Pra-Karya Rachun: Nggak Balik Lagi…


         Jalan-jalan kemarin bersama seorang sahabat di Blok M, Jakarta, yang awalnya hanya berniat berkeliling saja, berakhir dengan suatu pencidukan terhadap entitas pendek terbaru (2017) dari sebuah grup musik dari Jakarta. Grup musik ini bernama Rachun (Instagram: @rachunmusik). Iya, pakai /h/ di tengahnya. Entitas pendek atau album pendek itu bernama Pra-Karya.

            Di salah satu toko CD di Blok M, di jajaran album dari grup-grup musik, seperti White Shoes and The Couples Company, Payung Teduh, Coldplay, The Beatles, dan Arctic Monkeys, bertengger album yang gambar sampulnya mencuri perhatian saya karena gambar sampul album ini biasanya saya lihat di gambar profil Line si empunya. Menarik juga. Akhirnya, saya bungkus juga ini album mumpung ketemu langsung.

Album CD Pra-Karya dari Rachun ini adalah album CD orisinal ketiga yang saya beli seumur hidup saya sampai sekarang ini. Pertama, album Perubahan dari d’Masiv —sewaktu masih SD, album ini cukup terkenal; saya beli, meskipun album ini banyak kontroversinya. Kedua, album City of Evil dari Avenged Sevenfold —grup musik favorit saya semasa SMP; salah satu album favorit saya juga. Ketiga, ini dia, Pra-Karya dari Rachun. Sebenarnya, semasa SMA, saya juga pernah tidak sengaja membeli benda semacam ini. Sehabis membeli buku Republik #Jancukers karya Sujiwo Tejo dan setelah saya buka, ada CD lagu-lagu dari Mbah yang satu ini. Meski begitu, ini tidak saya masukkan hitungan karena, ya… nggak papa. Lha apa setiap hal harus ada alasannya, yang mahakonkret nan maharasional?

            Walaupun membeli kemarin, saya baru sempat memutarnya malam ini. Saya sangat penasaran dengan karya Rachun yang satu ini. Bagaimana tidak; publikasinya di mana-mana dan, tentu, karena si vokalis adalah kakak angkatan sejurusan yang lumayan sekali-dua kali nggenjreng bersama.

            Album pendek ini berisi lima lagu: Baling-Baling Bambu, Elektronika, Rekreasi, Ketulah, dan Teroris. Saya tinjau satu per satu, ya; singkat-singkat saja seperti biasa.

1. Baling-Baling Bambu
Saat pertama kali membaca judulnya, pikiran saya langsung tertuju pada salah satu alat andalan Doraemon. Saya coba menebak isi lagu ini dari judulnya. Tebakan saya, isi lagu ini tidak jauh-jauh dari soal kabur-kaburan (orang) dan pasti politik. Ternyata tebakan saya tidak meleset-meleset amat, apalagi setelah video musiknya ada di Youtube.

Lagu ini sangat tepat diletakkan di nomor pertama karena menggambarkan tema besar pada Pra-Karya, yaitu perlawanan. Perlawanan yang diungkapkan dalam lagu ini adalah perlawanan terhadap “orang-penting negara” yang enak-enak saja jalan hidupnya, dalam artian setelah melakukan sesuatu (negatif; kejahatan dunia politik), mereka bisa hidup seperti biasa, tanpa ada hukuman, susah ditangkap, semacam itu. Video musiknya mungkin dapat memperjelas isi lagu ini dan mungkin juga oknum yang dimaksud. Lagu ini cocok dijadikan nomor pertama juga karena musiknya nendang.

Bagian favorit saya pada lagu ini adalah bagian di antara bridge dan chorus.

2. Elektronika
Elektronika dibuka oleh ketukan drum yang mengingatkan saya pada ketukan drum pada lagu Mau Tak Mau dari Jagostu. Sebagaimana tema pada nomor pertama, lagu ini juga bertema perlawanan. Perlawanan dalam lagu ini adalah perlawanan terhadap suatu jenis musik. Musik melawan musik? Hmm… menarik. Melalui lagu ini, Rachun mengkritik musik elektronika. Musik elektronika itu bagaimana? Saya kurang tahu tepatnya, tetapi menurut saya ini musik semacam musik buatan program.

Aku mau berdansa/ Tetapi ku tak suka/ Dengan irama-irama/ Yang kau rekayasa

Penggalan lagu Elektronika di atas mungkin dapat memberi gambaran isi lagu ini.

Bagian favorit saya adalah liuk-lengkingan suara “tipis” Yudhis, si vokalis. 

3. Rekreasi
Coba tebak, lagu ini tentang apa. Ya, perlawanan terhadap kebosanan.

Nggak ada yang mengerti/ Nggak ada yang peduli/ Semua sibuk sendiri/ Aku di sini sepi

Lagu ini cocok untuk manusia-manusia senja-rindu-sendu-pilu yang merasa sangat kesepian, tetapi bosan mendengarkan lagu kalem-syahdu. Selain itu, lagu ini cocok diputar di tengah-tengah kemacetan yang superparah semacam kemacetan Jakarta arah Bogor/Depok waktu sore hari pada hari kerja, apalagi jika ada banjir. Putar keras-keras di tengah kemacetan dan pasti… Anda dimarahi pengemudi lain.

Bagian favorit saya pada lagu ini adalah bagian terakhirnya.

            (Rekreasi) Nggak sepi lagi/ (Terbang tinggi) Nggak balik lagi… (diakhiri suara-suara lucu)

            Nggak balik lagi! Waktu mendengar bagian inilah pikiran saya justru melayang pada penyekapan atau penculikan. Saya bayangkan seorang yang sedang pergi ke suatu tempat untuk berekreasi, misalnya Puncak, tersesat di tempat sepi kemudian diculik oleh suatu makhluk dan tidak kembali lagi. Bagaimana kalau sebenarnya ini lagu horor?

            4. Ketulah
            Ketulah? Apa itu ketulah? Saya jujur juga tidak tahu. Namun, dilihat dari konteks di liriknya, dapat saya artikan bahwa ketulah ini semacam “kena batunya”. Lantas, ini perlawanan terhadap apa? Lagu ini bisa punya dua objek perlawanan, yaitu perlawanan terhadap diri sendiri (introspeksi) dan perlawanan terhadap sikap orang-orang yang sering lewat batas. Sekian tinjauan singkat untuk lagu ini.

            5. Teroris
            Jelaslah ini perlawanan untuk siapa. Lagu ini perlawanan untuk para penebar ketakutan. Lebih spesifiknya adalah penebar ketakutan atau penebar ancaman atas nama agama.

            Lagu-lagu dalam album pendek ini didukung ilustrasi-ilustrasi minimalis-ikonis yang ada di sebelah bagian lirik masing-masing. Dengan paduan warna oranye, hitam, dan krem, ilustrasi ikonis di sini bisa memberi gambaran lebih lanjut dari lagu. Menurut saya, hal ini membuat album ini semakin elegan. Tidak banyak warna adalah simbol dari tidak suka basa-basi. Ini sejalan dengan lirik-liriknya yang lugas. Memang untuk jenis musik semacam Rachun ini cocok menggunakan lirik-lirik lugas. Minor, lugas, dan keras.

            Dari sekian keokean album ini, saya cuma kurang mengerti saja kenapa setiap lagu diawali dan diakhiri dengan rekaman yang bukan bagian dari lagu, seperti suara orang-orang yang sedang mengobrol dan suara cek alat. Mungkin ada alasan khususnya. Lain kali saya tanyakan saja ke Yudhis kalau sempat dan kalau ingat. Mungkin juga karena alasan suka-suka, biar beda, atau bahkan tidak ada alasan. Tidak masalah.

            Secara keseluruhan, saya mengapresiasi album pendek ini. Unik dan penuh kritik. Untuk lagu favorit di album ini, saya menaruh hati pada Rekreasi karena antara suasana dan lagu sedang pas. Sekali-kali saya ingin rekreasi sambil mendengarkan lagu ini dan, tentu saja, ditambah lagu Naik-Naik ke Puncak Gunung… nggak balik lagi.

Komentar

Posting Komentar