografi. Ketika saya kurang paham dengan materi sejarah dan
geografi, saya bertanya ke Yunaz. Begitu pula sebaliknya. Jadi, saling berbagi
pengetahuan.
2 Juni 2016. Sama seperti hari
biasanya. Kami belajar hampir sepanjang hari. Namun, kami juga tidak lupa
beristirahat dan bercanda. Bercandaan itu sesungguhnya sering muncul secara
tidak sengaja. Contohnya, ketika di ruangan sedang panas, Yunaz menyalakan
kipas angin yang dihadapkan ke tembok. Kami kemudian melihat bersama-sama kipas
itu. Yunaz menyanyi, “Sendiri…”. Maksudnya, kipas angin itu seolah sedang cuek.
Hehehe. Ada juga ketika yang lain sedang mengerjakan latihan soal, Yunaz
bermain Instagram, mencari video bus telolet.
Full guyon. Ya, seperti itu, tetapi tetap tahu kapan harus serius. Terkadang
kami belajar di luar materi yang diujikan. Contohnya, saya latihan berbicara
bahasa Inggris dengan Hasbi. Hasbi lancar dalam berbicara bahasa Inggris. Saya
kurang lancar berbicara dalam bahasa Inggris. Nah, jadi kami mencoba
bercakap-cakap dalam bahasa Inggris. Saya mendapat untung karena saya bisa
latihan dan Hasbi juga untung karena secara tidak langsung ia berlatih
memperlancar speaking-nya. Hasbi juga
berbagi pesan-pesan agar mudah belajar bahasa Inggris, seperti banyak membaca
artikel bahasa Inggris dan latihan bicara sendiri dalam bahasa Inggris. Ah,
saya jadi kangen. Saya sangat bersyukur bisa berkenalan dengan mereka semua. Sangat
bersyukur.
Di saat sedang belajar, entah awalnya bagaimana, Hasbi bertanya bagaimana saya memutuskan untuk pindah. Saya bercerita awal saya memutuskan pindah kemudian ketika saya bercerita kepada Yunaz. Ketika itu, saya ingat bahwa Yunaz pernah bertanya sebuah pertanyaan: "Kamu tidak takut rugi umur, Ris?". Sekarang pertanyaan itu saya kembalikan ke Yunaz: "Kamu tidak rugi umur, Naz?".
Saya: "Naz, kamu kan dulu pernah bilang soal rugi umur waktu aku cerita ke kamu aku ingin pindah. Sekarang kamu sendiri juga hendak pindah ternyata."
Yunaz: "Iya, aku menyesal pernah bertanya seperti itu. Aku baru sadar ketika ngobrol soal umur dengan kakak angkatan. Lha kita ini lho gak ada yang tau soal umur. Kita bisa gak ada (meninggal) kapan saja. Jadi, rugi umur? Apa itu rugi umur?"
Yunaz ingin menyampaikan bahwa sesungguhnya rugi umur itu tidak ada. Bisa jadi kami diberi umur panjang untuk melakukan banyak hal. Bisa jadi dengan kami berkuliah di tempat baru nanti akan lebih banyak harapan dan jalan untuk meraih apa yang disebut orang-orang sebagai kesuksesan. Kalaupun mati, itu memang sudah waktunya. Jadi, mengapa masih berdebat soal umur, apalagi rugi umur? Toh selama setahun ini kami juga melakukan banyak hal, ya kuliah, hobi, dll. Rugi umur mungkin hanya ada untuk orang-orang yang tidak melakukan apa-apa sama sekali dan pasti tidak ada orang yang seperti itu kecuali orang mati. Oh iya, menyinggung soal kesuksesan, kesuksesan menurut saya pribadi bukanlah apa yang diartikan banyak orang selama ini sebagai mendapatkan uang banyak, pangkat tinggi, atau pekerjaan mapan (biasanya dikhususkan sebagai PNS semata). Bukan itu, bukan hanya itu. Ketika saya berhasil menyelesaikan suatu tugas dengan baik atau mewujudkan salah satu impian saya, itu sudah saya anggap sebagai kesuksesan. Itu pun tidak akan pernah mencapai kesuksesan yang tertinggi karena impian saya banyak dan tidak pernah habis, bukan hanya pekerjaaan mapan, pangkat tinggi, bukan. Kenapa sih, banyak orang tidak memberi label "kesuksesan" pada hal-hal kecil, misalnya sukses membantu seseorang tua menyeberang di jalan raya, sukses menjalankan acara anggota sebagai panitia, kok hanya pada hal-hal yang kesannya besar? Padahal, itu sama-sama sukses. Sukses dalam KBBI berarti berhasil. Jangankan seperti contoh tadi, menamatkan game di PS saja dianggap sukses, kok. Lho kan, game yang bukan barang nyata saja sering menyebutkan kesuksesan, lebih menghargai: mission completed. Succsess! Congratulations! Jadi, mari kita mengkritisi istilah-istilah yang ada di sekitar kita. Bisa jadi banyak istilah yang membuat kita tidak maju atau menjadikan kita pesimis terhadap hidup, seperti rugi umur dan istilah "kesuksesan" yang disempitkan maknanya.
Malam harinya, saya dan Yunaz
mempersiapkan segala keperluan yang akan kami bawa pada esok harinya, 3 Juni.
Barang yang kami utamakan adalah berkas-berkas untuk tes kemudian alat
komunikasi, pakaian, dan tentu saja uang.
3 Juni 2016. Ini adalah hari saya
dan Yunaz berangkat ke Jakarta. Pagi harinya, saya, Yunaz, dan Fizal pergi ke
Indomaret untuk berbelanja berbagai keperluan. Setelah dari Indomaret, kami
makan bubur ayam di dekat GOR UNY. Porsi bubur ayamnya banyak dan rasanya enak.
Saya baru tahu kalau di sana ada yang berjualan bubur ayam. Kami di sana
sekitar dua puluh menit.
Seperti biasa, kegiatan kami
selanjutnya adalah belajar. Fizal dan Andre belajar di kampus. Saya dan yang
lain di indekos.
Menjelang 11.30 kami berangkat salat
Jumat ke masjid kampus. Pemberi khotbah pada siang itu adalah Pak Amien Rais.
Ini adalah kedua kalinya saya menjumpai beliau sebagai pemberi khotbah Jumat di
masjid kampus. Bagi teman-teman saya, ini adalah yang pertama kali.
Selesai salat, kami kembali ke
indekos. Di sana sudah ada Fizal dan Andre. Mereka tadi juga salat di masjid
kampus, tetapi kami tdak bertemu. Pukul 13.30, sesuai rencana, saya dan Yunaz
berangkat ke stasiun. Sebelum berangkat, kami berkumpul. Kami berdiri
melingkar. Kami kembali menyampaikan tujuan, berdoa bersama, dan mengingatkan
tujuan mengapa kami tes lagi sekaligus harapan yang terbaik. Fizal, Andre, dan
Hasbi mengantar kami sampai depan bundaran filsafat; Adam tetap di kamar karena
agak sakit. Saya dan Yunaz berangkat ke halte depan Kosudgama. Kami tak sabar
menginjakkan kaki di Jakarta untuk yang pertama kali.
Dari halte Kosudgama, kami transit
ke halte Kridosono, kemudian ke halte portable
Stasiun Lempuyangan. Sebelum masuk pintu pemeriksaan tiket, kami duduk untuk
mengeluarkan tiket dan kartu identitas. Saya mencoba untuk mencetak tiket
pulang di sana, tetapi tidak bisa. Tertulis “tiket tidak bisa dicetak di sini”
di layar mesin pencetak tiket. Ya sudah. Saya akan mencetaknya di Jakarta saja.
Terlihat banyak penumpang yang akan
mengantre. Di antara penumpang-penumpang itu ada sekumpulan sesusia kami dan
guru-gurunya. Mungkin akan pulang dari study
tour. Karena menghindari antrean panjang, kami masuk terlebih dahulu.
Melihat rel; ratusan kilometer akan kami tempuh.
Saya dan Yunaz duduk di sebelah
ruang operator. Bau roti dari toko roti membuat stasiun layaknya mal. Menunggu satu
jam di sana tidak terasa. Kereta yang akan kami naiki, Bengawan, datang. Kami
menuju bagian ujung karena kursi kami ada di gerbong pertama. Saya di 4D dan
Yunaz di 7E, tetapi Yunaz akhirnya pindah ke tempat duduk sampingnya.
Di depan saya adalah sepasang orang
tua yang akan turun di Pasar Senen. Di samping saya ada seorang wanita seusia
saya yang akan turun di Jatinegara. Saya melihat pemandangan sore dari jendela.
Melewati terowongan panjang di jalur antara Kebumen-Purwokerto. Saya makan bekal
saya ketika sampai di Purwokerto: sebuah roti Sari Roti. Ketika sampai di
Purwokerto, saya teringat bahwa saya punya janji kepada kakek saya untuk
kembali ke tempat kelahiran saya, Banyumas. Sudah delapan tahun lebih belum
pulang. Ketika ada uang, tak ada waktu. Ketika ada waktu, tak ada uang. Saya
merencanakan pada liburan semester II saya akan menyempatkan ke sana.
Hari mulai benar-benar gelap. Saya sebenarnya
kurang suka lampu kereta dinyalakan
karena tidak bisa melihat luar dengan jelas. Setiap saya melihat
jendela, yang ada hanyalah pantulan orang-orang. Naik kereta pun saya
sebenarnya juga kurang suka; saya suka naik bus. Hanya saja saya memilih alat
transportasi yang murah dan cepat. Ya… cuma kereta. Namun, naik kereta saat
perjalanan ke Jakarta itu tidak semembosankan naik kereta seperti biasanya
karena ada tujuan yang benar-benar membuat semangat dan saya pergi bersama
teman, sahabat tepatnya.
Di daerah… wah, saya lupa, Yunaz
menyuruh saya untuk ke bangkunya; ada tempat kosong katanya. Saya coba main ke
sana. Saya duduk di sana sekitar lima belas menit kemudian saya kembali ke
tempat duduk saya. Saya disuruh duduk di sana lagi, tapi tidak mau. Setelah itu,
saya merasa lapar sekali. Kebetulan ada pramusaji yang lewat dengan menawarkan
Pop Mie. Saya beli satu. Lumayan.
Ketika sampai di sekitar daerah
sebelum Cirebon, di area persawahan, ada sesuatu yang menarik. Di persawahan itu
dipasang lampu-lampu yang ditata secara rapi membentuk pola. Itu adalah sebuah
pemandangan yang indah. Baru pertama kali saya menemui persawahan yang
dipasangi lampu.
Kereta berhenti agak lama di
Cikarang. Ternyata kereta berhenti karena menunggu rel. Relnya dipakai
bergantian dengan kereta lain. Mas Bagos menelepon. Ia ternyata sudah di
stasiun. Saya melihat jam di telepon genggam. Wah, sudah pukul 23.30. Jadwal
kedatangan kereta pada tiket adalah 23.45. Mas Bagos bilang untuk santai saja.
Kereta melaju kembali. Namun, masih sering berhenti dengan alasan yang sama.
Kereta berhenti paling lama saat akan masuk Jatinegara. Sekitar tiga puluh
menit di sana. Para penumpang sudah kacau; banyak dari mereka mengomel. Yunaz
mengirim pesan lagi. Ia bilang ia duduk di 7D dan di sana hanya ada dia. Saya
segera pindah ke sana. Saya melihat ke arah luar. Masih ada angkot dan bus
Transjakarta yang beroperasi. Transjakarta? Wah, tidak terasa, kami masuk
Jakarta, di Jakarta Timur tepatnya. Mas Bagos menelepon lagi di Stasiun Gang Sentiong. Saya minta maaf
karena kereta tidak sesuai jadwal, tapi ia bilang untuk tetap santai saja.
Sekitar 01.50 akhirnya kami sampai
di Stasiun Pasar Senen. Wah, ternyata masuk ruang bawah tanah untuk keluar ke
luar. Kami turun bersama rombongan anak-anak study tour yang di Stasiun Lempuyangan tadi saat berangkat. Begitu
sampai di pintu keluar, saya mencari-cari Mas Bagos. Mas Bagos melambaikan
tangan. Akhirnya, sampai juga di Jakarta.
JAKARTA
4 Juni 2016. Saya sejujurnya kagok, speechless. Baru keluar dari stasiun
langsung disuguhi pemandangan gedung tinggi. Masih belum percaya kalau sudah di
Jakarta. Mungkin karena ini adalah suatu hal yang baru bagi saya. Ini yang kata
banyak orang kota metropolitan itu, yang sering muncul di berbagai media massa.
Sebelum ke indekos, Mas Bagos
mengajak kami ke Circle K di dekat ruang kedatangan penumpang. Kami membeli
roti. Kami kemudian duduk di sekitar sana dan mengobrol sebentar. Saya kira Mas
Bagos membawa sepeda motor, ternyata ia naik taksi. Wah, saya jadi tidak enak
karena ia sudah menunggu sejak dua jam lalu. Namun, seperti biasa, ia tetap
santai dan tersenyum dengan gigi jarangnya. Hehehe. Omong-omong, Mas Bagos ini
pemain bas, gitar juga. Dia yang pertama kali mengajarkan bermain gitar kepada
saya. Ia juga seorang desainer visual, lulusan Animasi ITB. Bekerja di Jakarta
karena tidak sengaja ikut job fair bersama temannya. Ceritanya panjang. :)
Sekitar pukul dua lebih sekian, Mas
Bagos memesan Go-Car. Kami menunggu di luar stasiun. Ia bilang kalau menunggu
di dalam akan berbahaya. Biasa, persaingan bisnis. Di depan Pasar Senen ada
terminal bus. Saya awalnya ragu kalau itu terminal bus karena kalau terminal di
Jatim atau Jogja terminalnya ada semacam bangunan dan tempat berteduh di
dalamnya. Hmm… Singkat cerita, kami naik Go-Car.
Di sepanjang perjalanan, Mas Bagos
banyak bertanya mengenai persaingan bisnis di kalangan taksi dan taksi daring,
juga seputar sistem gajinya. Saya dan Yunaz melihat-lihat sekitar. Maklumlah,
baru pertama ke Jakarta. Kalau tidak salah saya melewati bangunan STOVIA. Saya
tidak tahu pasti karena saat itu hari masih gelap; saya hanya melihat sepintas tulisannya,
tapi memang benar bangunan itu bangunan tua khas peninggalan Belanda. Saya melewati
jalan-jalan lebar dan jalan layang. Akhirnya, kami sampai di daerah indekos Mas
Bagos, tepatnya di Setia Budi. Kamar Mas Bagos ada di atas. Kami harus melewati
tangga kecil untuk ke sana. Selesai menata kasur sebentar, mencuci muka, dan
berganti pakaian, kami tidur.
Saya bangun pukul 07.37. Mas Bagos
sudah bangun dulu. Yunaz bangun setelah saya. Sekitar pukul 08.00 lebih sekian,
kami diajak Mas Bagos untuk mencari makan. Cuaca saat itu tidak terlalu panas.
Mas Bagos bilang bahwa hari sebelum kami datang sangat panas. Kami berjalan
melewati perumahan Setia Budi. Saya mendengar beberapa orang bicara dengan
bahasa Jawa logat timur. Mas Bagos mengambil uang di semacam pusat ATM di dekat
SMAN 3 Jakarta. Mas Bagos bilang siswi-siswi di sana itu punya rok panjang tapi
ketat-ketat.
Kami melanjutkan mencari tempat makan.
Kami sampai di warkop. Kalau di Jogja namanya burjo. Ternyata penjual di warkop
itu adalah penjual di burjo saat Mas Bagos berkuliah di Jogja. Mas Bagos pernah
kuliah di sana, di sebuah politeknik, sebelum ia berkuliah di ITB. Jadi, si
penjual dan Mas bagos sudah akrab. Saya memesan mie tek-tek. Kalau di Jogja
istilahnya mie dok-dok. Warkop yang kami kunjungi ini sangat bersih dan tertata
rapi, tetapi harganya juga “rapi”. Mie dok-dok di Jogja hanya Rp7.000,00.
Sementara itu, mie tek-tek, dengan sajian yang sama, Rp.13.000,00. Setelah
makan di sana, kami tidak langsung pulang. Kami berjalan-jalan sebentar ke
jalan besar, Jalan Sudirman, sekitar Dukuh Atas. Jalannya bersih; mungkin
karena pusat kota. Transjakarta lewat setiap kurang dari lima menit sekali. Mas
Bagos menjelaskan banyak hal. Di sana dekat dengan gedung BNI 46, Indofood, dan
sebuah merek semen yang saya lupa namanya. Saya dan Yunaz diajak berjalan-jalan
ke Stasiun Sudirman. Kami melewati sebuah sungai besar yang cukup bersih
(sangat sedikit sampah) bagi ukuran Jakarta yang sering diberitakan banyak yang
kumuh di TV. Jakarta tak teralu buruk. Apakah mungkin pemberitaan di televisi -banyak
yang- melebih-lebihkan? Mungkin. Kami masuk sampai bagian depan stasiun. Kami
melihat peta perjalanan kereta. Setelah itu, kami pulang.
Rencana sore itu adalah cek lokasi.
Mas Bagos berencana untuk ikut kami cek lokasi sekaligus memberi pengarahan
jalur. Sebelum itu, Mas Bagos mendapat panggilan mendadak untuk ke kantor.
Sembari menunggu Mas Bagos, saya dan Yunaz belajar beberapa paket soal. Yunaz
kemudian keluar ke halaman tengah. Ia bertemu dengan teman indekos Mas Bagos.
Yunaz kembali ke kamar dan saya diajak keluar. Saya berkenalan dengan Mas Erwin
dan satu orang lagi yang saya lupa namanya. Mas Erwin berasal dari Malang. Wah,
Arema juga ternyata. Nah, yang satu lagi berasal dari Surabaya. Meskipun dari
dua daerah yang sering dianggap bermusuhan, tetapi mereka biasa-biasa saja dan
bercanda seperti pada umumnya. Sempat keluar seorang lagi; saya juga lupa
namanya. Saya dan Yunaz mengobrol dengan kedua orang itu. Mereka bercerita
mengenai pekerjaan mereka, masa-masa kuliah, bagaimana mereka bisa ke Jakarta,
sampai rencana untuk mudik tahun ini. Kami juga bercerita mengenai kami. Kami
menyampaikan tujuan kami datang ke Jakarta, yaitu untuk tes SIMAK. Ketika
ditanya tempatnya, kami menjawab bahwa temat kami di SMPN 4 lantas bertanya
letaknya kepada Mas Erwin. Mas Erwin bilang itu di depan Istiqlal, sama seperti
yang teman saya katakan. Singkat cerita, kami belajar lagi setelah mengobrol. Sekitar
pukul 14.15 Mas Bagos datang. Setelah istirahat sebentar, kami bertiga berangkat
untuk cek lokasi sekaligus salat asar di masjid dekat indekos Mas Bagos. Saya
mulai menyadari sesuatu di sini. Setiap kali kami akan di tes, di dekat tempat
kami menginap, selalu dekat dengan masjid. Tahun lalu, ketika menginap di
indekos Mas Adit, hanya berjarak kurang dari seratu meter ada masjid. Indekos
saya hanya berjarak tiga rumah dari masjid. Kali ini, di indekos Mas Bagos, di
depannya agak ke timur, tak sampai lima puluh meter, ada masjid juga. Mungkin kami
dimudahkan untuk beribadah oleh dan kepada-Nya.
Setelah salat asar, kami ke halte
Dukuh Atas 1. Mas Bagos menggunakan kartu Flazz BCA dengan mengisinya terlebih
dahulu di tempat pengisian di halte. Saya membayangkan andai saja halte dan bus
Trans Jogja seperti Transjakarta. Bukan bermaksud membandingkan, tetapi hanya
berharap suatu saat Trans Jogja bisa lebih atau setidaknya sama dengan sistem
Transjakarta: bus datang hampir setiap menit dan halte yang luas. Saya sangat
menikmati naik Transjakarta meskipun tidak mendapatkan tempat duduk. Saya
melihat-lihat sekitar. Kami melewati gedung BI, Plaza Indonesia, Thamrin
(kawasan yang beberapa bulan lalu ramai karena ada pengeboman), Bundaran HI,
beberapa gedung kementrian, sampai akhirnya kami turun di halte Monas. Maaf
kalau ada kesalahan urutan tempat; saya agak lupa. Kami transit di halte
tersebut kemudian naik Transjakarta lagi dan turun di halte Gambir 2. Saya
sempat diusir oleh petugas karena naik ke bagian khusus wanita; saya segera
pindah. Sebenarnya ada Transjakarta yang lewat di depan SMPN 4, tetapi petugas
di halte Monas bilang itu datangnya lama. Kami melewati kantor gubernur. Kami
turun di sana (Gambir 2) dan melanjutkan perjalanan dengan berjalan. Ketika berjalan
melewati Stasiun Gambir, saya melihat sekumpulan orang yang tak asing. Setelah
melewati mereka, saya baru sadar kalau mereka anggota grup band Killing Me Inside. Ternyata kalau lewat di antara mereka
seperti itu malah terasa biasa saja, tidak sepenasaran ketika melihat di
televisi atau Youtube. Hehehe. Omong-omong, vokalisnya cantik sekali, lho. :)
Kami berjalan lewat jembatan
penyeberangan di dekat halte Gambir 1. Kami lewat gedung Pertamina kemudian
belok kanan sampai SMPN 4. Di bagian depan sudah dipasang denah ruangan sesuai
nomor. Kalau dilihat dari nomornya, saya dan Yunaz kemungkinan akan duduk di
depan. Saya di ruang nomor 13 dan Yunaz di 14. Kami hendak naik ke lantai dua,
tetapi tidak bisa karena pintu ke lantai dua dikunci. Kami akhirnya keluar.
Selanjutnya, kami ke Monas untuk
berjalan-jalan. Mas Bagos membawa kamera. Lumayan untuk berfoto-foto. Hehehe. Kami
ada di bagian timur. Pintu yang kami datangi terkunci sedangkan kami tidak tahu
pintu lainnya. Mas Bagos bilang bahwa dia dulu lewat pintu yang terkunci ini. Kami
melihat ada orang-orang yang bisa melewati pintu itu dengan menerobos bagian
bawahnya. Karena terpaksa, kami ikut-ikut. Untuk yang ini, jangan dicontoh, ya.
Hehehe. Ini karena kami sama sekali tidak tahu jalan masuk ke Monas yang lain.
Di dekat pintu gerbang itu kami berfoto. Mas Bagos memfoto saya dan Yunaz,
tetapi hanya bisa beberapa pengambilan saja karena daya baterai habis. Mas
Bagos lupa untuk menge-charge. Ia
agak menyesal karena langit dan cahayanya sedang bagus untuk foto. Singkat
cerita, kami masuk ke dalam Monas. Keren sekali. Banyak diorama yang
menampilkan sejarah Indonesia. Kami hanya di lantai dasar kemudian keluar dan
duduk sebentar. Setelah dari sana, kami keluar dari area Monas. Nah, kali ini kami keluar di
pintu yang benar. Saya sempat melihat istana negara yang ada di depan area
Monas. Kami berjalan ke halte Monas. Kami kembali ke Setia Budi. Sebelum ke
indekos, kami makan di warteg dekat warkop yang kami kunjungi tadi pagi.
Kenyang dan enak sekali. Setelah itu, kami pulang. Saya dan Yunaz belajar satu
paket soal sebelum tidur.
Ini foto favorit saya yang diambil oleh Mas Bagos. Oh iya, Mas Bagos ini juga fotografer, lho. Coba cek website-nya: bagosrock.com |
Dari kiri: Mas Bagos, Yunaz. Sayang sekali terpotong :( |
PERANG
KEDUA: SIMAK UI DAN UTUL UGM, 5 JUNI 2016.
Karena kami tidak ingin terlambat, kami
berangkat pukul 07.30. Kami sudah sarapan sebelumnya di warteg yang kemarin
malam. Kami pamit ke Mas Bagos. Kartu Flazz BCA diberikan ke saya untuk naik
Transjakarta. Perjuangan kedua dimulai. Kami juga tidak lupa untuk selalu
saling memberi kabar kepada teman-teman kami yang tes di Jogja. Kebetulan di Jalan Sudirman sedang ada CFD (Car Free Day). Karena bisa lewat tengah jalan, kami tidak perlu naik jembatan penyeberangan untu ke halte.
Kami mengikuti arahan seperti
kemarin. Ketika melewati gedung kementrian pariwisata, saya teringat kepada Pak
Tri. Pak Tri adalah guru saya semasa SMA yang sekarang bekerja di kementrian
pariwisata. Saya menghubunginya lewat Facebook. Setelah ke Gambir 2, berjalan
melewati gedung Pertamina, kami sampai di SMPN 4. Sudah banyak peserta yang
hadir. Kami segera naik ke lantai dua menuju ruang 13 dan 14. Telepon genggam
saya matikan. Saya dan Yunaz duduk di depan ruang 13. Kami berusaha untuk tidak
tegang dengan cara bercanda. Kami mencoba membayangkan kenapa SIMAK dan UTUL bersamaan
dengan membuat percakapan imajinasi. Full
guyon. Saya sempat melihat seseorang yang mirip adik kelas saya di SMA.
Pengawas mulai berdatangan menjelang
ujian. Mereka didampingi satu asisten yang masih mahasiswa dan memakai jaket
almamater, the famous Yellow Jacket. Beberapa
menit kemudian kami diperbolehkan masuk ruangan. Benarlah dugaan kemarin; saya
duduk di depan ujung kiri. Sesi pertama adalah matematika, bahasa Indonesia,
dan bahasa Inggris. Saya awalnya bingung mengisi bagian data diri. Bentuk
lembar jawabannya pun tidak seperti pada umumnya. Saya perlahan mengisi dan
memastikan data yang saya isikan benar. Saya mengecek beberapa kali. Bel
berbunyi; saya mulai mengerjakan.
Saya mulai mengerjakan dari bab
bahasa Indonesia, bahasa Inggris, baru matematika. Ini jauh lebih lancar dari
yang saya bayangkan dan tentu saja lebih lancar daripada saat SBMPTN. Alhamdulillah. Saya bisa menjawab banyak
soal. Bahkan, untuk matematika, saya kali ini tidak gambling. Awalnya saya hanya bisa satu soal matematika. Saya
kemudian melihat-lihat lagi. Ada soal yang bisa dikerjakan dengan bernalar.
Saya ingat Sabda di CD Zenius pernah mengatakan bahwa matematika sebenarnya
hanya perlu dibayangkan dan diikuti alurnya, bahkan tidak perlu menghafal
rumus, hanya perlu paham dasarnya. Dari lima belas soal, saya bisa mengerjakan
tiga. Ini lumayan. Rasa optimis saya meningkat. Saya memeriksa ulang hasil
kerja saya. Tidak terasa bel berbunyi lagi, tanda sudah harus berhenti
mengerjakan soal.
Saya dan Yunaz kembali berkumpul di
depan ruang. Kami kemudian mencari musala. Setelah berkeliling dan bertanya
kepada orang-orang di sekitar, kami menemukan tempat salatnya. Kami kemudian
mencari tempat yang kosong untuk makan. Kami makan jajan ringan, yaitu Hepitoz
dan Pilus Garuda. Saya bercerita kepada Yunaz bahwa saya sempat melihat salah
satu adik kelas kami. Lima belas menit sebelum sesi kedua, kami kembali ke
atas.
Sekitar lima belas menit kemudian,
sesi kedua dimulai. Kali ini adalah giliran soal soshum. Saya menjawab cukup
banyak. Yang jelas ini lebih baik daripada saat SBMPTN. Selesai. Baru saya
sadar ketika sudah keluar ruangan kalau ada satu jawaban di ekonomi yang saya
keliru jawab. Ya sudahlah. Tinggal menyerahkan pada Yang Mahakuasa kali ini.
Setidaknya saya lebih optimis di SIMAK. Dua perang besar sudah selesai.
Oh iya, mungkin ada yang bertanya mengapa semua tes ini (SBMPTN dan SIMAK) saya sebut sebagai perang. Hal ini dikarenakan tes ini bukan tes biasa, terutama SBMPTN. SBMPTN tahun ini diikuti oleh lebih dari 700.000 ribu orang. Menengok tahun lalu, dengan peserta sekitar 650.000, hanya ada 20% atau kurang dari itu yang lolos. Selain itu, dipastikan tidak ada praktik contek-mencontek dalam tes ini karena soal dibagikan secara acak dan hanya diketahui panitia, begitu pula sistem penilaiannya. Kalau pun ada yang mencontek atau curang, pasti segera dikeluarkan dan didiskualifikasi. Oleh karena itu, orang-orang yang lolos dari SBMPTN (SIMAK juga) bukan orang-orang biasa. Di UI, persaingannya ketat. Daya tampung relatif sangat sedikit dan pendaftarnya sangat banyak. Sebenarnya ada yang lebih sulit lagi, yaitu di ITB karena hanya ada dua jalur masuk (SNMPTN dan SBMPTN) dan persaingannya sangat ketat. Itulah mengapa orang-orang yang di ITB pasti bukan sembarang orang.
Saya dan Yunaz turun ke arah gerbang
keluar. Benar ternyata, kami bertemu adik kelas kami. Ega kalau tidak salah
namanya. Dia memilih Hukum UI. Dia bilang bahwa dia tes SBMPTN juga di Jakarta.
Kami kemudian ke Istiqlal.
Saya menyalakan kembali telepon
genggam. Sudah ada pesan balasan dari Pak Tri. Saya segera membalas kembali. Saya
membalas sambil berjalan masuk area Istiqlal. Karena lapar, kami mencari makan
di sana. Di sana ada tempat makan yang sangat murah kalau ukuran Jakarta, di
area luar masjid.
Azan asar berbunyi; saya dan Yunaz
masuk ke masjid. Hampir di setiap sudut ada petugasnya yang bekerja dalam
masing-masing tugas. Kami menitipkan sepatu di lantai dasar dan tas di lantai
dua. Kami masuk ruang utama. Wow! Ini ruang masjid terluas yang pernah saya
lihat. Saya pernah masuk ke Masjid Agung Jawa Tengah di Semarang; saya kira itu
paling luas. Saya merasa kecil dan memanglah saya kecil. Di dalam ruang itu pun
ada petugas yang bertugas mengatur barisan salat. Singkat cerita, kami selesai
salat. Kami kemudian menuju Monas. Kami melewati toko es krim terkenal, yaitu
Ragusa.
Ketika duduk di Monas, Pak Tri
menelepon. Saya bilang bahwa saya ada di Monas yang dekat Gambir. Pak Tri
sedang menuju ke kami. Saya dan Yunaz menunggu di sebuah bangku. Yunaz belum
pernah bertemu Pak Tri sehingga ia penasaran. Saya ceritakan saja bahwa Pak Tri
penampilannya seperti anak muda. Lima belas menit kemudian Pak Tri datang
dengan menggunakan sepeda motor. Wah, sudah sangat lama kami tidak bertemu.
Beberapa bulan lalu ketika Pak Tri datang ke Jogja, saya sedang ada acara di
kampus. Kini kami bertemu. Kami mencari tempat yang enak untuk duduk bersama.
Pak Tri menyarankan agar kami mencari tepat duduk di Indomaret Point Stasiun Gambir. Kami akan
bertemu kembali di sana. Setelah Pak Tri beranjak ke Indomaret Point, sembari
saya dan Yunaz berjalan, Yunaz berkata bahwa penampilan seperti anak muda. Dalam
perjalanan, Yunaz juga menyampaikan bahwa kami harus kembali ke Jakarta. Fix, kami harus bisa kembali.
Saya dan Yunaz sampai lebih dahulu
di tempat. Kami duduk di bangku yang kosong yang mengelilingi sebuah meja.
Yunaz masuk ke dalam untuk membeli minuman. Ketika Yunaz di dalam, Pak Tri
datang. Pak Tri mengajak saya ke dalam untuk membeli sesuatu, tetapi saya masih
di luar karena saya pikir hanya bercanda. Baru ketika Yunaz keluar, dia bilang
Pak Tri menyuruh saya ke dalam. Pak Tri melambaikan tangan. Saya masuk dan
disuruh membeli makanan beserta minuman. Akhirnya, kami duduk di tempat tadi.
Kami bercerita banyak hal. Pak Tri membagikan pengalamannya selama bekerja di
kementrian parwisata. Ia bercerita mengenai pekerjaannya yang saya kira cukup
menyenangkan karena berkunjung ke berbagai daerah di Indonesia, dari ujung
timur sampai ujung barat, dari paling utara sampai paling selatan. Ia bercerita
mengenai orang-orang Papua dan budayanya. Pak Tri juga bercerita bahwa
kementrian pariwisata sedang giat-giatanya mempromosikan pariwisata di
Indonesia. Pantas saja saya akhir-akhir itu sering melihat iklan promosi
pariwisata. Banyak hal yang disampaikan Pak Tri. Kami pun begitu. Kami
menyampaikan tujuan kami ke Jakarta. Kami bertiga membahas pentingnya merantau.
Pun membahas kehidupan di Jakarta. Kami bersyukur bertemu Pak Tri. Hal yang
menarik, setelah bercerita banyak hal, ternyata orang tua Yunaz adalah teman
dekat Pak Tri. Ibu Yunaz adalah seorang guru dan Pak Tri memang dulu adalah
seorang guru terkenal di Batu. Kebetulan ibu Yunaz menelepon saat itu. Segera
ia menyambungkan ke Pak Tri. Ini namanya sambung
dulur, menyambung persaudaraan, dari yang tidak kenal menjadi saudara,
silaturahmi tidak terduga. Oh ya, saya
menghubungi Mas Bagos, memberi kabar bahwa kami sedang bersama guru kami.
Pak Tri mengajak kami ke Kota Tua.
Sebelum itu, saya mencetak tiket untuk pulang di Stasiun Gambir. Sepeda motor
Pak Tri dititipkan di daerah stasiun. Kami berjalan melewati Gereja Imanuel.
Pak Tri mengatakan bahwa gereja tersebut memiliki sebuah piano besar di
dalamnya. Kami juga melewati gedung kementrian kominfo kalau tidak salah.
Gedungnya bercorak khas Belanda. Eh, kominfo atau perhubungan, ya? Saya lupa, pokoknya di antara dua itu. Kami bertiga naik Transjakarta dari halte
Gambir 1. Kami transit di halte Harmoni. Kami melewati daerah Glodok dan satu
daerah lagi saya lupa namanya. Pak Tri menyebutnya “daerah merah”. Belakangan
saya tahu kalau daerah sekitar sana adalah daerah “manusia malam”. Ya… tahulah
apa yang saya maksud.
Kami turun di halte Stasiun Jakarta
Kota. Halte tersebut terletak di tengah jalan. Untuk menyeberang, kami lewat
bawah tanah. Keren! Saya mengira penyeberangan bawah tanah ini adalah peninggalan
Belanda karena bangunan-bangunan di sekitar sana bergaya khas Belanda.
Ternyata, kalau dilihat secara fakta, Belanda tidak sepenuhnya meninggalkan
penderitaan bagi Indonesia. Setidaknya ada yang bisa dimanfaatkan pada zaman
ini.
Setelah melihat sisi rapi Jakarta di
pusat kota, di Kota Tua ini saya melihat sisi Jakarta yang kebalikannya. Sampah
berserakan di sekitar gedung Museum BI dan Mandiri. Kendaraan umum ngetem. Memasuki daerah Kota Tua pun
begitu. Melewati semacam pasar malam di sana. Di depan Museum Fatahilah, kami
disuguhi pemandangan perempuan-perempuan yang berduaan bersama sesama jenisnya.
Kami melihatnya di beberapa tempat. Pasangan laki-laki dan perempuan bergandeng
tangan seperti tidak ada siapa-siapa. Saya dan Yunaz agak terkejut karena hal
yang biasanya disembunyikan, di sana diperlihatkan secara terang-terangan. Ya
saya dan Yunaz hanya mengamati sambil membatin saja. Kami kemudian diajak Pak
Tri untuk berkeliling. Niatnya mencari soto betawi, tetapi tidak ketemu. Kami
melewati tempat khusus menjual makanan. Ada pengamen kreatif. Ia bermain
beberapa alat musik dalam satu waktu. Keren! Saya juga melihat preman yang
“minta jatah” ke pedagang-pedagang yang ada di sana. Saya tak bisa berkata
apa-apa; semua yang saya lihat di televisi, yang saya baca di media sosial
mengenai sisi remang Jakarta, hampir semua saya lihat di sana, di Kota Tua. Ini
pengalaman yang sangat menarik.
Karena tak mendapatkan soto betawi
yang diinginkan, kami brdua diajak ke sebuah restoran. Restoran itu terletak di
sebelah kawasan penjual makanan. Di restoran itu ada grup musik yang sedang
bermain. Mereka memainkan lagu keroncong. Pak Tri memanggil pramusaji. Seperti
biasa, prinsip anak indekos saya terapkan: jika tempat makan mewah, pilih
makanan yang paling murah; jika tempat makan standar kaum burjois (kaum yang
suka makan di burjo); pilih makanan yang paling banyak porsinya dan tentu saja
yang paling murah. Hehehe. Namun, semurah-murahnya restoran, harga makanannya
tetaplah relatif mahal bagi saya dan Yunaz. Akhirnya, kami ikut-ikutan Pak Tri
saja. Singkat cerita, kami selesai dari sana kemudian ke halte Jakarta Kota
lewat jalan bawah tanah lagi. Saya lupa bagaimana Pak Tri tahu kalau sisa uang
di kartu Flazz saya tinggal sedikit; ia mengisinya. Kami pulang satu bus,
tetapi Pak Tri turun di halte Harmoni sedangkan saya dan Yunaz lanjut sampai
Dukuh Atas 1. Kebetulan esok hari adalah hari pertama puasa. Wah, kami
mengawali puasa di Jakarta. Sebelum ke indekos, kami salat tarawih sendiri di masjid
dekat indekos Mas Bagos. Kami kemudian pulang.
Dari kiri: Yunaz, saya, Pak Tri |
halte Jakarta Kota |
6 Juni 2016. Rencana hari itu adalah
jalan-jalan ke UI sekaligus ke rumah Mbak Syifa. Sehari sebelumnya, saya sudah
menghubungi Mbak Syifa bahwa saya jadi berkunjung ke rumahnya setelah dari UI.
Kami akan bertemu di UI terlebih dahulu. Saya juga menghubungi teman saya yang
di sana. Teman saya bilang,”okedeeh”.
Kami berangkat pukul 07.30 dari
Stasiun Sudirman. Kami ini melawan arus. Jadi, kalau pagi hari, orang-orang
dari luar Jakarta banyak yang masuk ke Jakarta. Sementara itu, orang yang
keluar Jakarta jauh lebih sedikit. Saya dan Yunaz berjalan menuju stasiun
dengan arah yang salah di jalan. Kami berjalan di sebelah kanan. Dua orang
menembus lautan ratusan orang.
Ini adalah pertama kali kami naik
KRL. Sistem tiket di sini adalah sistem jaminan. Jadi, kami membayar
Rp14.000,00 per orang kalau tidak salah. Kami mendapatkan tiket. Nanti, di
Stasiun UI, tujuan kami, akan dikembalikan Rp10.000,00 jika kami mengembalikan
tiket tersebut.
Kami lewat jalur 2. Tak perlu
menunggu cukup lama, kereta kami datang. Awalnya, kami tidak mendapat tempat.
Barulah di stasiun ketiga atau keempat, kami bisa duduk. Di sana kami melihat orang-orang
yang berumah di tepi rel. Tidak terasa saya tertidur. Saya dibangunkan Yunaz
ketika sampai di Stasiun Universitas Pancasila. Kami kemudian berdiri, bersiap
untuk turun. Akhirnya, kami sampai di Stasiun UI. Kami menukarkan tiket dan
mendapat uang jaminan kami. Saya menghubungi Mbak Syifa dan teman saya. Mbak
Syifa masih di rumah, tetapi sebentar lagi akan berangkat. Sementar itu, teman
saya, sampai saya menulis tulisan di bagian ini (25 Juni), ia belum membalas.
Ya sudah, tidak masalah.
Saya dan Yunaz memulai perjalanan di
UI dengan melewati tugu makara. Setelah itu, kami memutar. Kami sebenarnya
tidak tahu akan ke mana kami berjalan. Pokoknya jalan-jalan.
Benarlah kata Mas Bagos. Mas Bagos
bilang di UI dingin karena banyak pohon. Memang ini hampir mirip hutan. Oleh
karena itu, berjalan-jalan di sana tidak terasa panas.
Kami melewati Fisip UI. Kami
berjalan sampai menemui tanda panah yang menunjukkan FIB. Kami ikuti arah tanda
panah itu. Sampailah kami di FIB. Kampus sepi, hanya ada beberapa orang.
Mungkin sedang hari tenang.
Pintu utama masuk FIB memang
terlihat tidak terlalu luas, biasa saja malahan. Namun, ketika masuk ke dalam,
baru terasa luasnya. Luas FIB UI ini setara dengan area fakultas filsafat,
psikologi, ilmu budaya, dan ekonomi di UGM. Saya tak melebih-lebihkan; memang
luas. Kampusnya banyak pohon dan payung. Ada ruang kuliah terbuka yang
menghadap ke danau. Kami duduk sebentar di sekitar tempat simulasi ekskavasi
arkeologi. Kami melanjutkan perjalanan.
Kami melewati jembatan Teksas. Niat kami ke
rektorat. Ternyata, setelah melihat peta UI di internet, kami salah arah. Kami
balik arah dan lewat FIB lagi. Saat kami menuju ke rektorat, kami mendengar
percakapan dari dua orang. Mereka bicara dengan gaya bicara Jakarta-an.
X: “Eh, temen gua keterima di sastra
Inggris Unair (orang ini mengucap “Unair”, bukan “Uner” seperti biasanya).
Y: “Eh, masa?”
Yunaz dengan suara pelan berkata,
“Eh, kampus gua,” dengan logat medoknya.
Kami sempat mampir di semacam
koperasi mahasiswa di dekat kantin yang berbentuk payung. Tempat itu menjual berbagai
barang, seperti makanan, oleh-oleh berupa stiker, dan buku. Kami membeli stiker
di sana. Yunaz membeli stiker Arkeologi FIB UI; saya membeli stiker Indonesia
FIB UI. Lanjut.
Kami lewat depan Perpustakaan UI.
Hanya lewat.
Yunaz: “Pantaslah (UI) disebut world
class university.”
Kami melanjutkan ke rektorat. Kami
mencari tempat untuk duduk. Kami duduk di sana selama kira-kira dua puluh
menit. Lanjut. Kami kembali ke FIB.
Di dekat panggung teater daun sirih
kami duduk. Mbak Syifa bilang sudah ada di FIB. Saya bilang bahwa saya dan
Yunaz ada di tempat tersebut. Lima menit kemudian Mbak Syifa datang. Ini
pertama kali saya ketemu Mbak Syifa. Biasanya hanya lewat Line dan Facebook.
Singkat cerita, kami ikut masuk ke ruang kelas di gedung enam kalau tidak
salah. Kami ikut menyaksikan kelompok Mbak Syifa berlatih teater untuk ujian
akhir. Kami juga berkenalan dengan teman-temannya.
Latihan selesai. Kami diajak ke
rumah Mbak Syifa. Berjalan ke depan Stasiun UI. Kami naik bikun (bis kuning)
sampai di suatu tempat angkot ngetem.
Lanjut dengan angkot. Kami melewati tulisan besar “Universitas Indonesia”,
gerbang utama, dan Universitas Pancasila. Kami turun di dekat sebuah pertigaaan.
Di sana kami naik angkot lagi. Di situlah saya pertama kali menyaksikan tukang angkot mengumpat
dengan umpatan khas gaya Jakarta. Kalau di Malang atau Surabaya terkenal dengan jancuk-nya. Nah, si sopir angkot ini
tadi memaki “anjing, monyet” kepada sebuah mobil yang mepet ke angkotnya. Lalu
lintas di sana agak kacau. Oh iya, sekadar meluruskan, “jancuk” ini sebenarnya kata netral. Ia
bisa berubah konotasi tergantung penggunaannya. Misalnya, kalau saya melihat
sesuatu yang sangat bagus, kemudian saya
bilang “jancuk apik”, itu
berarti saya mengungkapkan kekaguman saya kepada sesuatu yang bagus dan
konotasinya positif. Jadi, kata tersebut tidak selalu negatif. Hanya saja kata-kata ini memang lebih terdengar seperti mengumpat; akhirnya dianggap kata negatif.
Kami turun dari angkot di sebuah
tempat. Berjalan sedikit sampai masuk daerah Rumah Sakit TNI Cilandak. Maaf
kalau salah nama. Hehehe. Sudah mulai hujan. Kami agak berlari. Tidak jauh dari
sana, kami sampai di rumah Mbak Syifa.
Saya dan Yunaz disambut oleh kucing
lucu yang besar. Ada juga adik Mbak Syifa, namanya Dafa. Kami langsung disuruh
bermain PS bersama. Saya tanya ke Dafa mengenai sekolahnya. Dia bilang masih
libur awal puasa.
Saya: “Dafa kelas berapa, sih?”
Dafa: “Kelas 1, Mas,” sambil bermain
PS bersama saya.
Saya kira dia sudah kelas 1 SMA.
Ternyata, dia masih kelas 1 SMP atau kelas 7. Wow! Tinggi badannya sekitar 180
sentimeter. Kami terus bermain PS. Saya bergantian dengan Yunaz. Apalah daya
saya yang sangat jarang main PS. Melawan Yunaz saja kalah. Saya hanya berhasil
satu kali. Itu pun melawan Mbak Syifa. Ah, kecil. Hehehe. Kami main permainan
sepak bola.
Saya dan Yunaz sempat bertanya soal biaya hidup di Depok kepada Mbak Syifa. Pertama, soal indekos. Biaya indekos di Depok berkisar Rp400.000,00 sampai Rp700.000,00 per bulan. Menurutnya, yang paling banyak adalah sekitar Rp500.000,00. Kedua, biaya makan. Untuk makanan, intinya tidak semahal di Jakarta.
Tiga puluh menit kemudian ibu Mbak
Syifa datang. Saya segera berkenalan. Kami sebenarnya berencana pulang setelah
asar, tetapi oleh ibu Mbak Syifa disuruh pulang setelah magrib saja, diajak
berbuka puasa di sana. Wah, saya harus mengabari Mas Bagos dulu.
Setelah salat asar, barulah saya
bertemu dengan teman ayah saya, Pak Warsono namanya.
Pak Warsono: “Harrits, ya?”
Saya : “Iya, Om,” sambil melihat ke
atas karena Pak Warsono tinggi sekali.
Jadi, dalam satu keluarga itu tidak
ada yang pendek. Minimal di atas saya sedikit. Saya dan Yunaz seperti orang
kerdil di sana. Hehehe. Namun, apalah arti tinggi badan, toh sama-sama manusia.
Ya, kan? Tapi memang keren sih kalau tinggi. Hmm… Omong-omong, saya pakai gaya
tulisan yang santai saja, ya. Biar saya nulisnya juga enak. Lagi pula ini bukan
skripsi. Hehehe.
Pak Warsono ikut duduk bersama saya,
Yunaz, dan Dafa. Ia bercerita bahwa ia dulu pernah gondrong dan kurus. Lebih
kurus dan gondrong dari Yunaz. Ya awalnya saya tidak percaya karena dia kan
tentara. Tetapi memang benar. Ia juga bercerita mengenai masa sekolahnya
sewaktu bersama bapak saya. Pak Warsono ini juga menyukai seni dulu. Ia bisa
menari bahkan. Sulit dibayangkan dengan bentuk tubuh Pak Warsono yang tinggi
nan kekar itu. Orangnya santai, tapi ia bercerita bahwa jika ia menemukan hal
yang menyimpang pasti ditegur, dimarahi kadang. Prinsip ini ada benarnya. Sebut
saja tegas dan disiplin.
Tidak terasa kami mengobrol, sambil
bermain PS juga tentunya, sampai azan magrib datang. Rupanya Mbak Syifa dan
ibunya sudah mempersiapkan makanan sejak asar tadi. Tidak tanggung-tanggung, berbagai
masakan enak dihidangkan beserta es buah. Alhamdulillah.
Puasa hari pertama lancar dan menyenangkan. Pak Warsono kemudian bertanya
jadwal pulang saya dan Yunaz. Saya bilang, “Besok, Om”. Pak Warsono
menyayangkan. Katanya hendak diajak jalan-jalan dulu ke Ancol. Hehehe. Ya…
bagaimana lagi, tiket sudah dipesan. Ketika memesan tiket pada bulan Maret,
saya pun tak menyangka akan bertepatan dengan awal puasa.
Singkat cerita, akhirnya saya dan
Yunaz pulang setelah salat magrib naik Go-Car. Hayo tebak, sopirnya dari mana?
Ternyata, berasal dari Jogja. Yah… jauh-jauh ke Jakarta, ujung-ujungnya ketemu
dengan orang Jogja lagi, Malang, Surabaya juga. Hehehe. Ia bercerita bahwa ia
dulu kuliah di jurusan Elins UGM, tetapi hanya satu tahun. Ia mendaftar lagi ke
Teknik Elektro UNY. Ia bilang bahwa ia sebenarnya ingin tinggal di Jogja saja,
tetapi pekerjaanlah yang menuntutnya ke Jakarta.
Kami turun di dekat halte Dukuh Atas
1. Dari situ kami berjalan. Kali ini kami tarawih di indekos. Mas Bagos tidak
ada di sana ketika kami datang. Ketika datang, ia menaruh barang sebentar dan
sedikit bercakap-cakap. Ia kemudian tidur di kamar temannya. Saya tak bisa
membayangkan kalau tak ada Mas Bagos. Saya dan Yunaz mungkin hanya akan jadi
gelandangan Jakarta atau istilah agak kerennya “musafir”.
Malam itu adalah malam terakhir kami
di Jakarta. Esok harinya kami harus pulang. Rencana selanjutnya adalah kami
pulang ke Jogja. Kami sampai di Jogja sekitar pukul 19.30 (menurut jadwal di kereta). Rencananya, kami ke indekos saya
sebentar kemudian lanjut ke Terminal Giwangan untuk ke Surabaya. Dari ujung ke
ujung.
7 Juni 2016. Kami berangkat (terlalu) pagi sekitar pukul
07.30. Jadwal kereta pukul 11.30. Tidak terasa harus meninggalkan Jakarta. Tapi
kami yakin akan kembali lagi. Saya dan Yunaz berpamitan dengan Mas Bagos dan
beberapa teman indekosnya. Kami di antar ke jalan depan untuk naik taksi.
Terima kasih banyak, Mas Bagos. Mata saya agak berkaca-kaca ketika menulis
bagian ini.
Kami naik taksi ke Stasiun Pasar
Senen. Pengemudinya berasal dari Tegal ternyata. Jadi, selama naik taksi di
Jakarta, kami tak pernah menemui pengemudi yang asli Jakarta. Semua pendatang. Daya
tarik Jakarta bagi pendatang sangat besar. Pengemudi-pengemudi taksi inilah
buktinya, sekaligus Mas Bagos, teman-temannya, Pak Tri, bahkan Pak Warsono. Mungkin
Jakarta adalah salah satu kota wajib bagi perantau. Di saat-saat terakhir akan
meninggalkan Jakarta inilah saya merasa bahwa perjalanan saya dan Yunaz ke
Jakarta tidak hanya untuk tes, tetapi kami mendapatkan lebih dari itu. Pengalaman
ini tidak bisa terbeli oleh apa pun. Itu sebabnya saya menulis ini semua agar
pengalaman itu masih dapat saya dan teman-teman saya kenang meskipun ada
beberapa bagian yang terpaksa saya singkat. This
is great history, at least for me and my friends, best friends exactly.
Saya dan Yunaz sampai di Pasar
Senen. Kami menunggu di sana satu jam setengah. Kami melihat ada rombongan
tentara berseragam. Jarang-jarang mereka naik kereta, atau mungkin saya saja
yang kurang tahu. Di sana sudah disediakan tempat untuk antre masuk ruangan. Ya
namanya juga orang-orang; masih ada yang menyerobot. Kami ke jalur dua.
Sepuluh menit kemudian kereta kami
datang. Yunaz bilang, “Wah, semoga nanti duduk di depan cewek cantik”. Yunaz
salah. Di depan kami duduk seorang bapak dan anaknya. Saya duduk di 1B; Yunaz
di 1A. Kereta tak berhenti lama. Sampai jumpa lagi, Jakarta. Saya berpamitan ke
Mbak Syifa dan Pak Tri lewat Line dan SMS.
Di tengah perjalanan, bapak tersebut
memulai percakapan. Kami saling bercerita. Ia ternyata pernah berkuliah di
Malang (UB). Ia kini bekerja di Balikpapan. Ia dan anaknya hendak ke Cirebon. Singkat
cerita, di Cirebon, bapak dan anaknya itu turun. Yunaz ternyata tidak salah. Seorang
cewek cantik duduk di depan Yunaz. Wah, doa Yunaz dikabulkan Tuhan. Hehehe. Di
sebelahnya juga seorang wanita. Saya dengar dari pembicaraan mereka bahwa
mereka hendak ke Purwokerto. Mereka mahasiswi Unsoed.
Sesampainya di Purwokerto, penumpang
berganti. Kali ini yang duduk di depan Yunaz adalah seorang ibu dan yang duduk
di depan saya adalah seorang bapak, tetapi mereka bukan suami-istri. Kami
sering dikira orang-orang yang habis mendaki. Mungkin karena gaya pakaian kami,
terutama Yunaz yang berpakaian layaknya hendak mendaki dan membawa tas gunung.
Memasuki Kebumen, saya mulai merasa agak sakit karena keadaan perut tidak terisi
dan terpapar angin dari AC. Oleh karena itu, sewaktu ada pramusaji yang
menawarkan Pop Mie, kebetulan saat berbuka puasa, saya segera membelinya.
Begitu pula Yunaz.
19.46 kami sampai di Stasiun
Lempuyangan. Saya tak kuat lagi. Sakit. Ingin segera rebah. Rencana berubah. Kami
akan ke Surabaya esok paginya saja. Ketika kami keluar stasiun, kami bingung
memilih kendaraan apa untuk ke indekos. Saya mencoba memesan Go-Car atau
Go-Jek. Eh, aplikasi saya agak error.
Kami mencoba naik taksi, tetapi tidak jadi karena harganya terlalu mahal. Akhirnya,
kami memilih naik becak ke halte Kridosono. Sebenarnya cukup dekat, tetapi
memang badan saya ketika itu tidak bisa dipaksakan untuk berjalan. Tukang becak
itu bilang ongkosnya Rp20.000,00 atau Rp25.000,00, tetapi ditawar Yunaz hingga
sepakat Rp15.000,00. Sebenarnya tidak tega juga. Kasihan. Sehari mungkin ia
mendapat hanya beberapa penumpang. Ia pun sudah agak tua, sekitar 40-50 tahun.
Malam hari pula. Ya tapi bagaimana lagi. Keadaan keuangan-kami memaksa kami untuk menawar.
Kami sampai di halte Kridosono dan
menunggu bus jalur 2A. Tidak lama setelah itu, bus datang. Kami segera naik.
Kami turun di halte Kosudgama. Kami kemudian berjalan sampai ke indekos. Lega
rasanya bisa sampai di indekos. Ketika membuka kamar, saya merasa sepi. Masih
ada bayang-bayang Fizal, Hasbi, Andre, dan Adam. Oh iya, mereka sudah pulang
tanggal 6. Saya dan Yunaz hanya cuci muka kemudian tidur.
8 Juni 2016. Saya dan Yunaz
berangkat ke Terminal Giwangan sekitar pukul 08.00. Kami naik bus Mira. Kami
berangkat dari Terminal Giwangan pukul 10.13. Ongkos hari itu lebih murah
daripada biasanya. Jogja-Surabaya biasanya Rp60.000,00, tetapi hari itu
Rp56.000,00. Lumayan, Rp4.000,00 itu untung.
Saya dan Yunaz merasa perjalanan ini
sangat lama. Apalagi ketika di daerah Ngawi, Madiun, dan Nganjuk. Rasa-rasanya
seperti hanya berputar-putar di sana. Di Ngawi pula saya mulai merasa sakit
perut, ingin ke kamar kecil rasanya. Namun, tidak ada kamar kecil di sana dan
bus tetap melaju. Itu berarti saya harus menahan dari Ngawi sampai Surabaya
nanti.
Sekitar pukul 18.45 kami sampai di
Surabaya. Woh, Surabaya lebih panas daripada Jakarta. Baru turun dari bus
beberapa menit, saya sudah berkeringat. Saat naik bus apalagi. Keadaan
sakit perut dan hawa panas adalah kombinasi yang “sempurna”. Dari Terminal
Purabaya –yang sebenarnya masih masuk Sidoarjo, kami turun di Terminal Joyoboyo.
Saya sudah tak tahan. Saya mencari kamar kecil di sana. Akhirnya ada kamar
kecil… lega rasanya. Hehehe. Kami kemudian naik taksi ke indekos Yunaz.
Saya sampai tanggal 11 di Surabaya. Selama
di sana saya sempat ikut kuliah bersama Yunaz dan diajak jalan-jalan ke kampus
A, B, dan C serta beberapa daerah di Surabya. Di sana saya juga bertemu Hasbi dan Adam.
Saya dan Yunaz pulang ke Malang
tanggal 11. Hari itu adalah hari terakhir kami bertemu. Kami akan bertemu lagi
pada tanggal 29 Juni dan 1 Juli. Selama menunggu pengumuman, Fizal menghabiskan waktu dengan kegiatan kuliah; Yunaz sedang UAS; saya membaca buku History of Education dari Levi Seeley dan The World until Yesterday dari Jared Diamond, serta menulis cerita ini sampai di bagian ini. Sampai jumpa kembali, sahabat-sahabat.
Eits, ada yang ketinggalan. Maksud judul "Dari Depok Kecil ke Depok Besar: Sahabat-sahabat dan Sastra Indonesia Universitas Indonesia" ini adalah tempat tinggal saya di Jogja (Kecamatan Depok) ke Kota Depok. Sekian. hehehe
PENGUMUMAN
SBMPTN
29
Juni 2016.
Pengumuman SBMPTN sebenarnya dimulai sejak tanggal 28 Juni pada pukul 14.00
WIB, tetapi saya, Fizal, Yunaz, dan Andre sepakat akan membuka hasil pengumuman
pada tanggal 29 karena Yunaz pada tanggal 28 masih UAS di Surabaya. Selain itu,
kata ibu saya, saya disuruh membuka satu hari setelah tanggal pengumuman saja.
Pada tanggal 28,
telepon-genggam-saya saya alihkan ke mode pesawat, semua sinyal saya matikan termasuk
jaringan internet. Barulah pada tanggal 29, saat sahur, saya kembali menyalakan
telepon genggam saya sebentar, hanya lima menit, untuk melihat pesan yang masuk
di Line. Saya kemudian mematikan kembali sampai jam 10.32 ketika di Batu.
Kami berencana untuk berkumpul di
Indomaret dekat SMAN 1 Batu pada pukul 10.30. Saya berangkat dari Pasuruan,
rumah nenek saya. Agar bisa sampai tepat waktu, saya memperkirakan perjalanan
dengan asumsi empat jam perjalanan berdasarkan lama waktu yang biasanya saya
tempu dalam jarak yang sama. Saya berangkat pukul 06.30. Perkiraan saya hanya
meleset dua menit. Saya sampai di Indomaret pukul 10.32. Ketika berjalan dari
terminal ke Indomaret, saya bertemu dengan Pak Sulton. Pak Sulton adalah wali
kelas saya saat SMA. Akhirnya, saya sampai di Indomaret.
Yunaz dan Fizal datang kemudian. Saya
deg-degan. Biasanya saya bisa larut sekali dalam bercandaan Yunaz dan Fizal,
tetapi tidak terlalu untuk saat itu. Di dalam pikiran saya, yang ada hanya perihal
pengumuman SBMPTN dengan berbagai kemungkinan yang bisa saya pikirkan. Saya
sempat bertanya bagaimana Fizal ketika mengikuti tes UTUL. Ia bilang ada
kendala. Pengawas mengira bel pertama adalah bel mngerjakan. Oleh karena itu,
mereka (peserta di ruangan Fizal tes UTUL) selesai terlebih dahulu dengan waktu
yang lebih sedikit sekaligus tergopoh.
Yunaz dan Fizal sebenarnya mengajak
saat itu juga untuk membuka pengumuman. Saya tidak mau; saya bilang, “Nanti
saja setelah duhur”. Sudah banyak teman-teman yang bertanya mengenai pengumuman
SBMPTN saya di Line, termasuk Mbak Syifa. Namun, tidak ada yang saya jawab
karena saya belum tahu. Andre kemudian datang. Oh iya, ketika Yunaz dan Nafizal
datang, Yunaz berkata bahwa hasil Hasbi dan Adam negatif. Teman-teman kami dari
angkatan 2016 pun lebih banyak yang negatif. Saya mulai agak kacau, tetapi
masih tetap berjuang untuk optimis. Rencana semula membuka pengumuman di
indekos Nafizal batal. Yunaz, Nafizal, dan Andre akan mengikuti acara buka
bersama di daerah Pujon, dekat Batu, bersama organisasi pecinta alam yang
mereka dirikan: Kumanjelagutan. Oleh karena itu, tempat membuka pengumuman
dipindah. Kami memutuskan untuk membuka di Masjid Sultan Agung setelah salat
duhur.
Waktu salat tiba; kami menuju ke
masjid. Saat berjalan ke masjid, kami melihat kardus bertuliskan “UI” di tepi
jalan. Apakah sebuah pertanda? Mungkin. Usai salat, kami berkumpul di pelataran
masjid. Rasanya campur aduk, antara optimis dan kemungkinan-kemungkinan buruk.
Kami berdoa bersama. Saya mengeluarkan laptop dan menyiapkan internet dengan
cara tethering-an jaringan internet
telepon genggam saya. Kami mengundi siapa dulu yang melihat pengumuman melalui
sebuah aplikasi permainan roulette di
telepon genggam Yunaz. Ternyata, saya mendapat kesempatan pertama.
Setelah memasukkan nomor ujian dan tanggal
lahir, serta kode tulisan yang tertera, dengan berdoa, saya mengeklik tombol
“klik” di bawah kode. Yunaz, Fizal, dan Andre mendekat. Hasilnya adalah…
JANGAN
PUTUS ASA DAN TETAP SEMANGAT
Saya merasa antara terkejut, harus
menerima, dan… sebuah rasa yang tidak bisa diungkapkan. Teman-teman mendekap
saya. Antara tanda tanya dan tanda seru: “mengapa” dan “inilah kenyataan”.
Namun, saya mencoba memahami. Memang soal SBMPTN yang saya kerjakan sangat
sulit. Saya juga sudah menduga pada awalnya. Namun… ya sudahlah.
Yang kedua adalah Yunaz. Klik.
JANGAN
PUTUS ASA DAN TETAP SEMANGAT
Yunaz pun belum mendapatkan
kesempatan untuk lolos. Kaget campur sedih rasanya.
Yang ketiga adalah Andre. Klik.
JANGAN
PUTUS ASA DAN TETAP SEMANGAT
Andre –entah bagaimana sebenarnya
perasaannya- tetap mencoba tabah.
Yang terakhir adalah Fizal. Kalau
Fizal tidak lolos ya sudahlah. Memang sulit. Kami sudah berusaha semampu kami.
Fizal mengisi data dan klik.
MUHAMMAD
NAFIZAL MARDIANSAH
MANAJEMEN,
UNIVERSITAS GADJAH MADA
Suasana duka berubah menjadi sedikit
suka ketika Fizal dinyatakan lolos. Fizal tidak dapat berkata apa-apa. Saya,
Yunaz, dan Andre memeluk Fizal. Wow! Diterima di Manajemen UGM setelah
penantian satu tahun! Sungguh, saya tidak dapat menggambarkan keadaan ini
dengan kata-kata yang benar-benar tepat. Yang jelas saya sangat senang di
antara kami ada yang lolos meski hanya Fizal. Fizal pun seolah tak percaya. Rasa
agak pesimisnya dan gambling yang
dilakukannya seolah membuat Fizal tak percaya bahwa ia lolos. Ia lolos!
Manajemen UGM. Di antara ribuan peserta yang memilih Manajemen UGM hanya ada
sedikit saja yang diterima dan kini satu orang di antaranya adalah sahabat kami
sendiri. Keren! Fizal membuktikan. Selamat, kawan!
Saya, Yunaz, Andre, Hasbi, dan Adam
kini hanya menunggu pengumuman tes mandiri saja. Satu-satunya kesempatan.
Kesempatan terakhir. Pilihannya hanya memulai kehidupan baru atau kembali
memakan bangku kami yang lama dan saya sebenarnya tidak mau yang terakhir terjadi.
Saya akhirnya pulang ke Pasuruan
dengan naik bus diantar teman-teman sampai ke jalan raya samping masjid. Dalam
perjalanan pulang, saya akhirnya merasa benar-benar pasrah kepada Tuhan.
Terserah apa yang akan diputuskan-Nya. Saya telah berusaha semaksimal mungkin:
menghabiskan banyak waktu kuliah dengan belajar untuk tes, berusaha membawa
diri saya ke Depok agar semakin bersemangat. Sekarang terserah apa kata Tuhan. Yunaz
benar. Apa yang ditulisnya ketika di SMPN 4 itu benar: man proposes, God disposes.
Ibu saya menelepon di tengah
perjalanan, tetapi tidak jelas. Telepon-genggam-saya saya matikan setelah itu. Sesampainya
di rumah nenek (ada ibu saya, budhe, dan nenek), ibu saya kembali bertanya.
Budhe saya juga bertanya. Saya tidak bersemangat untuk menjawab. Saya sempat
berpikir untuk berhenti menjadi seorang idealis. Saya tidak akan lagi menulis.
Namun, saya ingat bahwa saya jauh lebih mudah dalam mengerjakan soal SIMAK.
Masih ada harapan. Ini antara hidup atau mati. Saya menunggu tanggal 1 Juli.
SIMAK
UI DAN UTUL UGM
1
Juli 2016. Ini
adalah hari yang paling membekas. Cerita sad
ending bercampur pada saat yang sama dengan happy ending.
Pengumuman SIMAK UI 2016 dimajukan
menjadi 30 Juni pukul 14.00 WIB. Meski begitu, saya dan teman-teman lain tetap
sepakat bahwa kami akan membuka pada tanggal 1 Juli. Yang mengejutkan adalah
jadwal pengumuman UTUL UGM. Pengumumannya pukul 20.00 WIB! Dulu, tahun lalu,
pengumuman memang ditunda, tetapi hanya sampai pukul 17.00. Ini memengaruhi
rencana kami dalam acara membuka pengumuman bersama. Rencana semula, kami akan
membuka bersama-sama seusai salat Jumat, tetapi karena pengumuman UTUL pukul
20.00, yang bisa dibuka bersama-sama setelah salat Jumat hanyalah SIMAK UI.
Acara membuka pengumuman bersama
direncanakan akan diadakan di indekos Nafizal. Pada pukul 10.30, semua
berkumpul terlebih dahulu. Baru setelah salat Jumat membuka pengumumannya.
06.10 saya berangkat dari Pasuruan
menuju Malang. Saya sengaja berangkat pagi karena alasan yang sepele: membeli
paket internet dan pulsa sebelum ke indekos Nafizal. Jadi, bisa sampai di
indekos Fizal tepat waktu. Malam sebelumnya, paketan dan pulsa saya habis. Di
perjalanan menuju Malang itu, di dalam hati saya, rasa optimis dan pesimis
saling bertempur, saling mencoba mengalahkan satu yang lain. Kemungkinan baik
dan buruk pengumuman selalu terbayang. Bagaimana tidak? Pengumuman SIMAK adalah
harapan terakhir untuk saya dan Yunaz. Sementara itu, Andre, Hasbi, dan Adam
menunggu UTUL. Nafizal sudah aman karena diterima di SBMPTN.
Saya sampai di Malang pukul 09.45. Saya
membeli pulsa di depan SMP Sriwedari. Ketika selesai mengisi pulsa, saya segera
menghubungi Yunaz dan Fizal. Beberapa menit kemudian Yunaz datang. Setelah itu,
kami ke indekos Fizal. Di sana sudah ada Fizal yang membereskan barang-barang
karena tempat itu akan ditinggalnya. Kami duduk di ruang tengah. Maksud hati
ingin menghibur diri, justru semakin deg-degan menunggu pengumuman. Oh iya,
meski pengumuman UTUL baru dibuka 20.00, Andre tetap datang ke indekos Fizal. Ada
sebuah kabar baik juga. Adam diterima di IPB lewat ujian mandiri.
Setelah salat Jumat, kami bertiga
kembali ke indekos Fizal. Di sana sudah ada Andre dan Alfanani. Alfanani ini
teman kami satu SMA. Sekarang dia di Manajemen Universitas Negeri Malang. Kami
masuk ke ruang tengah. Yunaz membaca Al-Quran. Mungkin agar tenang. Lima belas
menit kemudian, kami memberanikan diri membuka pengumuman. Saya dan Yunaz
menentukan siapa yang akan membuka terlebih dahulu dengan permainan batu kertas
gunting. Yang menang membuka dahulu. Yunaz menang.
Terlihat wajah Yunaz antara tidak
sabar membuka pengumuman dan deg-degan terhadap hasilnya. Suasana menjadi agak
tegang. Yunaz membaca doa sebelum membuka. Ia mengeluarkan kartu ujian
SIMAK-nya. Perlahan ia memasukkan nomor ujian. Klik.
YUNAZ
ALI AKBAR KARAMAN
Maaf,
Anda tidak lolos dalam seleksi kali ini.
Semua diam. Kami menepuk punggung
Yunaz. Seperti kami semua tak percaya bahwa Yunaz harus berhenti atau tetap di
Sejarah Unair.
Sesuai urutan, selanjutnya adalah
saya. Pikiran dan hati campur aduk rasanya. Saya membuka fail kartu ujian
kemudian memasukkan nomor ujian. Bismillah.
Saya sebelumnya disuruh ibu saya untuk membaca al-fatihah. Saya membacanya
sebelum menekan tombol klik. Klik.
Selamat…
Cukup. Saya hanya melihat bagian itu
saja. Saya segera memeluk Yunaz yang berada di samping saya. Saya menangis. Yang
membuat saya menangis adalah karena Yunaz tidak lolos bersama saya. Sahabat
yang berjuang bersama sejak awal, sering ke Jogja hanya untuk bermain, selalu
memberi kabar apapun, dan ikut tes SIMAK di Jakarta bersama saya itu belum
mendapatkan izin dari Yang Mahakuasa untuk lolos dan tidak menemani saya lagi
ke Depok; saya harus sendirian. Padahal, saya ingat bahwa Yunaz saat SIMAK
bercerita bahwa ia bisa mengerjakan banyak. Pilihannya bukan jurusan yang
sering difavoritkan, seperti kedokteran dan akuntansi, hanya arkeologi,
Arkeologi UI. Namun, saya tak dapat berkata-kata. Saya terus memeluk Yunaz
sambil menangis. Rasa bahagia saya lolos diiringi rasa sedih saya bahwa
kenyataannya Yunaz tidak lolos. Sahabat. Ketika Yunaz berbicara, semakin
menangislah saya. Saya tak peduli bagaimana keadaan di sekitar. Setelah agak
tenang. Saya memeluk yang lain: Andre, Alfanani, dan Fizal. Saya, Fizal, dan
Yunaz berpelukan bertiga. Saya sangat ingin kami semua lolos, tetapi apalah
daya. Hanya kata “terima kasih” yang mampu saya ucapkan. Saya tidak bisa
mengatakan yang lainnya karena air mata itu sudah berbicara lebih dalam. Saya
mengambil kembali kertas ujian Yunaz. Saya memasukkan nomornya. Namun, tetap
saja, tidak berubah. Siang menjelang sore itu adalah suasana paling haru yang
saya alami. Yunaz bisa saja terlihat tidak apa-apa, tetapi saya memastikan di
dalam hatinya ia lebih menangis dari saya. Saya memeluk Yunaz kembali. “Kenapa
tidak bisa lolos bersama?” adalah pertanyaan yang ada di hati saya. Saya
melihat pengumuman lagi. Saya bahagia, tetapi sedih pula. Semua masih diam.
Lima belas menit setelah suasana
mengharukan, kami mencoba untuk kembali memulai bercanda. Saya menelepon ibu,
bapak, Mbak Syifa, Mas Bagos, dan membalas semua pertanyaan dari teman-teman
saya di Line. Yunaz dan yang lain mencoba mengecek nomor lainnya dengan
mengganti angka belakang nomor ujian saya dan Yunaz. Lebih banyak yang tidak
lolos ternyata. Saya sangat bersyukur bisa menjadi bagian dari yang lolos.
Andre dan Alfanani kemudian pulang. Mereka
hendak ada acara di Batu. Tinggallah saya, Yunaz, dan Fizal berbicara dan
bercanda tentang hal apa saja. Namun, tetap tidak menutupi suasana haru yang
ada. Kami bercerita perjalanan kami sejak awal sampai saat itu. Kami membahas
cita-cita besar kami. Mata Yunaz masih agak berkaca-kaca. Kami di sana sampai
setengah lima sore. Itu pun sebenarnya kami tidak ingin pulang terlebih dahulu.
Kami akhirnya kembali ke tempat masing-masing. Fizal pergi terlebih dahulu.
Yunaz menunggu saya untuk mendapatkan angkot di depan gang indekos Fizal. Akhirnya,
saya pulang ke Pasuruan.
Saya menunggu pengumuman UTUL dari
Andre, Hasbi, dan Adam. Sampai pukul 21.00 masih belum ada jawaban. Akhirnya, sekitar
pukul 22.15, Andre memberi kabar bahwa ia tidak lolos, begitu pula Hasbi. Adam
lolos ke Biologi UGM. Ia akhirnya mengambil yang di UGM; IPB tidak diambilnya.
Sementara itu, hasil UTUL Fizal, Fizal dinyatakan tidak diterima. Ternyata dia
mendaftar tiga jurusan, yaitu akuntansi, manajemen, dan ilmu ekonomi.
HASIL AKHIR
Nafizal > Manajemen UB 2015 > Manajemen UGM 2016
Yunaz > Sejarah Unair 2015
Harrits > Ilmu Filsafat UGM 2015 > Sastra Indonesia UI 2016
Andre >
Hasbi > Perpajakan Vokasi Unair 2015
Adam > Ilmu Sejarah Unair 2015 > Biologi UGM 2016
HASIL AKHIR
Nafizal > Manajemen UB 2015 > Manajemen UGM 2016
Yunaz > Sejarah Unair 2015
Harrits > Ilmu Filsafat UGM 2015 > Sastra Indonesia UI 2016
Andre >
Hasbi > Perpajakan Vokasi Unair 2015
Adam > Ilmu Sejarah Unair 2015 > Biologi UGM 2016
Selesai. Inilah cerita kami berjuang
untuk mendapatkan cita-cita. Saya berterima kasih banyak kepada semua yang
telah membantu kami. Tidak dapat saya sebutkan satu per satu karena banyak
sekali, termasuk sopir Transjakarta, masinis kereta api, dan semuanya yang
tidak bisa saya sebutkan. Mereka secara tidak langsung ikut membantu perjalanan
kami. Terima kasih kepada teman saya yang di UI. Meskipun belum membalas pesan
saya, tetapi karena ialah saya akhirnya berani mengambil keputusan untuk tes
lagi dan membuat cerita yang sangat bersejarah bagi saya ini. Terima kasih
kepada sahabat-sahabat saya yang telah berjuang bersama: Yunaz, Fizal, Andre,
Hasbi, dan Adam. Kepada Yunaz dan Fizal yang berjuang sejak awal cerita, terima
kasih banyak. Kata-kata tidaklah cukup untuk mengungkapkan ini semua. Yang
jelas saya belajar banyak dari semua cerita ini. Bukan hanya soal lolos atau
tidaknya, tetapi lebih dari itu. Persahabatan itu nyata. Saya juga belajar
mengendalikan rasa optimis dan pesimis. Belajar bersyukur. Belajar banyak hal
yang tidak saya pelajari di bangku kuliah. Cerita ini adalah pengingat. Semoga
berhasil di jalan masing-masing. Saya akan menutup tulisan ini dengan kata-kata
sebagai berikut.
Kesalahan seorang pesimis adalah
tidak mau mencoba
Kesalahan seorang optimis adalah
mudah menyepelekan
Jadikan keduanya pelajaran
Insya Allah semua impian didapatkan
Yunaz, saya, Fizal |
UPDATE (21 Agustus 2016)
Setelah pengumuman, kami merencanakan langkah selanjutnya. Saya berangkat ke Jogja terlebih dahulu untuk mengurus beberapa keperluan di UGM dan mengemasi barang-barang yang akan saya kirim ke Jakarta. Yunaz pun ke Jogja. Selain untuk menemani saya, ia hendak ada acara bernama ILMIBSI di UI Depok. Karena tujuannya sama, saya dan Yunaz berangkat ke Jakarta bersama-sama.
Sehari sebelum keberangkatan saya dan Yunaz ke Jakarta, kami bertemu Fizal dan Adam.
Saya dan Fizal menjalani kegiatan mahasiswa baru di kampus masing-masing. Sementara itu, Yunaz akhirnya pulang pada tanggal 31 Juli 2016.
Kabar yang membahagiakan datang dari Andre. Andre akhirnya masuk di jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang. Sebelumnya, ia dan Hasbi mencoba mendaftar seleksi mandiri UNS, tetapi keduanya tidak diterima. Hasbi masih berjuang dengan mengikuti seleksi mandiri UNAIR, tetapi masih belum rezekinya.
Bagaimana sekarang? Sekarang saya, Yunaz, Fizal, Andre, Adam, dan Hasbi menjalani kehidupan di kampus masing-masing. Yunaz masih bisa bertemu Hasbi karena satu kampus (UNAIR) dan juga bertemu Andre karena jarak Malang dan Surabaya relatif dekat. Nafizal satu kampus dengan Adam. Sementara itu, saya jauh sendirian di Jakarta/Depok. Meski begitu, kami tetap berkomunikasi hingga saat ini.
Soooooo damn sad, selamat menggapai mimpi kawan
BalasHapusSpeechless
HapusSemoga betah di sastra ui
BalasHapusTerima kasih, Arif. :)
HapusReek. Perjalananmu kuereen. Semoga kalian sukses ndek jalan masing masing. Aku yo pejuang impian kok rekk. Let's fight for our dreams!
BalasHapusSuwun, Mil. HARUS mendapatkan impiannya masing-masing. Optimis!
HapusPanutan!
BalasHapusSelamat dan semangat!
BalasHapusNuwuss boii...
HapusSangat penginspirasi lebih2 mngenai TA.
BalasHapusuntuk mempermudah perjalanan karir sebaiknya sangat disarankan sekali untuk mengikuti Kursus Bahasa Inggris karena pasti akan menjadi nilai tambahan di dunia pendidikan dan di dunia kerja nanti
BalasHapus