Membaca Secuil Goenawan Mohamad


Selasa lalu (22/5), seusai kuliah Perkembangan Sastra Indonesia, saya iseng datang ke Perpustakaan Pusat UI—karena fakultas saya tidak punya perpustakaan sendiri—untuk mencari bacaan yang sekiranya enak dibaca. Karena akhir-akhir ini tertarik dengan ekonomi, saya mencari buku Adam Smith, The Wealth of Nations. Tersedia di katalog daring tidak selalu berarti tersedia di rak. Buku tersebut tidak ada di sana*. Saya pun kembali ke katalog daring. Saya mencari buku lain, buku Goenawan Mohamad. Dalam daftar yang muncul, tampak judul Potret Seorang Penjair Muda sebagai si Malin Kundang. Saya segera ke rak nomor 899.22.

Potret Seorang Penjair Muda sebagai si Malin Kundang ternyata buku yang cukup tipis, tidak sampai seratus halaman. Saya mendapatkan cetakan Pustaka Jaya bertahun 1972. Dalam buku ini, Goenawan Mohamad (GM) menggunakan tulisan model Ejaan Soewandi. Oh, ya, dalam tulisan ini, saya akan mengutip beberapa pernyataan GM yang ada di buku tersebut. Agar menyesuaikan, kutipan-kutipan itu nanti akan saya ubah ke ejaan yang berlaku sekarang, tetapi tidak mengurangkan atau melebihkan kata-katanya.

Buku tersebut berisi esai-esai GM yang ditulis sekitar tahun ’60-an. Beberapa esai berbentuk autobiografi—menggunakan sudut pandang orang ketiga, kecuali bagian pertemuannya dengan Pramoedya Ananta Toer—dan beberapa lainnya berisi pendapat-pendapatnya, khususnya tentang sastra. Seharusnya buku ini dapat dijadikan salah satu buku acuan perkuliahan sastra Indonesia. Meskipun tidak terlalu fokus dengan sastra, buku ini memuat pandangan-pandangan yang penting.

Setelah masa sastra individualis pada sekitar tahun 1945 yang ditokohi oleh Chairil Anwar, 1950-an dan setelahnya—sampai beberapa masa—corak sastra mulai berubah. Keyakinan bahwa sastra tidak dapat dilepaskan dari masyarakat membuat realisme-sosialis menjadi tema “luhur” yang menjadi acuan tetap. Itulah yang dikritik oleh GM. Ia berpendapat bahwa sastra tidak akan segar dengan cara seperti itu. Tema-tema baru justru muncul ketika ada kebebasan individu untuk menyatakan pikirannya.

“Salah satu kebebasan pertama seorang pencipta adalah kebebasannya dari sikap kolektif yang mengikat diri, dan bahaya orang yang terlalu memperhatikan “rumus-rumus” umum yang dikenakan di atas kesadaran keseorangannya ialah terbentuknya diri dalam lindungan kolektivisme. Hasilnya nanti tidak akan lebih dari hasil tukang proyeksi “suara umum” dan penyodoran kemutlakan ajaran” (hlm. 23).

Sebenarnya, apa yang dimaksud “kolektivisme” oleh GM? Bukankah ujung-ujungnya sastra ditulis oleh individu yang mempunyai sudut pandang sendiri, meskipun temanya serupa? Namun, berdasarkan pernyataan di atas, GM mengesankan agar pelaku sastra tidak terjebak dalam tema besar realisme-sosialis untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Tema-tema liar, seperti absurdisme dan surealisme, perlu mendapat kedudukan dan perlakuan yang sama. Lebih gampangnya, GM menginginkan sastra selalu melahirkan yang terbaru.

Tahun 1950-an juga muncul kredo bahwa puisi yang bagus adalah puisi yang sulit. Semakin sulit bahasa yang digunakan, semakin bagus kualitas kepuisiannya. Kredo tersebut mewujud sebagai karya-karya yang dimuat dalam majalah Kisah, Seni, Budaya, dan lain-lain. Apakah sejak masa itu puisi seolah-olah menjadi jauh dari konsumsi publik dan hanya menjadi konsumsi sesama sastrawan, menjadi barang yang dianggap terlalu mewah dan tidak terjangkau?

Kenyataannya, kredo tersebut tampak tidak lagi berlaku pada zaman sekarang. Zaman media sosial membuat puisi menjadi dekat dengan menggunakan bahasa yang mudah dimengerti atau bahkan terlalu mudah. Namun, dengan bahasa yang mudah, apakah tingkat kualitas puisi juga menjadi dangkal? Bahasa dengan tingkat kesulitan tertentu menandakan bahwa pembuatannya tidak main-main. Memilih diksi pun harus dipikir berulang kali agar langsung mengena ke hati pembaca dan memungkinkan menghasilkan banyak tafsiran. Akan tetapi, apakah selalu begitu?

GM tidak hanya mengemukakan pendapat tentang sastra. Ia juga menyinggung masalah kehampaan yang dihadirkan modernitas. Produk abad ke-20 itu telah menjadi pintu gerbang menuju keterasingan manusia. Untuk hal itu, ia menulis suatu peringatan tentang Rabindranath Tagore dalam bab “Mengingat Tagore”. Kreativitas, kebebasan, spontanitas: itulah hal-hal berharga yang bagi Tagore semakin hilang di abad ini (Mohamad, 1972: 51). GM mengutip perumpamaan Tagore, yaitu manusia meninggalkan sarangnya kemudian masuk ke dalam sangkar. Tagore, dalam tulisan GM, menyatakan bahwa sarang itu sederhana, memiliki hubungan yang mudah dengan langit, sedangkan sangkar itu kompleks dan mahal, menyisihkan apa yang ada di luarnya.

Perumpaan dari Tagore tersebut sepertinya tidak hanya berlaku dalam urusan eksistensialisme manusia, tetapi juga politik. Manusia zaman sekarang berada dalam kendali birokrasi yang rumit dan bertele-tele, padahal seharusnya tidak sekompleks atau seformal itu. Politik birokratif adalah buah dari modernitas dan keterasingan serta jarak turut diciptakan. Saya jadi teringat lagu ‘Di Atas Meja” dari Payung Teduh. Salah satu liriknya berkata “tak bisa lagi bercerita apa adanya”. Kealamian semakin pudar kemudian hilang.

Tidak hanya politik, keterasingan juga terasa dalam hal agama, lebih spesifiknya kitab suci. GM menyayangkan pemaknaan isi kitab suci yang terlalu di permukaan. Dengan cara seperti itu, kitab suci menjadi tidak lebih dari sekadar ancaman-ancaman yang menakutkan. Padahal, jika diselisik sedikit lebih dalam, kitab suci dapat menjadi isi bagi kekosongan kehidupan manusia. Sudahlah terasing dari alam dan manusia, kini terasing dari Tuhan pula. Terlalu sering kita diminta untuk takut kepada-Nya hingga terlalu sering pula kita lupa bahwa kita pun sebenarnya bisa tertarik dan mencintai-Nya (Mohamad, 1972: 62—63).

Saya tidak dapat menghindarkan pikiran saya dari orang-orang fanatik agama, orang-orang yang justru mengotori kulit agama, ketika membaca tulisan GM sebagaimana dalam kutipan di atas. Setidaknya, jika tidak bisa menjadi manusia yang baik, tidak perlu membawa-bawa nama Tuhan untuk melakukan hal yang tidak baik. Taruhannya adalah agama dan seisinya yang dibawa, serta orang-orang yang tidak seharusnya terkait, juga keterasingan sebagai dampak lanjutnya. Mungkin agama yang datang secara asing dan dinubuatkan hilang secara asing pula itu tidak benar-benar menghilangkan diri, tetapi diasingkan oleh orang-orang yang berjalan terlalu jauh dari dasarnya dan menegakkan fanatik buta.

Hal yang bisa kita pelajari dari buku itu tidak setipis kelihatannya. GM juga menceritakan akibat dari gaung “revolusi” yang selalu digelorakan Sukarno, juga secuil tentang Manifes Kebudayaan. Kritiknya atas kritik sastra pun ada. Selain itu, seperti yang sempat sedikit saya singgung dalam paragraf ketiga, GM berbagi kisah pertemuannya dengan Pramoedya Ananta Toer di Pulau Buru. Sebagai wartawan muda, ia masih malu untuk menanyakan sesuatu dan akhirnya nekat bertanya. Menggemaskan sekaligus menampar.


*Buku The Wealth of Nations ternyata ada di ruang rujukan, lantai IV.
 

Komentar