Satu Semester di Sastra Indonesia UI


Jumat lalu (23/12) adalah hari perkuliahan terakhir program studi Indonesia UI di semester pertama. Itu berarti saya telah menjalani sekitar empat bulan berkuliah dan lima bulan jika dihitung dengan kegiatan mahasiswa baru (OKK dan PSA-Mabim). Waktu terasa cepat berlalu. Saya masih ingat bagaimana saya nekat berhenti mengikuti kegiatan kuliah pada pertengahan semester kedua di Ilmu Filsafat UGM hanya untuk mengejar Sastra Indonesia UI, jurusan dan universitas yang sangat saya inginkan; perjalanan ke Jakarta untuk pertama kali bersama sahabat saya, Yunaz; berangkat dari Yogyakarta dengan dibantu Yunaz untuk membawa barang guna kembali lagi ke Jakarta untuk daftar ulang; sampai akhirnya menikmati kuliah pada bidang yang saya suka: bahasa dan sastra Indonesia.

Sebelum menjawab pertanyaan “apa yang dipelajari di Sastra Indonesia UI”, “bagaimana suasana kuliah di FIB UI”, dan sebagainya, saya ingin meluruskan satu hal. Pada paragraf pertama, saya menyebut satu hal yang sama dalam dua istilah yang berbeda, yaitu program studi Indonesia UI dan Sastra Indonesia UI. Dua istilah tersebut adalah sama, yakni merujuk pada satu nama jurusan atau program studi yang menyelenggarakan studi mengenai kebahasaan dan kesusastraan Indonesia di UI. Nama “Indonesia UI” adalah nama resmi yang digunakan di UI, sedangkan “Sastra Indonesia UI” adalah nama yang masih digunakan dalam berbagai kegiatan, seperti pendaftaran mahasiswa baru. Alasan mengapa nama tersebut masih digunakan adalah nama tersebut terdaftar di Dikti. Begitulah penjelasan yang saya tangkap ketika hari pertama masa orientasi kampus tingkat fakultas (PSA-Mabim). Karena di program studi ini tidak hanya membahas mengenai kebahasaan dan kesusastraan Indonesia, tetapi juga budaya dan fenomena sosial di Indonesia, nama “Indonesia UI” dinilai lebih cocok untuk digunakan. Meskipun begitu, tidaklah salah jika masih ada yang menyebut “Sastra Indonesia UI”.

Sebagaimana program studi atau jurusan lain, Indonesia UI juga memiliki himpunan mahasiswa. Himpunan mahasiswa Indonesia UI bernama IKSI, yaitu singkatan dari Ikatan Keluarga Sastra Indonesia. Sebagian besar pengurus IKSI adalah mahasiswa semester kelima. Oleh karena itu, pemegang IKSI periode ini adalah angkatan 2014. IKSI memiliki biro-biro. Biro-biro ini semacam ekstrakulikuler, tetapi dibawahi oleh prodi sehingga biro-biro ini juga khas prodi. Biro-biro di IKSI adalah teater Pagupon, musikalisasi puisi Sasina, Gaung (surat kabar atau majalah), Katarsis (tari), Cangkir (majalah dinding), dan Kedisina (bidang ilmiah). Anda tahu grup musik Payung Teduh? Mereka berasal dari teater Pagupon, meski semua personilnya bukan mahasiswa atau alumni Indonesia UI. Itu karena anggota Pagupon boleh mahasiswa IKSI atau non-IKSI, tetapi ketua Pagupon tetap orang IKSI. Anda tahu Sapardi Djoko Damono dan Budi Darma? Gaung pernah memuat tulisan mereka. Sasina, biro IKSI yang saya ikuti, memiliki pemusik atau penyanyi terkenal. Anda bisa mengecek di halaman catatan penulis kumpulan puisi Hujan Bulan Juni oleh Sapardi Djoko Damono. Di sana tersebut nama Umar Muslim. Beliau adalah dosen saya sekaligus pemusik. Banyak puisi yang telah dilagukan oleh beliau, baik kemudian dibawakan sendiri maupun orang lain. Bersama Sasina, hari Senin lalu, saya dan teman-teman yang tampil di UNJ dalam acara Riung Sastra berkesempatan dilihat oleh orang-orang yang cukup terkenal dalam dunia sastra Indonesia, yaitu Taufik Ismail dan Asma Nadia.

Di angkatan 2016, saya menjumpai teman-teman yang berbakat. Ada Adit yang jago berenang, sempat mewakili DKI Jakarta pada PON tahun 2016 di Jawa Barat, dan hasilnya adalah satu emas dan medali lain (saya lupa apakah perak atau perunggu); Tia yang jago menyanyi, punya lagu sendiri dan video klip di Youtube, serta kerap tampil di berbagai acara musik; Rifqi yang jago bermain bola dan ikut suatu tim futsal di Jakarta; Fiona yang sudah menghasilkan dua novel yang diterbitkan lewat Mizan (kalau tidak salah); dan teman-teman lain yang hebat. Di prodi (program studi) Indonesia UI angkatan ini pula saya menemukan hal unik, yaitu sembilan dari lima puluh satu mahasiswa bukan asli lulusan 2016, termasuk saya. Sebagian dari sembilan orang ini pernah berkuliah di universitas lain, seperti Universitas Negeri Jakarta pada jurusan hubungan masyarakat, UIN Jakarta pada jurusan biologi, Universitas Gunadarma pada jurusan teknik infromatika, Universitas Parahyangan pada jurusan ekonomi pembangunan, dan Universitas Gadjah Mada pada jurusan ilmu filsafat. Brian, mantan mahasiswa Universitas Parahyangan, adalah yang tertua di antara kami karena umurnya sudah menginjak dua puluh satu tahun. Dia lulusan 2014. Menurutnya, ia sempat diterima di prodi Indonesia UI pada tahun 2014, tetapi lebih memilih di Universitas Parahyangan. Selain itu, ada Aga, mantan mahasiswa Universitas Gunadarma tahun 2015 yang tidak melanjutkan semester keduanya dan menjadi tukang ojek Uber sebelum masuk Indonesia UI tahun ini. Wildan, mantan mahasiswa UNJ 2015, yang awalnya sangat tidak suka UI karena stiker UI banyak beredar, baik di mobil, sepeda motor, maupun tempat lain, akhirnya iseng mengikuti SBMPTN 2016 dengan didaftarkan oleh teman SMP-nya dan masuk ke Indonesia UI. Wildan adalah orang paling kocak dan sering menyanyikan lagu Radiohead bersama saya di payung kansas (kantin sastra) dan kanhum (kantin humaniora). Selain mahasiswa berkewarganegaraan Indonesia, ada pula dua mahasiswa yang bukan asli Indonesia, tetapi mereka berkuliah reguler sama seperti saya dan teman-teman yang lain. Dua mahasiswa luar negeri itu adalah Zhang Beitong (Arif) yang berasal dari Tiongkok dan Yeonik Choi yang berasal dari Korea Selatan. Mereka mahasiswa reguler prodi Indonesia UI, bukan mahasiswa pertukaran pelajar. Itu berarti mereka akan mengikuti kuliah sama seperti kami selama empat atau lima tahun dengan mata kuliah yang sama. Mereka belajar bahasa Indonesia di lembaga bahasa FIB UI pada Bipa (Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing).

Jadi, apa saja yang dipelajari di prodi Indonesia UI? Mungkin sama dengan banyak orang, pada awalnya, saya mengira prodi ini hanya mempelajari kebahasaan dan kesusastraan Indonesia saja, seperti bagaimana menulis yang baik dan benar, bagaimana membuat puisi atau novel, dan bagaimana menjadi penulis yang bermutu. Ternyata, setelah saya berkuliah di prodi ini, saya tahu bahwa Indonesia UI tidak hanya mempelajari hal-hal tersebut. Karena bahasa (termasuk sastra) adalah salah satu unsur kebudayaan, pemelajaran bahasa dan sastra juga menyangkut segala aspek tentang budaya. Saya ingat dosen mata kuliah pengantar linguistik umum, Bu Sri, memberikan sebuah pertanyaan sederhana di hari pertama kuliah. Pertanyaan tersebut adalah apa yang dimaksud “baik dan benar” dalam belajar bahasa. Semua teman saya (kelas A) diam karena tidak mengerti. Dosen saya kemudian menjelaskan melalui contoh. Beliau berkata bahwa ada mahasiswanya yang mengirim pesan melalui WA (Whatsapp). Mahasiswa itu bilang, “…saya ingin bertanya kepada Anda mengenai tugas minggu lalu”. Bu Sri mengatakan bahwa mahasiswa tersebut sudah benar dalam tata bahasanya, tetapi penggunaan “Anda” kurang baik. Beliau mengatakan bahwa pemakaian kata sapaan “Ibu” lebih tepat untuk digunakan. Oleh karena itu, penggunaan bahasa tergantung pada konteks dan pada siapa berbicara. Saya juga baru tahu saat itu bahwa bahasa adalah mengenai bunyi, sedangkan tulisan bersifat sekunder. Harimurti Kridalaksana dalam Pesona Bahasa: Langkah Awal Memahami Linguistik menjelaskan bahwa bahasa adalah sistem tanda bunyi yang disepakati untuk dipergunakan oleh para anggota kelompok masyarakat tertentu dalam bekerja sama, berkomunikasi, dan mengidentifikasi diri. Penjelasan tersebut sekaligus menjawab pertanyaan tentang bagaimana bahasa bisa muncul, yaitu dari kesepakatan masyarakat. Jawaban ini juga dapat ditemukan dalam buku Filsafat Bahasa dari Prof. Kaelan.

Di sini ada tiga peminatan, yaitu linguistik, sastra, dan filologi. Saya yakin sebagian besar dari Anda asing terhadap kata “filologi’. Saya akan menjelaskannya nanti. Pada semester pertama, mahasiswa tidak langsung masuk ke peminatan, melainkan mempelajari berbagai mata kuliah pengantar, seperti pengantar linguistik umum, pengantar sastra klasik, pengantar kesusastraan Indonesia, dan ikhtisar tata bahasa Arab. Bahasa Arab? Ya, mata kuliah ini adalah salah satu mata kuliah pengantar. Dalam filologi, nantinya belajar mengenai naskah kuno di Indonesia. Orang-orang dahulu menggunakan bahasa atau pun aksara Arab untuk berkomunikasi sehingga diperlukan belajar bahasa Arab. Selanjutnya, apa perbedaan sastra klasik (peminatan filologi) dan sastra modern (peminatan sastra), padahal sama-sama sastra? Perbedaan ini menyangkut perihal penemuan mesin cetak. Jadi, sebelum ada penemuan mesin cetak, para penulis menulis atau menyalin naskah secara manual. Selain ditulis manual, penyebaran sastra zaman itu juga melalui lisan. Hal itulah yang dinamakan sebagai sastra klasik. Sementara itu, setelah penemuan mesin cetak, karya sastra disebarkan dengan cara mencetak. Itulah yang disebut sastra modern (biasanya disebut “sastra” saja). Selain mata kuliah pengantar di jurusan, terdapat pula mata kuliah wajib dari universitas. Untuk semester pertama, ada mata kuliah MPKT-A dan MPKO/S. MPKT adalah singkatan dari Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian Terintegrasi. Mata kuliah ini terdiri dari enam SKS. Dalam MPKT-A, dibahas mengenai karakter, filsafat, logika, kebudayaan, masyarakat, negara, dan sebagainya. Sama dengan MPKT-A sebagai mata kuliah wajib, tetapi MPKO/S berbeda dalam bidang yang dipelajari. Mahasiswa bebas memilih MPK Olahraga atau MPK Seni. Mata kuliah ini terdiri dari satu SKS. Saya memilih MPKS Musik. Saya UAS di auditorium gedung I FIB UI bersama teman-teman lain yang mengambil MPKS Musik pada Jumat lalu. Awalnya, saya mengira mata kuliah ini membahas not balok, cara menyanyi, atau hal teknis lain dalam musik. Berbeda dari perkiraan saya, mata kuliah ini justru membahas periode-periode dalam musik. Kuliah MPKS Musik sesi kedua diisi oleh Pak Dibyo, salah satu orang terkenal dan penting di UI. Beliau merupakan salah satu pendiri Paragita UI. Saya pastikan semua mahasiswa UI mengenal beliau. 

Apa yang dipelajari dalam linguistik? Linguistik adalah ilmu yang mempelajari bahasa. Dalam linguistik, dipelajari mengenai arti bahasa dan linguistik itu sendiri, aspek kognitif bahasa, aspek fisiologis bahasa, aspek sosial bahasa, wacana (pengertian wacana ternyata tidak sama dengan wacana yang biasa disebutkan dalam percakapan sehari-hari), fonologi (bunyi), pragmatik (mengkaji makna yang dipengaruhi oleh hal-hal di luar bahasa), semantik (makna tanda bahasa), sintaksis (penelaahan terhadap struktur satuan bahasa yang lebih besar dari kata, mulai dari frasa hingga kalimat), leksikon, dan morfologi. Selain itu, dalam peminatan linguistik, ada mata kuliah bahasa isyarat Indonesia (bisindo), sosiolinguistik, leksikografi, dan dialektologi.

Ada pengalaman unik saya yang menyangkut linguistik. Sebelum masuk perkuliahan, hari pertama PSA-Mabim, pengenalan jurusan, setiap mahasiswa baru (maba) Indonesia UI ditanya oleh kaprodi (saat itu Ibu Nitra; sekarang Pak Sunu) alasan mengapa ingin masuk Indonesia UI. Hampir semua menjawab dengan alasan yang hampir sama: suka baca novel, menyukai sastra, atau ingin menunjukkan bahwa bahasa Indonesia itu unik dengan kebudayaannya. Saya menjawab, “Alasan saya ingin masuk sini adalah saya ingin belajar linguistik”. Dosen-dosen linguistik bersuka ria karena memang sangat jarang maba yang masuk Indonesia UI karena ingin mempelajari linguistik. Sekarang saya mulai mempertimbangkan ucapan saya itu. Setelah menjalani semester pertama, saya cenderung kepada peminatan lain. Peminatan apakah itu? Saya akan bahas nanti.

         Apa yang dipelajari dalam sastra? Karena semester pertama berupa pengantar, mata kuliah pengantar kesusastraan Indonesia (pekasus) masih membahas sastra, novel, puisi, drama secara dasar. Kebetulan dosen pekasus saya adalah Bu Edwina. Cara mengajar Bu Edwina adalah dengan mengaitkan sastra dengan kehidupan sehari-hari. Contohnya, setiap mahasiswa semester pertama di kelasnya wajib membaca cerpen Kompas yang terbit setiap Minggu. Setelah itu, beliau akan menanyai apa maksud dari cerpen tersebut, bagaimana satu tokoh dengan tokoh lain berhubungan, apa hubungan cerpen tersebut dengan kejadian nyata, dan sebagainya. Beliau juga memberi tugas membaca sepuluh novel Indonesia dalam semester pertama. Ini sama sekali bukan beban bagi saya, tetapi ini justru kenikmatan. Dengan tugas tersebut, Bu Edwina bermaksud menumbuhkan kegemaran membaca pada mahasiswa. Membaca adalah hal yang penting karena banyak manfaat positifnya. Saya pun merasakan hal tersebut. Karena tugas ini, minat baca saya naik secara drastis. Selama SMA, tiga tahun, hanya ada satu buku yang saya baca tuntas, yaitu Republik Jancukers karya Sujiwo Tejo. Selama kuliah di UGM, hanya satu buku juga yang saya baca tuntas, yaitu Chairil Anwar: Sebuah Pertemuan oleh Arief Budiman, serta buku-buku lain yang hanya saya baca maksimal lima puluh halaman pertama. Dalam satu semester ini (empat bulan), akibat tugas pekasus tersebut, saya membaca tuntas delapan novel (Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas oleh Eka Kurniawan; Larasati oleh Pramoedya Ananta Toer; Isinga: Roman Papua oleh Dorothea Rosa Herliany; Salah Asuhan oleh Abdoel Moeis; Di Kaki Bukit Cibalak oleh Ahmad Tohari; Kalamata oleh Ni Made Purnama Sari; Perempuan Bernama Arjuna 4: Batakologi dalam Fiksi oleh Remy Sylado; dan Sambernyawa: Pemberontak Tanah Jawa oleh Sri Hadidjojo) dan empat buku nonfiksi (Sastra dan Ilmu Sastra oleh A. Teeuw; Chairil oleh Hasan Aspahani; Etika dan Asketika Ilmu: Kajian Filsafat Ilmu oleh Achmad Charris Zubair; dan Orientasi ke Arah Pemahaman Filsafat Ilmu oleh Mukhtar Latif), serta dua novel yang masih saya selesaikan (Tapak Harimau Paderi oleh Ridjaluddin Shar dan Pasung Jiwa oleh Okky Madasari) dan dua buku nonfiksi yang hampir selesai (The World until Yesterday oleh Jared Diamond [terjemahan] dan Politik oleh Aristoteles [terjemahan]). Karena semakin banyak buku (fiksi dan nonfiksi) yang saya baca, semakin saya mendapatkan banyak pengetahuan, baik sastra maupun nonsastra. Saya memiliki kesimpulan sementara, yaitu orang yang belajar sastra pasti tidak lepas dari belajar sejarah atau filsafat. Ketiga hal itu (sastra, filsafat, dan sejarah) saling berkaitan. Mustahil seseorang yang belajar sastra tidak belajar filsafat, sejarah, atau keduanya, kecuali jika ia hanya membaca karya-karya picisan. Lewat filsafat, lahirlah sejarah. Bisa juga sebaliknya. Kedua hal itu banyak tertuang dalam karya sastra.

Sebagai mata kuliah wajib sastra, dipelajari pengkajian prosa Indonesia, pengkajian drama Indonesia, perkembangan sastra Indonesia, pengkajian puisi Indonesia, penulisan kreatif, dan kritik sastra. Sebagai mata kuliah peminatan sastra, dipelajari sastra anak, sastra Melayu Tionghoa, gender dalam sastra, sosiologi sastra Indonesia, sastra bandingan, dan sastra populer.

Apa yang dipelajari dalam filologi? Filologi adalah istilah yang cukup asing di masyarakat umum. Saya sendiri baru tahu istilah ini ketika masuk di Indonesia UI. Filologi adalah ilmu yang mempelajari nilai-nilai, informasi, latar kondisi sosio-budaya, hukum, dan sebagainya yang terdapat dalam naskah-naskah kuno. Filologi dibagi menjadi dua, yaitu kodikologi dan tekstologi. Kodikologi mempelajari naskah secara fisik, seperti kertas apa yang digunakan, umur naskah, tempat penulisan naskah, perkiraan tulisan naskah. Melalui kodikologi, seseorang dapat mengetahui tempat atau daerah yang dulu maju berada karena hanya daerah yang masyarakatnya maju yang dapat menulis atau memiliki aksara sendiri. Hal itu berkaitan dengan perjanjian-perjanjian dengan bangsa lain. Sementara itu, tekstologi mempelajari apa yang terkandung dalam teks naskah. Dari teks tersebut, dapat diketahui kondisi pada zaman dulu, referensi obat-obat tradisional, hukum yang berlaku, dan sebagainya. Anda pernah melihat stempel pada naskah kuno? Posisi stempel itu bisa memberi informasi penting. Semua hal ini dipelajari di filologi. Ada berbagai mata kuliah khas filologi, seperti pengantar sastra klasik, kemahiran membaca naskah klasik, pengkajian naskah klasik, sastra wayang, tradisi sastra nusantara, bahasa melayu klasik, pokok dan tokoh sastra klasik, sastra sejarah, dan sastra lisan.

Kuliah di sastra Indonesia tidak mempelajari cara membuat puisi atau novel saja, bukan? Oleh karena itu, bersama tulisan ini, saya ingin menyampaikan bahwa kita tidak tahu kebenaran dan keluasan sesuatu sampai kita terjun kemudian menyelam di dalamnya. Masih banyak orang yang bilang “ngapain sih belajar sastra”. Hal ini juga terjadi pada jurusan-jurusan yang sering dianggap tidak favorit. Tidak ada ilmu yang sia-sia. Semua tergantung pada pengguna dan penggunaannya.

Bagaimana rasanya berkuliah di FIB UI? Lingkungan FIB UI, fakultas yang memiliki moto “budaya kami budaya juara” dan bermakara putih ini, sangat mendukung mahasiswanya untuk berbaur. Kalau ingin melihat mahasiswa yang heterogen dan tetap bisa hidup bersama,  Anda bisa berkunjung ke FIB UI. Selain itu, banyak acara menarik di sini. FIB UI terkenal dengan fakultas yang sering mengadakan acara, baik itu seminar, bazar (makanan atau buku), acara musik, maupun pertunjukan menarik lain.  Tiada hari tanpa keramaian. Hampir tiap minggu selalu ada acara, baik acara prodi maupun acara fakultas. Ada dua acara besar di FIB UI, yaitu Olimpiade Budaya dan Festival Budaya. Olimpiade Budaya (olimbud) adalah acara perlombaan olahraga dan seni yang melibatkan lima belas jurusan di FIB UI, bersama pascasarjana dan karyawan FIB UI. Saya sempat mengikuti lomba band bersama teman-teman IKSI. Selanjutnya, ada Festival Budaya (fesbud). Festival Budaya adalah rangkaian pertunjukan seni yang biasanya diadakan dua atau tiga hari.

Banyak tempat nongkrong asyik di FIB UI. Tempat-tempat tersebut adalah kansas, payung kansas, payung kanhum, pelataran gedung IX, coffee toffee, taman arkeologi, dan kelaster (kelas terbuka). Dari sekian tersebut, tempat favorit saya adalah kelaster. Kelaster adalah ruang bebas yang terletak di dekat danau jembatan Teksas (saya lupa nama danau yang sebenarnya). Terdapat tempat duduk panjang di sana. Ada lima kelaster dan satu tempat yang terdiri dari dua tempat duduk lingkaran (saya anggap termasuk kelaster). Di tempat terakhir yang saya sebut itulah tempat favorit saya.

Saya ingin bercerita mengenai bercandaan orang-orang sini. Pertama kali datang ke sini, saya kerap mendengar orang-orang bercanda, tapi saya bingung karena menurut saya tidak ada sesuatu yang lucu. Istilah gaulnya garing. Segala hal yang ditertawakan di sini, menurut saya saat itu, tidak lucu sama sekali. Setelah satu bulan, dua bulan, sampai sekitar tiga bulan di sini saya mulai memahami bahwa cara bercanda orang-orang sini memang beda. Akhirnya, saya mulai bisa hehe hehe, tetapi masih bingung dengan apa yang saya tertawakan. Hehe.

Sebagai paragraf penutup, saya ingin menjelaskan hal yang tadi saya janjikan, yaitu mengenai kemungkinan peminatan yang saya ambil. Linguistik, sastra, dan filologi memiliki keseruan masing-masing. Saya mendapatkan banyak pengetahuan baru lewat ketiga bidang itu, meskipun saat ini masih berupa pengantar-pengantar. Saya juga akhirnya dapat mengetahui berbagai latar belakang fenomena kebahasaan yang ada masyarakat. Semuanya asyik, tetapi saya paling suka dengan sastra. Melalui sastra, saya banyak mendapatkan pengetahuan nonsastra. Saya menjadi gemar sekali membaca. Selain itu, hal yang ingin saya pelajari dalam linguistik sudah ada dalam mata kuliah kemahiran bahasa Indonesia (KBI). Mungkin saya akan mengambil sastra dalam peminatan nanti. Saya akan lihat kepastiannya setelah menjalani semester kedua tahun depan. Sekian.

Komentar

  1. ak sepemikiran sama statement kamu di 2 paragraf terakhir. wkwkwk

    BalasHapus
  2. Jadi semangat masuk UI setelah baca ini hehe. Oya kak boleh minta kontak line/email untuk tanya" lebih lanjut seputar masuk UI kak? Doain saya ya kak, jadi maba Sastra Indonesia UI 2018 hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Halooo. Semoga, ya. Silakan kalau mau tanya-tanya. id line: harritsrizqi

      Hapus
  3. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  4. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  5. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  6. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  7. Halo bang! Mau tanya tanya seputar masuk UI bisa? Khususnya Sastra Indonesia hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Silakan. Bebas mau tanya apa pun selama saya bisa jawab hehe

      Hapus
  8. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  9. tulisannya sangat bermanfaat kak! Abis baca ini jd makin mantep buat masukin Sastra Indonesia ke pilihan SBM. ohya, menurut kakak apakah mungkin lulusan Indonesia UI dapat bekerja di bidang Jurnalisme?

    BalasHapus
  10. Hai... Taun ini sy berencana masuk Pendidikan Bahasa Indonesia di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Banten). Tadinya pengen banget masuk UI, tp karena satu dan lain hal, sy harus rela untuk tdk masuk UI. Hee. Semoga kak Harrits bisa terus berbagi seputaran perkuliahan bahasa & sastra Indonesia... Artikel ini sangat2 membantu! :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Semangat, ya! Semoga semuanya dapat yg terbaik.

      Hapus
    2. Aku mau masuk s2 anyway.. Tp dr siapapun belajar, termasuk pd orang yg lebih muda gak masalah heee

      Hapus
    3. Owalaah... Begitu ternyata. Mantap. Semoga s2nya lancar dan faedah hehe

      Hapus
    4. Aamiin. Terima kasih byk.. 😄
      Kalau tdk keberata bisa ikuti balik blog ku di aromalatte.blogspot.com
      Tulisannya sih masih tulisan-tulisan sampah. Tp mudah2an sampah yg ini bisa didaur ulang hehe
      Dan kalau kak Harist tdk keberatan, boleh minta emailnya sekalian, siapa tahu kita bisa bertukar info kapan2...

      Hapus
    5. Iya tadi aku udah cek ke alamat itu :)
      Harusnya yang panggil "kak" aku ya. Alamat email? Ini hrbzeal@gmail.com

      Ini balesnya cepet sekali. Sedang on di blog kah?

      Hapus
  11. Kak di sini sbg perhormatan. Tp kalau mau panggil sy kakak gpp (sy terima nasib 😂)

    Just turn on notifications on my phone 🙈

    BalasHapus
    Balasan
    1. padahal saya ini orang rendahan sekali. tiang bendera juga lebih tinggi. jadi hormatnya ke tiang saja kak hehe

      Hapus
  12. semoga tahun ini bisa lulus sbmptn,salah satu pilihan aku itu Sastra indonesia UI,,,

    BalasHapus
  13. Kak saya mau masuk ui juga jurusan sastra. Saya mohon bimbingannya semoga kakak lebih banyak lagi membuat artikel tentang indonesia ui.

    BalasHapus
  14. Kak, kira-kira apa yang harus dipelajari kalau mau ambil sastra Indonesia UI lewat jalur simak UI yah?

    BalasHapus
  15. Assalamualaikum w.w. kak saya Aisya Giwang dari Batang, kota kelahiran Goenawan Mohammad. Saya ingin sekali masuk sastra Indonesia di UI kak. Karena beberapa bulan lalu alhamdulilah berhasil masuk cipta puisi hingga nasional. Saya sangat senang sekali, dan menurut saya keahlian saya ada di sastra. Namun saya anak MIPA kak, bisakah saya masuk sastra Indonesia lewat SNMPTN ke UI kak? Terima kasih.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tentu bisa. Nggak ada batasan buat masuk Sasindo UI. Semuanya bisa masuk situ, walaupun memang perlu perjuangan. Semangat!

      Hapus
  16. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  17. Halo, Harits. Kenalkan, saya Mutia, IKSI 2011 dan sudah lulus pada tahun 2015. Salam kenal, ya.
    Senang sekali menemukan tulisanmu tentang jurusan kita. Membaca tulisanmu membuat saya teringat kembali masa-masa menjadi mahasiswa baru di tahun 2011. Sedih, ya, karena selama pandemi ini pertemuan dibatasi. Jika kondisi normal, kita pasti sudah pernah bertemu di kampus karena sejak tahun 2016 saya mengajar di BIPA UI sampai sekarang. Oya, apakah kamu jadi mengambil peminatan sastra? Kalau iya, kita sama, ya. Dulu saya ambil peminatan sastra, skripsinya tentang sastra anak yang dibimbing langsung oleh Prof. Riris K. Sarumpaet (semoga beliau selalu sehat). Oya, jika hitunganku benar, harusnya kamu sudah lulus ya sejak tahun 2020? Bagaimana rasanya menjadi alumnus? Semoga ilmu yang kamu dapatkan bermanfaat, ya. Semoga kita tetap rajin membaca dan menulis meskipun sudah tidak lagi belajar sastra di dalam kelas. ^^

    BalasHapus

Posting Komentar