Menelaah Puisi “Aku Ingin” dari Sapardi Djoko Damono secara Ilmu Alam Dasar
Sumber foto: https://nyanyianbahasa.files.wordpress.com |
aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu
aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada
Siapa penggemar sastra yang tidak mengenal puisi di atas? Puisi romantis karya Sapardi Djoko Damono yang berjudul Aku Ingin tersebut adalah salah satu puisi abadi yang ada di dunia kesusastraan, khususnya sastra Indonesia. Setiap orang dari setiap masa yang mendalami sastra akan menjumpai puisi tersebut dan menyepakati bahwa puisi tersebut layak menjadi karya agung yang pernah diciptakan manusia. Puisi yang ditulis pada tahun 1989 dan dimasukkan dalam buku kumpulan puisi Hujan Bulan Juni tersebut memiliki makna yang sangat dalam mengenai pengorbanan rasa cinta seseorang kepada orang lain. Meskipun kata-kata yang disajikan adalah kata-kata yang sering digunakan dalam keseharian, hal itulah yang justru menunjukkan bagaimana cerdasnya Sapardi dalam menyatukan kesederhanaan kata dan kedalaman makna secara bersamaan sekaligus menjadi ciri khas puisi-puisi yang ditulis olehnya.
Dalam memahami makna puisi tersebut, seseorang tidak perlu menggunakan teori rumit tertentu karena di dalam sastra, untuk memahami suatu puisi, tidak ada teori khusus dan pasti yang dapat menjelaskan makna yang disampaikan. Seseorang hanya perlu menangkap kesan yang muncul ketika puisi itu dibaca dan tentu saja menggunakan imajinasi beserta perasaan. Hasil memahami atau menafsirkan dari setiap orang terhadap suatu puisi juga akan berbeda-beda karena puisi umumnya menggunakan kata-kata yang tidak lugas dan konotatif.
Meski umumnya puisi tidak dapat dipahami dengan teori tertentu, puisi Aku Ingin dapat dijelaskan secara ilmu alam. Bagi pembaca yang kritis, saat mereka membaca puisi tersebut, mesti terselip pertanyaan mengapa kayu kepada api dan awan kepada hujan yang diambil sebagai perumpamaan. Hal tersebut dapat dijelaskan dengan ilmu alam dasar.
Pada bait pertama, Sapardi mengambil sebuah perumpaan kayu kepada api yang menjadikannya abu. Dengan kata lain, ia menyelipkan reaksi pembakaran di dalam puisi tersebut. Dalam reaksi pembakaran, dibutuhkan oksigen. Oksigen berperan sebagai pemicu nyala api. Secara imajinatif, oksigen dalam hal ini dapat diperumpamakan sebagai rasa cinta. Pelakunya tentu saja kayu dan api dengan asumsi kayu sebagai orang yang mencintai dan api sebagai orang yang dicintai. Kembali ke reaksi pembakaran, reaksi tersebut termasuk reaksi eksotermik, yaitu reaksi yang melepas panas dari suatu sistem ke lingkungan. Hal yang perlu diingat adalah reaksi pembakaran hanya terjadi selama masih ada bahan, bisa kayu tadi atau oksigennya. Jadi, makna yang dimasukdkan Sapardi lewat perumpamaan ini bukanlah rasa cinta yang terbatas dalam satu masa saja, tetapi pengorbanan rasa cinta dari kayu yang rela menghabiskan seluruh kehidupannya demi sang api. Sementara itu, kata yang tidak sempat diucapkan berarti apa yang dilakukan kayu kepada api melalui pengorbanan hidupnya telah mewakili semua ucapan yang biasanya diucapkan untuk menunjukkan rasa cintanya. Bukankah saat mencintai seseorang, hal yang perlu ditunjukkan adalah perlakuan, bukan sekadar ucapan? Lantas, apakah yang dimaksud “abu” dalam puisi tersebut? Abu adalah hasil dari pembakaran yang berarti kenangan yang tersisa setelah kayu dan api tidak tampak lagi fisiknya.
Selanjutnya, pada bait kedua, Sapardi mengambil perumpamaan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada. Makna dari perumpamaan ini sama dengan perumpamaan pada bait pertama, yaitu pengorbanan dalam mencintai. Kemungkinan, Sapardi ingin membuat suatu penegasan yang apabila pembaca belum dapat memahami makna puisinya pada bait pertama, ia masih dapat menemukan maknanya pada bait kedua sehingga Sapardi membuat dua bait dengan makna sama, tetapi dengan subjek perumpamaan yang berbeda.
Perumpamaan yang diambil Sapardi pada bait kedua adalah awan kepada hujan yang menjadikannya tiada. Perumpamaan ini dapat dipahami melalui daur ulang air. Sebagaimana diketahui, awan adalah uap air yang terkondensasi kemudian terkumpul dan semakin besar. Pada titik tertentu, akibat faktor suhu dan tekanan di udara, awan tersebut akhirnya mencair menjadi titik-titik air yang disebut sebagai hujan. Perubahan awan menjadi hujan ini adalah perumpamaan dari kehidupan seseorang yang mencintai telah dikorbankan menjadi kehidupan orang yang dicintai. Jadi, tidak ada lagi perbedaan antara kehidupan pencinta dengan kehidupan orang yang dicintai. Tidak ada isyarat yang sempat disampaikan karena si pencinta melakukannya tanpa perlu menunjukkan pertanda apa pun, langsung membuktikan kecintaannya lewat perlakuan.
Begitulah kiranya maksud yang ingin disampaikan Sapardi dalam puisinya tersebut jika menyertakan penjelasan secara ilmu alam dasar. Mencintai secara sederhana yang disampaikan pada kata-kata pembuka setiap bait bukanlah mencintai dengan berperilaku apa adanya, melainkan mencintai yang penuh dengan pengorbanan dan totalitas sehingga sang pencinta merasa bahwa semua yang ia lakukan menjadi sesuatu yang terasa sederhana karena segala yang dilakukan oleh manusia, bila sudah sering atau terus dilakukan, akan menjadi hal yang sederhana baginya.
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu
aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada
Siapa penggemar sastra yang tidak mengenal puisi di atas? Puisi romantis karya Sapardi Djoko Damono yang berjudul Aku Ingin tersebut adalah salah satu puisi abadi yang ada di dunia kesusastraan, khususnya sastra Indonesia. Setiap orang dari setiap masa yang mendalami sastra akan menjumpai puisi tersebut dan menyepakati bahwa puisi tersebut layak menjadi karya agung yang pernah diciptakan manusia. Puisi yang ditulis pada tahun 1989 dan dimasukkan dalam buku kumpulan puisi Hujan Bulan Juni tersebut memiliki makna yang sangat dalam mengenai pengorbanan rasa cinta seseorang kepada orang lain. Meskipun kata-kata yang disajikan adalah kata-kata yang sering digunakan dalam keseharian, hal itulah yang justru menunjukkan bagaimana cerdasnya Sapardi dalam menyatukan kesederhanaan kata dan kedalaman makna secara bersamaan sekaligus menjadi ciri khas puisi-puisi yang ditulis olehnya.
Dalam memahami makna puisi tersebut, seseorang tidak perlu menggunakan teori rumit tertentu karena di dalam sastra, untuk memahami suatu puisi, tidak ada teori khusus dan pasti yang dapat menjelaskan makna yang disampaikan. Seseorang hanya perlu menangkap kesan yang muncul ketika puisi itu dibaca dan tentu saja menggunakan imajinasi beserta perasaan. Hasil memahami atau menafsirkan dari setiap orang terhadap suatu puisi juga akan berbeda-beda karena puisi umumnya menggunakan kata-kata yang tidak lugas dan konotatif.
Meski umumnya puisi tidak dapat dipahami dengan teori tertentu, puisi Aku Ingin dapat dijelaskan secara ilmu alam. Bagi pembaca yang kritis, saat mereka membaca puisi tersebut, mesti terselip pertanyaan mengapa kayu kepada api dan awan kepada hujan yang diambil sebagai perumpamaan. Hal tersebut dapat dijelaskan dengan ilmu alam dasar.
Pada bait pertama, Sapardi mengambil sebuah perumpaan kayu kepada api yang menjadikannya abu. Dengan kata lain, ia menyelipkan reaksi pembakaran di dalam puisi tersebut. Dalam reaksi pembakaran, dibutuhkan oksigen. Oksigen berperan sebagai pemicu nyala api. Secara imajinatif, oksigen dalam hal ini dapat diperumpamakan sebagai rasa cinta. Pelakunya tentu saja kayu dan api dengan asumsi kayu sebagai orang yang mencintai dan api sebagai orang yang dicintai. Kembali ke reaksi pembakaran, reaksi tersebut termasuk reaksi eksotermik, yaitu reaksi yang melepas panas dari suatu sistem ke lingkungan. Hal yang perlu diingat adalah reaksi pembakaran hanya terjadi selama masih ada bahan, bisa kayu tadi atau oksigennya. Jadi, makna yang dimasukdkan Sapardi lewat perumpamaan ini bukanlah rasa cinta yang terbatas dalam satu masa saja, tetapi pengorbanan rasa cinta dari kayu yang rela menghabiskan seluruh kehidupannya demi sang api. Sementara itu, kata yang tidak sempat diucapkan berarti apa yang dilakukan kayu kepada api melalui pengorbanan hidupnya telah mewakili semua ucapan yang biasanya diucapkan untuk menunjukkan rasa cintanya. Bukankah saat mencintai seseorang, hal yang perlu ditunjukkan adalah perlakuan, bukan sekadar ucapan? Lantas, apakah yang dimaksud “abu” dalam puisi tersebut? Abu adalah hasil dari pembakaran yang berarti kenangan yang tersisa setelah kayu dan api tidak tampak lagi fisiknya.
Selanjutnya, pada bait kedua, Sapardi mengambil perumpamaan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada. Makna dari perumpamaan ini sama dengan perumpamaan pada bait pertama, yaitu pengorbanan dalam mencintai. Kemungkinan, Sapardi ingin membuat suatu penegasan yang apabila pembaca belum dapat memahami makna puisinya pada bait pertama, ia masih dapat menemukan maknanya pada bait kedua sehingga Sapardi membuat dua bait dengan makna sama, tetapi dengan subjek perumpamaan yang berbeda.
Perumpamaan yang diambil Sapardi pada bait kedua adalah awan kepada hujan yang menjadikannya tiada. Perumpamaan ini dapat dipahami melalui daur ulang air. Sebagaimana diketahui, awan adalah uap air yang terkondensasi kemudian terkumpul dan semakin besar. Pada titik tertentu, akibat faktor suhu dan tekanan di udara, awan tersebut akhirnya mencair menjadi titik-titik air yang disebut sebagai hujan. Perubahan awan menjadi hujan ini adalah perumpamaan dari kehidupan seseorang yang mencintai telah dikorbankan menjadi kehidupan orang yang dicintai. Jadi, tidak ada lagi perbedaan antara kehidupan pencinta dengan kehidupan orang yang dicintai. Tidak ada isyarat yang sempat disampaikan karena si pencinta melakukannya tanpa perlu menunjukkan pertanda apa pun, langsung membuktikan kecintaannya lewat perlakuan.
Begitulah kiranya maksud yang ingin disampaikan Sapardi dalam puisinya tersebut jika menyertakan penjelasan secara ilmu alam dasar. Mencintai secara sederhana yang disampaikan pada kata-kata pembuka setiap bait bukanlah mencintai dengan berperilaku apa adanya, melainkan mencintai yang penuh dengan pengorbanan dan totalitas sehingga sang pencinta merasa bahwa semua yang ia lakukan menjadi sesuatu yang terasa sederhana karena segala yang dilakukan oleh manusia, bila sudah sering atau terus dilakukan, akan menjadi hal yang sederhana baginya.
Komentar
Posting Komentar