Anjing
Sumber gambar: https://pixers.pl/ |
Kita—anjing diburu—hanya melihat sebagian dari
sandiwara sekarang
—Chairil Anwar, “Catetan Th.
1946”
Sandiwara
apakah yang dimaksud oleh Chairil? Apakah sama maksudnya dengan kata “sandiwara”
yang dimaksud oleh grup musik God Bless? Setiap orang memiliki tafsirannya
masing-masing dan tulisan ini tidak akan membahas sandiwara. Hidup sudah sesak
dengan sandiwara.
Mari
kembali ke penggalan puisi Chairil di atas. Kita telah disepakatinya sebagai “anjing
diburu” atau cukup saja disebut “anjing”. Karena kata tersebut telah
mendapatkan konotasi negatif secara umum—terutama dalam bahasa Indonesia, marilah
pula kita lupakan sejenak—atau selamanya—konotasi tersebut.
Setiap
mendengar atau membaca kata “anjing”, saya teringat satu-satunya bagian cerita
dan tokoh yang saya suka dalam kisah Mahabharata, salah satu epos terkenal dalam
dunia pewayangan. Bukanlah ketika Drupadi yang hampir ditelanjangi di depan
khalayak, bukan pula ketika terjadi perang Bharatayudha. Bukanlah Bima, Sadewa,
Nakula, Arjuna; bukan pula Duryudana. Mungkin bagian dan tokoh ini tidak
terlalu diperhatikan, tetapi saya merasa suatu yang sangat dalam ketika membacanya,
yaitu anjing yang menemani Yudhistira menuju puncak Himalaya, perjalanan menuju
surga.
Barangkali
tidak ada makhluk di muka Bumi ini yang lebih bahagia dari anjing itu. Betapa
tidak, ia diciptakan hanya untuk menemani. Tidak ada yang tahu persis bagaimana
dan kapan ia dilahirkan, tetapi semua pembaca Mahabharata tahu bahwa ia
diciptakan hanya untuk mendampingi dalam waktu yang tidak panjang, terlepas
dari fungsinya sebagai ujian bagi Yudhistira yang akan naik ke surga. Cerita
penuh kasih antara anjing dan Yudhistira masih berlanjut sampai keinginan
Yudhistira untuk membawa anjing itu bersamanya ke surga, meskipun Dewa melarang
dan pada akhirnya anjing itu tidak dapat dibawa.
Omong-omong,
selain karena tujuan penciptaan si anjing, saya menyukai adegan dan tokoh itu
karena tidak ada spesifikasi anjing yang dimaksud. Hal yang menimbulkan multitafsir
selalu menarik untuk diburu dan dikupas maknanya. Begitu puitisnya sehingga
pembaca dibiarkan memiliki jalan pikiran masing-masing. Bukankah indah,
menunjukkan arti tanpa mendikte arti, seperti mengajari pesan moral tanpa
menyatakan pesan moral “jangan begini-jangan begitu”? Biarlah menjadi keyakinan
penghayatnya.
Pertanyaannya,
kembali kepada peranjingan, apakah anjing memang diciptakan untuk menemani
manusia? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, diperlukan bukti lagi. Apakah
hubungan anjing dengan manusia adalah sebuah kebetulan atau sebuah takdir abadi?
Tidak
hanya Mahabharata, Zhang Xianliang—sastrawan Tiongkok yang lahir di Nanjing
pada 1936—telah menggambarkan kesetiaan anjing terhadap manusia. Lebih tepatnya
adalah hubungan kesetiaan keduanya. Hubungan tersebut ditulisnya dalam cerita
pendek berjudul “Xinglaohan he Gou de
Gushi” atau “Kisah Lelaki Tua dan Seekor Anjing “ dalam bahasa Indonesia-nya.
Xing
Tua bertemu secara tidak sengaja dengan seekor anjing dalam perjalanan
mengangkut pasir ke kota selama tiga hari. Ketika kembali ke desa, ia mendapat
kabar bahwa istri keduanya telah pergi. Ia mencari sampai ke kota, tetapi tidak
ditemukannya. Ia pun kembali ke desa dan mendapati si anjing telah menunggu di
depan pintu rumahnya. Xing Tua memelihara si anjing. Ia pergi bersama anjing
itu ke mana pun.
Suatu
hari muncul pengumuman bahwa semua anjing harus disingkirkan dalam waktu tiga
hari. Xing Tua mencari cara agar anjingnya tetap selamat. Namun, ia tidak
berhasil. Karena tidak tega membunuh anjingnya, Xing Tua melepaskan anjingnya
ke luar rumah. Anjing itu pun mati ditembak seseorang. Xing Tua, beberapa waktu
kemudian, meninggal.
Meskipun
merupakan karya sastra yang bersifat fiksi, Mahabharata dan “Kisah Lelaki Tua
dan Seekor Anjing” dibentuk dari kisah nyata, paling tidak sebagian ceritanya.
Adanya kesamaan cerita hubungan anjing dengan manusia yang berasal dari masa
pembuatan karya yang berbeda menunjukkan bahwa cerita hubungan kedua makhluk
tersebut tidak mungkin sepenuhnya khayalan dan menunjukkan bahwa hubungan itu tidak
berada pada satu masa saja. Ada kenyataan abadi di baliknya.
Hal
yang menarik adalah anjing selalu menemani manusia, setidaknya dalam dua cerita
di atas. Saya tidak menemukan tujuan lain tokoh anjing, selain menemani.
Mungkin itu bukan kebetulan dan itu sebuah takdir. Lalu, jika anjing bertujuan
menemani manusia dan kita adalah “anjing diburu”—seperti yang dikatakan Chairil,
bukankah kita seharusnya menemani diri kita sendiri—dalam sebuah sandiwara?
Mantap lurr :')
BalasHapus