Pengadilan Tugas
Sumber gambar: https://www.afternoonvoice.com |
Di
Payung Kantin Humaniora yang teduh, menghadap danau, sore ini, saya berencana
untuk mengerjakan tugas ujian akhir semester, tugas terakhir semester ini. Mari
kita beri tepuk tangan untuk mata kuliah Perkembangan Sastra Indonesia.
Sebenarnya tugas ini cukup mudah karena hanya membuat esai tinjauan mengenai
salah satu topik yang pernah dipresentasikan oleh teman-teman saya di kelas.
Entah mendapat ilham dari mana, saya ingin meninjau “Pengadilan Puisi”.
Sungguh
agak anu bahwa saya baru mengetahui ada Pengadilan Puisi dalam perjalanan
sastra Indonesia pada semester keempat ini. Bahkan, ketika duduk di jurusan Bahasa
selama dua tahun saat SMA, meskipun ada mata pelajaran Sastra Indonesia, topik
atau peristiwa tersebut tidak pernah dibahas dalam kegiatan belajar-mengajar. Jangankan
dibahas, tahu ada nama “Pengadilan Puisi” pun tidak.
Apakah
Pengadilan Puisi itu? Pengadilan Puisi adalah sebuah acara yang diadakan di Aula
Universitas Parahyangan, Bandung, pada 8 September 1974. Sebagaimana namanya,
acara tersebut berisi kegiatan mengadili puisi. Ya, bukan orang, melainkan
puisi sebagai terdakwa! Lebih tepatnya adalah puisi Indonesia mutakhir. Anehnya,
yang terkena getah justru sastrawannya.
Sebagai
jaksa, Slamet Kirnanto membacakan tuntutannya yang berjudul “Saya Mendakwa
Kehidupan Puisi Indonesia Akhir-Akhir Ini Tidak Sehat, Tidak Jelas dan Brengsek!”
Hal-hal yang dituntut adalah pemensiunan para kritikus, seperti H.B. Jassin dan
M.S. Hutagalung, karena tidak bisa mengikuti perkembangan kehidupan puisi
mutakhir; pencutibesaran editor majalah sastra, khususnya Horison (Sapardi Djoko Damono); hukuman pembuangan bagi para
penyair mapan, seperti Subagio Sastrowardoyo, W.S. Rendra, dan Goenawan Mohamad;
dan pencabutan SIT serta penonberlakuan terbitan Horison dan Budaya Jaya.
Betapa seriusnya kehidupan perpuisian Indonesia saat itu.
Apakah
benar-benar serius? Sebenarnya tidak. Itu semua untuk lucu-lucuan saja.
Lucu-lucuan yang serius. Pengadilan Puisi lahir karena kejenuhan kegiatan
perpuisian di Indonesia. Acara tersebut sengaja diadakan untuk memberi angin
segar agar kehidupan puisi Indonesia kembali wajar. Bayangkan saja diri kita ketika jenuh. Pasti butuh senda gurau agar pikiran
yang suntuk kembali lancar dan segar.
Rasanya
akan menarik bila pada pertengahan perkuliahan semester depan diadakan acara semacam itu. Judulnya
“Pengadilan Tugas”. Alasannya, ya, sama: sebagai angin segar. Tidak perlu
cakupan luas; cukup di lingkungan Sastra Indonesia UI saja. Saya akan
mengajukan tuntutan yang berjudul “Saya Mendakwa Kehidupan Kuliah Sastra
Indonesia Akhir-Akhir Ini Tidak Sehat, Tidak Jelas, dan hehe”. Mungkin akan begini isi tuntutan yang saya ajukan.
1. Kritikus sastra dan dosen-dosen yang
tidak mampu mengikuti perkembangan sastra, khususnya Maman S. Mahayana dan Sunu
Wasono, harus dipensiunkan;
2. Pemimpin Umum majalah Gaung, Kawkab Barralimara, harus
dicutibesarkan karena tidak memuat esai sastra dalam buletin;
3. Para pemuisi dan pemusikalisasi puisi
mapan, khususnya Ibnu Wahyudi dan M. Umar Muslim, serta epigon-epigonnya,
dikenakan hukum pembuangan;
4. Gaung
harus dicabut SIT-nya.
Lha, tapi kok tidak
nyambung, ya? Namanya “Pengadilan
Tugas” berarti harus memberi “getah” kepada dosen-dosen yang memberi tugas.
Baiklah, saya revisi menjadi demikian.
1. Dosen-dosen yang hanya memberi tugas,
melakukan metode baca-ringkas-presentasi, tanpa mementingkan apakah materinya
dapat “ditangkap” oleh mahasiswanya, sebaiknya dinonaktifkan. Sebut nama
tidak, ya? Hehe.
2. Dosen-dosen yang tidak pernah
memberikan tugas—selain UTS dan UAS—; memberikan tugas, tetapi enak; atau cara
mengajarnya enak, seperti Untung Yuwono, Edwina Satmoko Tanojo, dan Dewaki
Kramadibrata, harus ditambah masa kerjanya.
3. Anda mau menambahkan?
Saya
membayangkan acara tersebut dilaksanakan di Auditorium Gedung X pada pertengahan semester depan. Ruangan itu
dipenuhi pengajar dan mahasiswa Sastra Indonesia UI. Tentu ada pula yang absen
karena alasan kesehatan dan—yang paling klise—acara keluarga.
Tidak
berhenti di situ. Pengadilan Puisi melahirkan acara balasan yang bernama “Jawaban Atas
Pengadilan Puisi”. Acara antitesis tersebut diselenggarakan oleh Senat
Mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Indonesia di Teater Fakultas Sastra
Universitas Indonesia, Jakarta, pada 21 September 1974. Oleh karena itu, jika
bisa, Pengadilan Tugas harus melahirkan acara balasan berjudul "Jawaban Atas
Pengadilan Tugas". Saya yakin acara tersebut akan seru dan berpotensi menjadi berita utama di Kompas dan Tempo, serta—tentu saja—Gaung.
Cukup
menarik, bukan? Namun, bagaimanapun menariknya, itu hanya ada di kepala saja.
Fungsinya jelas: sebagai angin segar bagi otak saya yang malas mengerjakan
tugas. Buat lucu-lucuan saja
, tapi serius.
Komentar
Posting Komentar