Wati Menunggu Ayahku Pulang: Drama dalam Drama
“Baiklah,
Pikiranku. Pada akhirnya, aku tahu sekarang aku terjebak dalam sebuah lingkaran
antara kenyataan, kesadaran, dan kebebasan. Kenyataan melahirkan kesadaran.
Kesadaran menuntut kebebasan. Dan kebebasan, harus tunduk pada kenyataan.
Biarlah aku terjebak di dalamnya. Di dalam kegelisahanku.
Pikiranku,
antarkanlah aku kembali ke dalam tidur. Karena tidur bukan kenyataan dan
kesadaran, tetapi kebebasan.”
Sepeninggal naskah itu dipentaskan, semua
menjadi kenang. Suara ketukan lampu gaib Marno memecah jeda. Lampu Wati
dimatikan dan cerita-cerita angkat kursi-meja itu selesai. Hari lalu, 15
Desember 2017, saya menjadi salah seorang yang sungguh bahagia, meskipun itu
tak tampak di wajah saya yang memang tersetel begini.
Ingatan saya merujuk pada awal semester
ini, sekitar bulan September. Seorang dosen tua bernama Mas Yoesoef masuk ke
dalam kelas memakai baju berwarna putih dan celana berwarna semihitam atau
abu-abu, tak jelas. Kala itulah saya dan bersama teman-teman kelas A mata
kuliah Pengkajian Drama Indonesia (PDI) diajar oleh seorang sutradara yang
sudah banyak menangani berbagai pementasan. Ia pula yang mendirikan Teater
Pagupon, sebuah kelompok teater yang seharusnya menjadi kebanggan mahasiswa
Program Studi Indonesia UI (Sastra Indonesia UI), yang sekarang keadaannya tak
benar-benar baik. Semoga suatu saat bersinar kembali dengan kaum mudanya. Amin.
Berbeda lahan, berbeda petani. Di kelas
sebelah, kelas B, kelas yang sempat saya pilih dan sudah disetujui oleh
pembimbing akademik saya di SIAK-NG, tetapi diharuskan kembali ke kelas asal,
berkuasalah seorang profesor bidang sastra, Bu Riris Sarumpaet. Saya telah
cukup tahu bagaimana cara ajarnya ketika saya masuk di kelas Sastra Anak. Ia sosok
ibu yang tegas, tetapi sebetulnya penyayang. Saya pilih kelas B karena semua
kakak angkatan yang saya tanyai berkata bahwa Bu Riris sangat enak dalam
mengajar drama. Kalau UAS-nya pementasan, saya mau jadi pemusiknya. Akan
tetapi, apa mau dikata, saya harus kembali ke kelas asal.
Suasana tegang itu dibawa oleh Mas
Yoesoef di kelas. Saya tak tahu pasti mengapa. Akan tetapi, harus saya akui,
materi yang diajarnya dijelaskannya dengan sangat mendetail. Saya rasa Mas
Yoesoef setengah-setengah dalam mengajar, yakni setengah mengajarkan teori
drama, setengah lagi mengajarkan filsafat.
Sebelum kelas pertama itu dimulai, Mas
Yoesoef membacakan rencana kuliah PDI semester ini. Saya cukup dapat menebak
apa yang akan diajarkannya pada awal. Pastilah pada permulaannya pembahasan
sejarah drama tak dapat dilepaskan dari perencanaan. Pada akhirnya, ia mencapai
ujung pembacaan perencanaan kemudian disebutlah bahwa UAS mata kuliah PDI
adalah pementasan drama. Ini memang tradisi. Kalau saya tak salah dengar, ini
sudah dimulai sejak tahun 2015 ketika anggota kelas PDI diisi oleh angkatan
2014 sebagian besarnya. Suatu yang cukup mengagetkan adalah soal ruangan yang
akan digunakan. Ruangan yang akan digunakan sebagai tempat pementasan adalah
Auditorium Gedung IV. Berbagai pertanyaan muncul karena memang auditorium
tersebut bukan tempat yang ideal buat pementasan drama. Itu auditorium untuk
seminar dan pengukuhan kedoktoran biasanya. Auditorium yang ideal untuk
pementasan adalah Audiotrium Gedung IX. Namun, apa yang bisa dilakukan. Rupanya
Mas Yoesoef dan Bu Riris telah menyepakati Auditorium Gedung IV. Tanggalnya pun
berubah: semula tanggal delapan kemudian berganti menjadi tanggal lima belas.
Segala tenang. Segala berjalan secara
teduh sampai menginjak pertengahan Oktober. Sayup-sayup terdengar kelas B sudah
memulai merancang persiapan pementasannya. Sementara itu, di kelas A masih
bersantai-santai. Saya terkadang mengingatkan Gani, ketua kelas A, buat segera
merancang orang-orang yang akan memegang pementasan, terutama sutradara dan
pemimpin produksi.
Barulah ketika bergelut pikiran dengan
katalog naskah klasik di ruang naskah Perpustakaan UI, Gani segera melakukan
pemilihan, mumpung sebagian besar anggota kelas A di sana. Dipilihnya pemilihan
melalui tulis-nama di kertas. Setiap pemilih mengajukan dua nama. Dari sekian
anak itu, ada tiga nama yang punya suara atas: Seto, Lumongga, dan saya. Dipilih
pula nama-nama buat pemimpin produksi. Saya agak lupa siapa-siapa yang ada di
tigas besar. Selanjutnya, dilakukan pemilihan sutradara dari tiga nama tadi dan
pemimpin produksi pula. Macam apa pula, akhirnya saya yang jadi sutradara. Saya
tak punya bekal apa-apa buat ini, ikut pementasan apa-apa pun tidak pernah. Hal
lain, pemimpin produksinya terpilih Tomi. Sama-sama tak ada dasar berdrama. Namun,
kalau sudah dipilih, itu tandanya ada kepercayaan. Saya tak mau kasih kecewa,
sebisa mungkin.
Suatu Jumat, pertengahan Oktober,
sebelum kelas PDI selesai, saya dikasih usul sama Lumongga. Naskah berjudul
“Dhemit” karya Heru K.M. Saya lihat-lihat cukup menarik, meskipun ada dalam
hati kecil saya ini penolakan karena memang tak sejalan dengan model cerita
yang saya suka. Setelah kelas selesai, saya segera maju ke depan buat bilang
soal naskah dan beberapa hal lain.
Naskah “Dhemit” itu tak saya cerna
mentah-mentah. Saya lakukan adaptasi di rumah dalam waktu semalam agar esoknya
sudah bisa dibaca anggota kelas. Sejak hari itulah, pikiran saya hampir tiap
hari tak pernah dapat dilepaskan dari pembahasan soal drama. Bagaimana tidak, saya
memang tak berpengalaman dalam hal ini. Ini pula yang mendorong saya buat
tanya-tanya ke sutradara kelas PDI tahun sebelumnya, yaitu Sisi 2015 dan Dessy
Irawan 2014. Berkat mereka, saya jadi tak keruh-keruh amat buat lihat drama ini
diapakan.
Saya bikin langkah-langkah yang kurang
tepat sebenarnya. Saya langsung menentukan tokoh dan orang-orangnya. Tokohnya
ada sembilan dan saya langsung masukkan nama-namanya berdasarkan pertimbangan
beberapa hal. Ada yang tak mau, segera saya ganti. Bidang lain pun begitu, segera
pula ditentukan dengan bantuan Tomi.
Oktober masih pertengahan. Saya
berkumpul dengan anak-anak kelas A buat membagikan naskah secara fisik.
Sebelumnya, sudah saya sebar naskah berbentuk fail nonfisik (versi PDF). Dalam
pertemuan itu, diatur pula jadwal latihan dan penanggung jawab masing-masing
divisi. Jadwal latihan disepakati Rabu pagi dan sebuah hari yang saya lupa
namanya.
Saya ingat latihan pertama itu cuma baca
naskah di Gedung I atas, depan ruang 4201 kalau tak salah. Sangat tak efektif.
Beberapa pemain tak datang karena mengurus persiapan salah satu kegiatan akbar
jurusan, Falasido XI.
Apakah latihan-latihan selanjutnya
efektif? Ternyata juga tidak. Selain mengurus Falasido, cabut-bercabut adalah
kegiatan yang sering dilakukan oleh beberapa orang. Sembilan orang pemain pun
berarti ada sembilan kepentingan yang terkadang cukup di-duh-kan saja. Belum
lagi pemusik dan bidang-bidang lain. Tia, penyanyi yang sudah punya pengalaman
berdrama, saya suruh ikut bantu saya. Kakak-kakak angkatan yang berkenan
membantu pun turut juga, terutama angkatan 2014. Saya merasa kacau sekali. Mas
Yoesoef sekali-dua kali saja bertanya soal proses. Ditimpa tugas-tugas lain
pula. Belum lagi, karena ini pementasan nantinya satu tempat dan satu waktu,
ada bagian-bagian yang harus bekerja sama antara kelas A dan B, seperti humas,
desain, dokumentasi, publikasi, dan pertiketan. Ini juga sempat kacau karena
pemahaman kelas A dan kelas B berbeda. Saya kira semester ini kepala saya bakal
jadi Dasamuka.
Ada dalam hati saya semacam rasa…
disebut apakah pantasnya saya tak tahu jelasnya. Saya lihat kelas sebelah
sungguh teratur. Dibimbing benar oleh dosennya sehingga terjadwal
keseluruhannya. Pemain pun dapatlah diandalkan karena sebagian besar sudah ada
pengalaman berdrama. Sutradaranya pun, Deiktya, sudah sering ikut drama-drama.
Akan tetapi, memang sebagus-bagus jalan aspal tetap ada lubangnya. Bagian
pemusik mereka kurang. Ada satu-dua masalah.
Kondisi tak kunjung baik. Ada-ada saja. Latihan
ke sekian, pemain tak pernah lengkap. Saya mulai ada rencana buat ganti naskah.
Baru sekadar dalam pikiran saja. Barulah pertengahan November, hari Rabu, saya
sangat ingat harinya, tetapi tidak tanggalnya, saya memberi pilihan kepada
sekalian yang hadir (sembilan orang saja dari dua puluh lima orang). Saya suruh
pilih, tetap naskah “Dhemit” atau naskah baru yang akan saya buat sendiri. Ada
orang-orang yang tegas memilih tak ganti atau ganti, sedangkan sebagian
terlihat bimbang. Saya tanya pula bagaimana progres tiap divisi. Di bawah 50%
semua, kecuali pemusik dan penyanyi. Sudah sekian minggu dan tak ada kemajuan
yang benar-benar baik.
Masih pada hari yang sama. Sebelum
pulang, saya tanyai kembali apakah ganti naskah atau tidak. Delapan orang
setuju untuk ganti naskah dengan beberapa catatan dan seorang lagi tetap
memilih “Dhemit”. Saya pun ditanya beberapa orang soal tema naskah baru jika
memang diganti nantinya. Saya sebenarnya tak sungguh-sungguh tahu naskahnya
akan seperti apa. Oleh karena itu, saya jawab dengan jawaban yang tak jelas.
Namun, sebagaimana tak semua masalah negara patut diucapkan kepada rakyatnya
dan harus ditutup-tutupi, saya hanya bilang bahwa ide sudah ada di otak saya
dan tinggal tulis saja. Untuk memperkuat kebohongan yang cerdik itu, saya
bilang itu untuk kejutan. Hehe.
Mereka pun saya persilakan pulang. Tepat sebelum pulang, saya semacam mendapat
sedikit pencerahan. Saya mendapat bisikan di hati kalau pemainnya nanti ada
dua, yaitu seorang perempuan dan seorang laki-laki. Sesudah bubar, saya masih
menahan dua orang laki-laki. Setelah menanyakan beberapa hal kepada dua orang
ini, saya memilih Aga.
Saya lekas-lekas menghubungi Tia. Saya
ingin bertemu langsung buat bicara langsung, tetapi dia sedang persiapan lomba
UI Art War cabang solois mewakili FIB yang beberapa hari kemudian keluar
pengumuman bahwa dia mendapat juara ketiga. Saya hubungi lewat Line. Saya hanya
bilang bahwa tokoh dalam naskah baru bukan lagi soal setan-setan. Tia mau.
Pemain aman.
Naskah apa yang akan saya sajikan? Saya
berpikir keras selama perjalanan pulang di atas sepeda motor yang saya
kendarai. Entah bagaimana, tetapi beginilah. Tema yang terlintas dalam pikiran
saya adalah soal kebebasan perempuan. Kebetulan saya memang habis membaca novel
Saman karya Ayu Utami. Selain itu,
dalam kepala saya, terlintas pula soal hukum pernikahan agama tertentu, tubuh
perempuan, dan sebagainya. Saya juga memasukkan suatu yang berasal dari
keposesifan saya terhadap perempuan yang saya suka dalam artian ketakrelaan
saya untuk si perempuan ini disentuh orang lain, tetapi bertabrakan dengan
kebebasannya. Bukankah memang sudah haknya untuk memberikan tubuhnya untuk
siapa saja yang ia hendaki? Pikiran-pikiran itu bercampur dalam kepala. Saya
sedikit demi sedikit menyusun jalan cerita.
Tibalah saya di rumah, rumah saudara
yang saya tinggali lebih tepatnya. Saya segera menghubungi lewat pesan Line
kepada setiap anggota kelas A soal rencana penggantian naskah, alasannya, serta
dampai baik-buruknya. Sebagian besar menjawab setuju dengan penggantian naskah
asal saya dapat menanggungjawabkannya. Saya tunggu sampai pukul delapan malam
lebih sekian. Akhirnya, keputusan ganti naskah itu bulat. Saya minta semua buat
menunggu. Saya mulai menulis naskah itu pukul sepuluh malam lebih sekian. Susah
juga ternyata menulis naskah, apalagi saya masih meraba-raba apa yang akan saya
tulis. Beberapa kali waktu saya sempatkan untuk tidur. Naskah akhirnya selesai
pada pukul lima pagi lebih sekian, hari Kamis. Saya tak meninjau ulang naskah
itu. Saya segera bagikan kepada yang lain melalui grup-obrolan di Line. Sebelum
itu, saya sempat bingung menentukan judul naskah. Saya cari satu kata yang
sesuai. Sekitar tiga puluh menit saya tak mendapat. Akhirnya, saya beri saja
judul “Wati” yang artinya perempuan. Selain judul, tokoh gaib Marno pada
awalnya saya beri nama Yusuf. Jadi, ucapan awal naskah seharusnya “Yusuf, Yusuf”,
bukan “Marno, Marno”. Hehe. Saya
ganti menjadi Marno saja agar saya bisa lulus kuliah tepat waktu.
Saya baru bilang soal pergantian naskah
ini kepada Mas Yoesoef pada hari Jumat. Saya sampaikan apa saja alasan saya
mengganti naskah yang akan dipentaskan. Tentu saja, alasan utama saya adalah kesulitan
mengumpulkan sembilan orang pemain yang punya kepentingan sendiri-sendiri, tak
pernah hadir secara lengkap. Juga soal divisi-divisi lain yang progresnya tak
berprogres. Keadaan seperti itu menurut saya akan menghambat progres pementasan
ini sekaligus hasilnya. Mas Yoesoef tetap bergeming dari “Dhemit”, tetapi di
ujungnya beliau berkata bahwa keputusan dikembalikan lagi kepada kelas.
Saya memang idealis, tetapi dalam hal
ini saya menjadi realis. Realis untuk keadaan, tetapi tetap idealis untuk
hasil. Saya tetap putuskan untuk ganti naskah dengan harapan hasilnya lebih
realistis. Membingungkan, bukan?
Saya rasa semesta mendukung keputusan
saya ini. Progres setiap bidang berjalan sesuai lini masa. Pemain dan pemusik
semakin mudah saya atur. Saya pun lebih menikmatinya karena ini naskah sendiri.
Memanglah begitu, saya tak pernah puas untuk menampilkan sesuatu yang bukan
dari diri saya sendiri, meskipun sebagus-bagusnya jika ditampilkan. Kiranya ini
juga dalam rangka menghargai otak sendiri. Otak yang diberi kemampuan untuk
melakukan sesuatu akan mubazir jika tidak dimanfaatkan sebagaimana negara yang
punya sumber daya alam dan manusia melimpah akan mubazir jika tidak
diberdayakan.
Permasalahan-permasalahan yang terjadi tidak
terlalu gawat setelah ganti naskah. Paling-paling hanya masalah persiapan di
bidang properti yang harus agak ditekan. Selain itu, perbedaan pemahaman antara
kelas A dan B semakin bisa diatasi. Biasanya saya agak panas dengan Gani soal
desain, tetapi justru itu yang seru. Pernah suatu kali kami meributkan apakah
akan menggunakan “mempertontonkan” atau “mempersembahkan” di poster. Saya
bilang buat pakai “membebaskan” agar beda dan mendukung tema. Saya dan Gani
hampir tidak berbalas pesan selama sehari sampai akhirnya Gani bilang,
“Membebaskan fix?” Jadilah kemudian
di poster utama kami, tertulis “membebaskan” di bawah tulisan Pengkajian Drama
Indonesia Kelas A.
Beberapa kali saya sengaja melihat kelas
B berlatih. Saya ingin tahu bagaimana Deiktya mengatur para pemainnya. Memanglah
berbeda antara yang bukan ada jiwa sutradara dan yang memang sutradara. Namun,
tak sampai dalam saya membeda-bedakan. Justru saya berpikir bahwa ini adalah
sebuah proses dan pengalaman baru. Seusai drama selesai, saya memastikan akan
ada sesuatu yang saya dapat, apa pun.
Dua minggu terakhir. Kelas A dan B berencana
berlatih bersama. Saya berterima kasih untuk kelas B yang mau berbagi ruangan
sehingga bisa dilaksanakan latihan bersama. Latihan bersama yang pertama
membuat saya senang, terutama bagian musik.
Saya akan cerita sedikit soal tempat
latihan. Memanglah di FIB ini sangat kurang tempat yang sesuai untuk berlatih
drama atau kegiatan yang diisi banyak orang. Ada ruang 9204 yang cukup bagus
untuk berlatih drama, tetapi sudah ada pemakai-pemakai-tetapnya. Kelas terbuka
(klaster) memang tempat luar ruang yang bagus untuk berlatih, tetapi rawan
terkena hujan dan nyamuk-nyamuk. Juga depan 1203 hanya bisa digunakan jika
tidak ada kelas. Itu pun tempatnya sempit. Pelataran sama seperti klaster. Mau
tidak mau memang harus meminjam ruang kelas. Ruang kelas bisa digunakan jika
tidak ada yang menggunakan atau selepas pukul lima sore. Teater daun? Sangat
cocok digunakan jika tidak hujan atau berebutan. Kelas A dan B berganti-ganti
tempat latihan, tak tentu. Oleh karena itu, orang-orang atas di fakultas ini
sudah saatnya membuat tempat yang layak untuk kegiatan semacam ini. Bisalah
dibangun selasar yang luas.
Menginjak minggu terakhir, suasana latihan
kelas A semakin baik. Properti semakin lengkap, iuran dilunasi, poster digital
berjalan lancar, dan sebagainya. Saat ini pulalah tiba-tiba saya diajak menjadi
salah satu pemusik kelas B. Rupanya memang kelas B kekurangan pemusik, sangat
kurang. Saya diminta Deiktya buat mengisi. Ia bilang, Bu Riris pun membolehkan
karena keadaannya memang begitu. Oleh karena itu, seminggu terakhir saya berada
di latihan dua kelas.
Saya kira awalnya minggu terakhir adalah
minggu yang paling menegangkan. Ternyata justru minggu terakhir inilah yang
paling banyak memuat kabar bahagia. Salah satunya adalah tiket. Beberapa dari
kami memang sempat pesimis soal penonton. Pementasan Jumat pagi dan kami tahu
Jumat pagi adalah waktu paling sepi di FIB. Namun, kepesimisan itu akhirnya
ditampar dengan penjualan tiket yang lumayan. Hari pertama, stan tiket dibuka
mulai pukul empat sore sampai lima lebih sekian sudah ada sekitar lima belas
orang pembeli. Hari kedua mengalami peningkatan. Begitu pula hari-hari
selanjutnya.
Dua hari sebelum pementasan, tanggal
tiga belas, kami semua bergeladi kotor di Auditorium Gedung IV. Mula-mula kelas
B dahulu. Setelah itu, disusul kelas A. Selain urusan panggung dan propertinya,
persiapan pengeras suara juga dicek. Saya sempat meminta bantuan Aruna angkatan
2013 buat jaga-jaga kalau perlu alat tambahan, tetapi tidak jadi.
Saya jadi teringat soal pencahayaan.
Pencahayaan adalah salah satu unsur penting dalam pementasan. Namun, melihat
keadaan ruangan dan keuangan yang tidak memungkinkan, terpaksa kami tidak
menggunakan pencahayaan tambahan. Cukuplah mengakali lampu dalam auditorium. Misalnya,
seusai adegan Wati tidur dan suara ketukan gaib Marno, lampu dimatikan. Lampu
yang dimatikan memang lampu yang sudah permanen ada di panggung sehingga seseorang
harus mematikannya tepat di bagian samping panggung auditorium. Selain itu, terdapat
kaca lebar yang tidak berpenutup di samping kiri auditorium sehingga kami harus
menutupnya menggunakan spanduk lebar untuk agar cahaya dari luar
tidak masuk.
Tanggal empat belas. Satu hari sebelum
pementasan, kami bergeladi bersih. Sebenarnya, kurang tepat jika disebut
sebagai geladi bersih karena hanya mirip geladi kotor, tetapi lebih ringkas
secara waktu dan lebih lengkap secara properti. Permasalahan teknis hari
pementasan baru dibicarakan bersama seusai kelas Kebudayaan Indonesia sekitar
pukul empat sore di pelataran. Kabar baik hari itu adalah tiket yang sudah
terjual mencapai delapan puluh delapan tiket. Itu sangat jauh dari perkiraan
kami yang hanya menargetkan lima puluh tiket sampai hari pementasan. Selain itu,
delapan puluh delapan itu berarti sudah mendekati kapasitas tempat duduk
auditorium yang berjumlah sekitar seratus kursi.
Hari sakral itu pun tiba. 15 Desember
2017. Wildan, salah satu pemain kelas B, menginap bersama saya di rumah saudara
saya agar ia bisa berangkat pagi. Syukurlah, ia memang benar berangkat pagi,
pukul lima. Barangkali Wildan tak pernah sepagi itu. Saya baru berangkat pukul
enam.
Pukul tujuh. Orang-orang masih
disibukkan dengan pemasangan layar belakang dan spanduk. Saya kira acara bakal dimulai
tidak sesuai jadwal. Namun, ternyata sebelum pukul delapan semua sudah siap.
Pukul delapan lebih lima Mas Yoesoef datang. Lima menit kemudian Bu Riris
datang. Kabar awalnya, Bu Riris akan telat karena baru mendarat di bandara.
Entah bandara Halim P.K. atau Soekarno-Hatta, tetapi beliau hanya terlambat
sepuluh menit.
Pementasan pertama dari kelas B. “Ayahku
Pulang” karya Usmar Ismail. Naskah realisme ini dibawakan dengan sangat baik oleh
Rendi sebagai Raden Saleh, Andhika sebagai Gunarto, Agnes sebagai Ibu, Wildan
sebagai Maimun, dan Mira sebagai Mintarsih. Aura hari pementasan memang
berbeda. Mereka berlima menampilkan lebih baik daripada ketika latihan rutin
atau pun geladi kotor dan bersih. Sayalah yang sempat lupa beberapa bagian. Akan
tetapi, penonton tidak tahu, bukan? Hehe.
Saya selalu suka bagian akhir dari naskah ini. Mereka berlima sangat menjiwai.
Saya pun semakin terbawa emosi ketika bagian reff lagu akhir.
Properti kelas B keluar. Properti kelas
A masuk. Lampu sengaja dipadamkan selama pergantian properti.
Pementasan kedua dari kelas A. Saya tak
dapat menjelaskan bagaimana rasanya. Saya memilih duduk paling belakang
ditemani Deiktya. Sama seperti kelas B, penampilan di hari pementasan jauh
lebih baik daripada sewaktu latihan. Tia dapat membawakan monolog panjang yang
sebenarnya sangat rumit dan berbelit-belit dengan hampir tak ada satu pun kata
yang hilang dari naskah dan Tia mampu mengeluarkan ekspresi yang tepat. Sementara
itu, Aga terlihat lebih santai ketika pementasan. Naskah Wati yang tersusun
atas monolog Wati, monolog Pikiran Wati, dan dialog Wati-Pikiran Wati dapat
dibawakan secara pas. Musik jauh lebih rapi daripada sewaktu latihan. Saya
berterima kasih kepada Thufail yang secara ikhlas, profesional, dan mantap
membantu adegan mati lampu di bagian akhir. Apalah arti “Wati” tanpa Thufail.
Setelah pementasan, diputar
video-belakang-layar (behind the scene).
Dalam video itu, ada bagian ketika Bu Riris menangis. Saya jadi merinding.
Pementasan selesai. Berfoto pun tak
dapat dihindarkan. Setelah berfoto bersama, Mas Yoesoef dan Bu Riris
menyampaikan kesan dan pesannya. Ada dua hal yang membuat saya sangat senang. Pertama, Bu Riris menonton
pementasan sampai selesai. Awalnya, terdengar kabar bahwa Bu Riris tidak bisa
menonton pementasan sampai selesai karena beliau harus ke suatu tempat. Oleh
karena itu, pementasan pertama dari kelas B. Kedua, Mas Yoesoef terlihat lega dan bahagia. Saran saya, semoga
Mas Yoesoef melakukan saran dari Bu Riris soal nilai saya yang bakal dikasih “A”
itu. Hehe.
Acara selanjutnya kembali berfoto. Berfoto-foto.
Semua berfoto-foto. Terima kasih kepada kakak-kakak angkatan 2014 atas camilan
yang asyik itu.
Auditorium Gedung IV kembali
dibersihkan. Tempat itu akan jadi kenangan. Saya berterima kasih kepada Pak
Yari dan kawan-kawannya yang telah membantu segala persiapan di auditorium.
Sehat selalu, Pak dan Mas.
Setelah salat jumat, kami berkumpul di
pelataran untuk berapresiasi. Ada pembacaan kesan dan pesan dari penonton.
Semua tanggapannya positif. Saya sebenarnya mengharapkan ada satu-dua tulisan
yang membahas secara detail. Namun, memang sulit menuliskan kedetailan di
kertas sekecil itu. Setelah itu, ada laporan dari divisi pertiketan. Tiket yang
terjual bertotal seratus delapan tiket dengan keuntungan sekian. Saya dan
mungkin teman-teman yang lain tak menyangka.
Sebelum menutup tulisan tentang
pementasan tanggal lima belas lalu ini, saya ingin mengucapkan terima kasih
kepada Mas Yoesoef yang telah memberi tugas yang berfaedah ini; Tomi sebagai
pemimpin produksi yang sangat andal; Tia dan Aga yang sudah bersedia secara
ikhlas, sadar, dan pasrah menghidupkan naskah ecek-ecek ini; Gani, Seto, dan
Latifah yang sukses membuat lagu, terutama lagu penutup, yang bisa dibuat
bergoyang; Gin, Nurul, Dheka, Rifqi, Thufail, dan Ani yang sudah membuat
panggung menjadi hidup untuk dihidupkan; Cellica, Aliyah, Asya, Arum, dan Ainul
yang bisa membuat para pemain berpakaian; Azmi dan Lumongga yang sudah berias
ria di belakang panggung dengan kontur-konturnya; Indah, Dyah, Nailah, Alia,
Gani, Seto, dan Aga yang sudah bermedsos ria, mendesain sampai laptop ngehang, membuat video-belakang-layar
yang bernuansa jadul, dan mempromosikan dan menjual tiket dengan sangat mantap;
Asya dan Fiona yang sudah berbaik hati memanfaatkan uang untuk ayam bakar dan
roti paling enak; dan Dyah yang sudah mengatur siklus perduitan dengan sangat
teliti.
Saya pun mengucapkan terima kasih kepada
Fira dan Deiktya yang telah mengajak saya sehingga saya berkesempatan
mewujudkan cita-cita awal saya di kelas B hehe.
Juga tak lupa kepada teman-teman kelas B lainnya yang sangat bergumul ria
dengan Bu Riris. Terima kasih pula kepada penjaga gedung IX, penjaga gedung IV,
pedagang Kansas, IKSI UI, Teater Pagupon, BEM FIB UI, petugas subak, dan IKSI
segala angkatan yang telah berkenan menghadiri pementasan ini.
Kiranya sekian. Saya tak dapat menulis
ini secara detail karena pasti akan sangat panjang hingga bisa digunakan
sebagai skripsi. Saya akhirnya pun sadar, kisah-kisah seperti ini pada akhirnya
akan disebut-sebut tanpa kita lihat lagi wujudnya. Kita akan hanya
merasakannya. Pesan saya hanya dua. Pertama,
semoga IKSI 2016 dapat menjalankan kepengurusannya dengan baik pada tahun
depan. Kedua, jangan lupa mengerjakan
dan mengumpulkan makalah Pengkajian Naskah Klasik, Morfologi, KBI 1, Sastra
Wayang, dan Sastra Anak. Terima kasih.
*Ikuti @iksi2016 dan @iksi_ui di
Instagram
Plot
twist: Nama lain Raden Saleh adalah Marno.
Komentar
Posting Komentar