Mas Roni: Wujud Cinta Tanpa Rupa
Mencintai
tubuh yang sintal atau gagah memanglah sangat mudah. Sekali melihat dan menahan
pandangan selama sepuluh detik saja, otak akan segera merekayasa perasaan, mengeluarkan
imaji-imaji nakal yang barangkali sudah lama tertimbun. Bagaimana kita tidak
cinta; fisik itu memang yang pertama. Segala gambaran soal perilaku manusia
terwujud dalam fisiknya. Memangnya, siapa wanita yang tertarik dengan fisik
laki-laki yang gembel pada saat pertama kali melihat? Butuh penelusuran lebih
lanjut dan lebih fantastis serta hati yang kuat iman untuk menerima kegembelan.
Setelah melihat fisik, pengagum
rahasia akan terpanggil hatinya untuk mencari tahu siapa nama gerangan wahai si
pujaan bangsa nan penggoda asmara itu. Persoalan mencari nama ini sangat
gampang. Bisa dicari sendiri atau dengan bantuan teman, apalagi jika si
gerangan ini terkenal dan seluruh masyarakat dunia familier dengan wajahnya.
Namun, hukum semacam itu sangat
mudah dipatahkan di Kansas FIB UI. Hukum soal cinta terhadap fisik itu, ya,
memang berlaku, tetapi ada anomali di sana. Begini saja, silakan niatkan datang
dan pastikan datang ke Kansas. Bukan Kansas yang di negara sana; ini Kansas,
Kantin Sastra. Konon saya pernah berimajinasi sewaktu pertama kali mendengar
frasa “kantin sastra”. Saya bayangkan para penjual di sana melayani para
mahasiswa yang kelaparan dengan bahasa sastrawi nan indah, semacam “Oh, Adinda,
tidakkah tenagamu telah lenyap dan mengalir bersama senja?” atau “Inilah, Tuan,
makanan yang kaurindukan. Tahukah kau apa nama makanan ini? Makanan ini bernama
cinta”. Pyar! Satu gelas kaca yang
berisi minuman tiba-tiba jatuh di Kansas. Ternyata Mbak Dian Sastro pelakunya. Biar
ramai katanya.
Mari
kembali ke sumbu pembicaraan. Silakan datang ke Kansas dan kemudian colek bahu
seorang yang sedang duduk di meja makan. Ketika ia menoleh, tanyakan “Mas Roni
yang mana, ya?” Ini merupakan pertanyaan tandingan dari pertanyaan “siapakah
aku?”
Saya
yakin bahwa tak semudah itu mencari yang mana Mas Roni. Mau bertanya langsung
di tempat jualannya? Silakan saja. Anda pasti akan tetap bertanya-tanya yang
mana Mas Roni. Namun, kalau Anda survei ke pengunjung se-Kansas, saya pastikan
ada pengunjung yang sedang makan dan ia mengaku beli dari Mas Roni. Akan tetapi,
soal yang mana Mas Roni, wallahualam.
Bukan
hanya soal itu. Saya pun yakin bahwa banyak mahasiswa FIB UI yang suka dengan
masakan Mas Roni. Bayangkan, di daerah Jabodetabek yang harga makanan dan biaya
hidupnya cukup membuat gila ini, ternyata ada makanan murah; harganya lima ribu
rupiah saja. Namanya adalah paket hemat Mas Roni. Walaupun hemat, porsinya relatif
tidak hemat. Anda berhak mendapatkan seporsi nasi putih, dua gorengan (gorengan
tempe atau bakwan), plus sambal yang ciamik,
sedikit serundeng, dan sayuran hijau kalau Anda mau. Anda meragukan gorengan
Mas Roni? Jangan salah. Justru inilah yang spesial dari Mas Roni, tentu plus
sambalnya. Kalau tak suka gorengan karena gengsi, Anda pun bisa memesan ayam
goreng. Akan tetapi, ingatlah bahwa yang namanya ayam goreng itu juga termasuk
gorengan.
Masakan-masakan
Mas Roni itulah yang menumbuhkan benih-benih cinta di dalam hati pelanggannya. Inilah
yang namanya cinta tanpa rupa, cinta yang derajatnya mungkin lebih tinggi
daripada cinta karena rupa. Sosok Mas Roni itu bersembunyi di balik namanya.
Meski begitu, ia senantiasa memberikan yang terbaik melalui masakan-masakannya.
Tujuannya mulia: memberi tenaga kepada mahasiswa FIB UI agar mereka dapat
berkuliah dengan lancar tanpa kelaparan. Soal bagaimana wajah Mas Roni yang
sesungguhnya tidaklah terlalu masalah, kecuali kalau Anda cari-cari masalah
sama Mas Roni.
Saking
misteriusnya Mas Roni dan didorong rasa penasaran yang tinggi, teman saya pernah
bertanya langsung ke orang yang konon adalah Mas Roni. Orang tersebut mengaku
bernama Mas Roni. Namun, rasa bahagia teman saya yang baru saja mengetahui Mas
Roni ini sirna ketika ia bertanya kepada orang yang berbeda dan orang ini juga
mengaku kalau dialah Mas Roni. Seorang lagi mengaku demikian. Sejak saat itu,
ia membiarkan dirinya terperangkap dalam cinta tanpa rupa terhadap Mas Roni.
Akhir-akhir
ini pun saya dibuat tercengang. Saya mencoba melakukan pendekatan (PDKT) ke
warung Mas Roni. Cara yang saya gunakan adalah senantiasa berlangganan makan di
sana. Selain faktor menghemat uang, ya, tentu saja, saya ingin tahu gerangan
Mas Roni. Ketika saya tanya, penjual yang diduga bernama Mas Roni itu menjawab,
“Nama saya Supri, Mas. Orang Kebumen. Aslilah.”
Saya kaget, tetapi senang. Senang karena saya berpeluang pulang kampung bersama
Mas Supri plus gorengan maknyus-nya.
Yang
jelas, cinta tanpa rupa itu ada. Mas Roni adalah wujud nyata dari ini. Mas Roni
telah mengajarkan bahwa hal yang terpenting jika kita mencintai sesuatu atau
seseorang adalah memperbanyak perlakuan kasih, kalau bisa yang diam-diam but deadly, bukan hanya pamer foto
berdua di Instagram atau serupa di foto profil Line. Pesan saya cuma satu:
kalau Anda sudah makan, jangan lupa minum. Anda dapat membeli minuman di Mas
Abun. Yang manakah Mas Abun? Nah, ini masalah lain.
Jangan-jangan kamu mas Roni? Atau saya mas Roni?
BalasHapusJangan-jangan kita semua Mas Roni?
Hapus