Waktu dan Posisi-Nya
Ada banyak teori dalam dunia sains
yang masih diperdebatkan atau sudah dibuktikan. Saya malas menyebutkannya satu
per satu. Dari jumlah yang amat banyak itu, saya iseng ingin membahas waktu. Alasannya
mencengangkan; nomor 4 bikin kaget. Sebenarnya, sepele saja. Ada
pengalaman kuliah yang membuat saya agak merasa jengkel terhadap pembahasan
waktu. Kira-kira dua tahun lalu, 2015, saat masih mahasiswa baru nan lugu
(belum lugu-e), seorang dosen
menjelaskan objek ruang. Itu sebenarnya bukan masalah utama yang dibahas dalam
mata kuliah hari itu, tetapi cukup menarik sebagai pengetahuan tambahan. Beliau
awalnya bertanya kepada para mahasiswa, “Apa itu ruang? Apakah kita berada di
dalam ruang?”. Kami, para mahasiswa, kesulitan menjawab. Mungkin ada yang tahu,
tetapi tidak hendak berucap. Belumlah pertanyaan itu terjawab, beliau bilang
bahwa ruang memiliki ruang yang bernama waktu. Cukup. Saya rasa pembahasan soal
ruang dan waktu ini sebaiknya diakhiri saja, diakhiri sekuliah-kuliahnya juga.
Hari berlalu. Peristiwa baru
bermunculan. Kehidupan terus maju. Pertanyaan dosen saya tersebut perlahan
hilang dari ingatan atau mungkin hanya terpendam.
Suatu hari pada seperempat tahun
2017 yang cukup mendung, seorang teman menawari saya beberapa buku gratis. Buku-buku
filsafat. Memang dasar manusia, barang yang gratis memang selalu menggoda.
Akhirnya, saya ambil itu buku-buku, sekitar empat atau lima buku. Salah satu di
antaranya adalah buku Metafisika oleh
Lorens Bagus (Gramedia, 1991). Buku ini sangat detail membahas hal-hal dasar
dalam filsafat. Penjelasannya tidak terlalu rumit. Salah satu yang dibahas
dalam buku tersebut adalah waktu. Saya kembali teringat pada pengalaman kuliah
saya. Oh, ya, ketika saya sedang membaca buku ini di kampus, teman saya lewat
di depan saya sambil berkata, “Metafisika? Mau belajar santet lu?”. Saya jawab, “Ya, sekarang saya sarjana
dukun”.
Setelah membaca bagian tersebut,
saya mulai berpikir beda. Pembahasan waktu ini penting juga sebenarnya. Saya
menduga-duga apakah para ilmuwan alam, khususnya yang meneliti waktu, juga
membaca filsafat tentang hal ini sehingga mereka terpancing untuk meneliti
lebih dalam soal waktu.
Intinya, menurut pemahaman saya,
segala yang ada di dunia berproses dari satu titik (keadaan) ke titik lain.
Antara kedua titik tersebut memiliki potensi (sesuatu dalam proses menjadi).
Pelepasan dari titik awal (titik lepas) ke titik akhir, termasuk potensi,
dinamai sebagai waktu. Agar lebih jelas, saya sertakan gambar yang saya buat di
Corel Draw kemarin.
Dari pengertian tersebut, saya
menjadi sedikit mengerti perihal waktu sebagai ruang dari ruang. Waktu sebagai
ruang dari ruang memiliki makna bahwa waktu berkuasa atas ruang. Misalnya, Bumi
berputar menciptakan proses. Waktu diibaratkan sebagai sesuatu yang “membungkus”
Bumi karena waktu menyeluruhi (saya kesulitan mencari diksi lain) Bumi
tersebut. Tidak mungkin satu bagian kecil dari Bumi tidak berada dalam waktu.
Maka, menurut saya, ruang yang tak bergerak tak memiliki waktu.
Detik, menit, jam, dan sebagainya
adalah istilah ciptaan manusia yang digunakan untuk menandai waktu, tetapi
bukan waktu itu sendiri. Hal ini semacam pemberian tanda terhadap proses.
Contohnya, saya dulu kecil dan sekarang agak besar. Tentu di sana ada waktu.
Agar mudah menandainya, dibuatlah tanda waktu, seperti tahun.
Mari kembali ke masalah ruang.
Faktanya, ruang itu tak hanya Bumi. Di tata surya kita saja terdapat delapan,
sembilan, atau dua belas ruang. Saya kurang tahu tepatnya sekarang. Maka,
kemungkinan mereka memiliki waktunya sendiri. Kumpulan ruang-ruang ini juga
membentuk waktu. Begitu seterusnya.
Selagi saya asyik memikirkan waktu, pada
hari yang lagi-lagi mendung, ada teman saya berkata, “Tuhan hidup dalam segala
waktu”. Dalam pikiran saya, ungkapan tersebut berarti Ia berada dalam segala
proses dan yang diprosesi. Yang diprosesi
ini bisa berwujud macam-macam, termasuk manusia. Namun, bagaimana mungkin
Ia tinggal di dalam manusia? Jika kehidupan manusia dan manusia itu sendiri
adalah bagian dari proses, apakah Tuhan ada di dalamnya (secara harfiah)? Saya
seketika teringat pada ayat yang berbunyi bahwa Tuhan lebih dekat dari urat
nadi. Bukankah itu dekat sekali? Jika seperti itu, di manakah Tuhan?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut,
saya bikin perkiraan saja. Saya tanya kepada diri saya sendiri, mungkin atau
tidak jika semua yang hidup ini tinggal di dalam sesuatu yang kita namai “Tuhan”.
Jika mungkin, itu akan menjawab pertanyaan-pertanyaan pada paragraf sebelumnya.
Mungkin juga akan menjawab pertanyaan “mengapa kita tidak bisa melihat Tuhan”.
Setelah berpuasa, bertapa, tanpa mandi, tenang, jauh dari rumah dan
ditinggalkan cinta (kata Sheila on 7), saya coba gambar kemungkinannya.
Garis batas imajiner Tuhan ini saya
belum tahu batasnya. Saya sebut “imajiner” karena bisa jadi garis itu tidak
nyata dan bisa jadi memang tidak bergaris (tak terbatas). Jika kemungkinannya
seperti itu, pertanyaan-pertanyaan tadi terjawab sudah.
Penjelajahan pikiran tentang waktu
(dan Tuhan) ini sementara sampai di sini dulu. Saya masih mencari referensi
lain untuk menambah dan mengembangkan pengetahuan.
Komentar
Posting Komentar