To Kill a Mockingbird: Jangan Suka Suuzan
sumber garmbar: http://bookriot.com/ |
Judul :
To Kill a Mockingbird (50th Anniversary Edition)
Penulis :
Harper Lee
Tahun :
2010
Penerbit : Arrow Books
Sebelum lebih jauh, saya sampaikan
terlebih dahulu bahwa tulisan ini bukan resensi lengkap seperti pada umumnya,
tetapi cerita dan tinjauan singkat yang strukturnya sesuka saya. Oleh karena
itu, tulisan ini pun relatif tidak panjang dan relatif tidak mendetail. Untuk
mengetahui lebih lengkap, silakan baca sendiri karya legendaris dari Harper Lee
ini.
To
Kill a Mockingbird karya Harper Lee adalah
salah satu judul novel yang paling sering saya jumpai dalam ulasan novel-novel
terbaik di berbagai sumber. Bahkan, salah satu ulasan yang pernah saya baca
menempatkan novel ini pada urutan pertama, novel yang paling direkomendasikan
untuk dibaca. Maka, saya semakin penasaran untuk membaca novel yang terbit
pertama kali pada tahun 1960 di Great Britain ini.
Saat liburan semester kedua pada
bulan Juli lalu di Yogyakarta, saya menyempatkan mengunjungi toko buku Periplus
di Mal Malioboro. Periplus adalah toko buku-buku impor. Pada awalnya, saya
hanya berniat menemani teman saya, tetapi ketika melihat novel ini, hati saya
tergugah untuk membelinya, walaupun harganya relatif mahal bagi saya. Ini untuk
memuaskan rasa ingin tahu saya tentang seberapa bagus novel ini. Tentu, bagus
atau tidak itu sangat subjektif. Namun, bila banyak orang mengatakan bahwa
novel ini bagus, ada baiknya saya coba untuk membacanya.
Pencerita dalam novel ini adalah
seorang anak kecil bernama Jean Louise Finch atau Scout (nama panggilan). Ia
mempunyai kakak bernama Jeremy Atticus Finch atau Jem dan ayah bernama Atticus.
Ibunya meninggal dunia ketika ia berumur dua tahun. Mereka bertiga tinggal di sebuah
daerah bernama Maycomb. Mereka juga tinggal bersama Calpurnia, seorang warga
kulit hitam. Pada tigaperempat bagian terakhir, tante mereka, Alexandra,
tinggal bersama mereka.
Saya teringat tokoh Sophie dalam novel
Dunia Sophie (Sophie’s World [Inggris] atau Sofies
Verden [Norwegia]) karya Jostein Gaarder ketika memperhatikan tokoh Scout
dalam novel Harper Lee ini. Keduanya sama-sama memiliki rasa penasaran yang
tinggi. Perbedaannya, Sophie penasaran terhadap dunia filsafat dan itu karena “dipancing”
oleh seorang, sedangkan Scout penasaran terhadap kejadian sehari-hari yang
menjadi misteri baginya dan ia memiliki sifat mudah penasaran itu secara murni.
Perbedaan lainnya adalah Sophie sepenuhnya berkarakter dan berpenampilan anak
kecil perempuan, sedangkan Scout tidak mau seperti perempuan, meskipun dirinya
perempuan.
Pertentangan antara warga kulit
putih dan warga kulit hitam menjadi inti dalam novel ini. Pertentangan yang
saya maksud mungkin lebih tepat jika disebut sebagai prasangka warga kulit
putih terhadap warga kulit hitam (Negro atau Nigger). Warga kulit putih sering
menganggap warga kulit hitam sebagai “sampah”. Mereka mendasarkan pandangan ini
atas dasar apa yang mereka lihat secara sekilas. Meskipun telah tinggal sangat
lama dalam satu daerah, warga kulit putih tidak pernah benar-benar dekat dengan
warga kulit hitam.
Sebagai orang-orang yang hidup
bersama warga kulit hitam di rumah, Scout, Jem, dan Atticus merasa tidak ada
yang aneh dengan warga kulit hitam. Mereka tidak memiliki prasangka seperti
banyak warga kulit putih, apalagi usaha untuk menyudutkan warga kulit hitam.
Hal ini dapat dibaca pada bagian ketika Tom Robinson, warga kulit hitam terdakwa
kasus pemerkosaan, disidang. Atticus, seorang pengacara, hadir dalam sidang itu
untuk memperjelas siapa yang bersalah. Mayella, gadis yang diduga diperkosa,
ditanyai berbagai pertanyaan oleh Atticus. Beberapa keterangannya tidak masuk
akal dan beberapa pertanyaan Atticus tidak ia jawab. Tom pun demikian. Ia
ditanyai oleh Atticus. Namun, berbeda dengan Mayella, Tom dapat menjawab.
Selain Mayella dan Tom, Ewell, ayah Mayella juga ditanyai sebagai saksi. Secara
singkat, Tom sebenarnya hanya dituduh oleh Ewell. Pemerkosaan itu tidak ada.
Bahkan, Ewell diduga sebagai orang yang memukul area mata kanan Mayella. Namun,
pada akhirnya, hakim menetapkan Tom sebagai tersangka. Bagian ini adalah salah
satu favorit saya dalam novel ini.
Bagian cerita lain yang saya suka
dalam novel ini adalah bagian ketika Scout dan Jem diajak Calpurnia untuk hadir
di gereja warga kulit hitam. Scout memperhatikan warga kulit hitam berbicara
dengan bahasa Inggris yang kurang benar secara tata bahasa. Sementara itu,
Calpurnia yang bisa berbicara bahasa Inggris secara benar terlihat tidak
memedulikan mereka yang berbicara bahasa Inggris secara kurang benar. Saat
pulang, Scout bertanya mengapa Calpurnia tidak membenarkan ucapan mereka.
Calpurnia menjawab dengan jawaban cukup panjang. Berikut saya tulis cuplikan
bagian ini (halaman ke-139).
‘Cal,’ I asked,”why
do you talk nigger-talk to the – to your folks when you know it’s not right?’
‘Well, in the first place I’m black –‘
‘That doesn’t mean you hafta talk that
way when you know better,’ said Jem.
Calpurnia tilted her hat and
scratched her head, then pressed her hat down carefully over her ears. ‘It’s
right hard to say,’ she said. ‘Suppose you and Scout talked coloured-folks’
talk at home – it’d be out of place, wouldn’t it? Now what if I talked
white-folks’ talk at church, and with my neighbours? They’d think I was puttin’
on airs to beat Moses.’
‘But Cal, you know better,’ I said.
‘It’s not necessary to tell all you
know. It’s not lady-like – in the second place, folks don’t like to have
somebody around knowin’ more than they do. It aggravates ‘em. You’re not gonna
change any of them by talkin’ right, they’ve got to want to learn themselves,
and when they don’t want to learn there’s nothing you can do but keep your
mouth shut or talk their language.’
Dari
cuplikan di atas, terlihat bagaimana Calpurnia mencoba menghormati kalangannya
dengan cara membiarkan kebiasaan berbicara mereka. Menurut saya, ini masih
sangat relevan dengan keadaan sekarang. Terlepas dari konteks bahasa warga
kulit hitam dan warga kulit putih, inti dari penjelasan Calpurnia di atas masih
berlaku pada masa ini. Ada orang-orang yang tidak mau tahu atau tidak mau berusaha
lebih tahu perihal suatu masalah atau keadaan. Ketika datang orang yang lebih tahu
dari mereka, orang-orang yang kurang tahu tersebut biasanya akan menolak
penjelasan orang yang tahu sehingga orang yang tahu ini, daripada menimbulkan
pertengkaran, lebih baik membiarkan mereka dalam ketidaktahuannya. Orang yang
menyampaikan kebenaran memang sering disalahkan, tetapi kebenaran itu sendiri
tidak bisa salah. “It’s not lady-like,”
kata Calpurnia.
Ada bagian cerita yang cukup lucu,
yakni ketika Scout berpikir bahwa Atticus tidak bisa apa-apa. Ia melihat
Atticus hanya duduk, membaca, dan hal-hal lain yang menurut Scout biasa saja.
Tidak ada keahlian khusus yang dimiliki Atticus menurut Scout. Namun, suatu
kali Calpurnia berkata bahwa Atticus adalah seorang penembak yang jago. Scout
tidak percaya karena ia tidak pernah melihat ayahnya menembak. Akhirnya, pada
bagian lain, diceritakan bahwa Atticus disuruh menembak sesuatu. Jika tidak
salah, orang yang menyuruh Atticus menembak adalah paman Scout. Saya agak lupa
bagian ini. Atticus sebenarnya tidak mau, tetapi ia dipaksa. Akhirnya, Atticus
menembak. tembakannya tepat pada sasaran. Scout merasa malu karena dugannya
salah.
Pada bagian yang sama, Atticus
bicara suatu kalimat yang esensinya menjadi inti novel ini. Kalimat ini juga
terdapat pada sampul belakang bagian luar novel ini.
‘Shoot all the
bluejays you want, if you can hit ‘em, but remember it’s a sin to kill a
mockingbird.’
Kita
bisa menembak semua burung yang kita inginkan, tetapi itu adalah sebuah dosa.
Atticus menjelaskan bahwa kita sebenarnya tidak tahu bagaimana burung itu.
Burung hanya bernyanyi. Tanpa mencoba mencari tahu lebih lanjut, kita terkadang
terburu-buru mengambil tembakan. Prasangka kita sering kali merugikan.
Dalam novel ini, saya juga menemukan
beberapa kalimat yang jika dilepaskan dari konteksnya akan menjadi kalimat
multitafsir yang indah. Salah satunya terdapat pada halaman ke-56. Dua kalimat
ini sangat indah menurut saya.
There was a lady in
the moon in Maycomb. She sat at a dresser combing her hair.
Setelah
membaca sampai habis, terlintas kata-kata “jangan suka suuzan (berprasangka;
berburuk sangka)”. Saya rasa itulah pesan dari novel ini. Ada baiknya kita
mencari tahu lebih dalam terhadap suatu masalah atau keadaan karena prasangka
biasanya menyebabkan kerugian, baik bagi yang berprasangka maupun yang
diprasangkai. Namun, dalam keadaan tertentu, kita patut
berprasangka. Salah satunya terhadap orang-orang yang memang biasanya
berperilaku buruk. Ini adalah prasangka yang bisa berwujud membangun atau
positif. Hal ini pula dijelaskan dalam buku The
World until Yesterday karya Jared Diamond. Prasangka semacam ini berguna
agar kita terhindar dari masalah yang lebih buruk.
Saya masih belum bisa mengatakan
bahwa To Kill a Mockingbird sebagai
novel terbaik, tetapi saya sangat merekomendasikan novel ini untuk dibaca.
Harga yang saya bayar sebanding dengan kualitas novel ini. Juga memang, novel
terbaik itu tidak akan pernah ada. Semua novel sesuai dengan porsinya dan “terbaik”
hanyalah wujud subjektivitas.
Komentar
Posting Komentar