Suatu Hari di Palabuhanratu



Tahun 1941, Chairil pernah jatuh cinta pada mahasiswi fakultas sastra bernama Sri Ayati, seorang penyiar RRI pada zaman Jepang. Ia kagum pada kecantikan gadis dalam bidang sastra dan drama. Akan tetapi cinta Chairil ditolak karena Ayati sudah punya pacar. ‘Ril, tolong jangan datang-datang lagi, ya. Sri sudah ada yang punya,’ kata Sri, seperti yang dituturkan H.B. Jassin, 69 tahun, kritikus sastra, tentang penolakan itu.

Chairil yang kagum pada Sri, merasakan kata-kata penolakan itu sebagai tamparan yang mahakeras. Ia menuntun keresahan hatinya di sepanjang jalan daerah Pasar Ikan, di antara suasana yang muram di senja hari, di antara perahu-perahu kecil yang tidak berdaya tertambat di dermaga. Di tempat itu lahirlah puisinya yang berjudul “Senja di Pelabuhan Kecil”, yang ditujukannya kepada Sri Ayati.

Dua paragraf di atas saya kutip dari tulisan Aswina Aziz Miraza dalam majalah Sarinah nomor 95; 12—15 Mei 1986; halaman 52—54, 101; dengan judul “Chairil Anwar: Penyair yang Cinta “Gajah” dan Menculik Anak Sendiri”. Tulisan tersebut saya temukan ketika saya berkunjung ke Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin pada 2 Januari lalu. Untuk kali itu, saya tidak iseng, melainkan ingin mencari surat Sjahrir yang saya duga menginspirasi Chairil untuk membuat puisi “Cintaku Jauh di Pulau”. Namun, surat yang saya cari tidak ada. Maka, saya pun mencari surat-surat Chairil. Petugas PDS malah mengolehkan saya enam map yang berisi tulisan-tulisan tentang Chairil.

 


Tanpa sengaja, sejak mendapati cerita Chairil dalam tulisan Miraza itu, kata “pelabuhan” terus-menerus muncul dalam kepala saya. Entah mengapa. Akan tetapi, pelabuhan memang salah satu tempat yang juga saya senangi. Mungkin karena saya khatam tinggal di lereng gunung sehingga pelabuhan dan laut adalah dua hal yang cukup mewah. Mayangan, Tanjung Mas, dan Sunda Kelapa adalah pelabuhan-pelabuhan yang pernah saya kunjungi. Uniknya, saya tidak pernah berencana untuk ke sana. Dengan atau tanpa tujuan utama, saya tiba-tiba mendapat dorongan pergi ke sana ketika di tengah perjalanan.

Serupanya terjadi lagi minggu lalu. Ketika sampai di Stasiun Bogor, suatu pagi, entah untuk apa, saya tiba-tiba berhasrat pergi ke Geopark Ciletuh, Pelabuhan Ratu—yang ternyata lebih tepat bernama Palabuhanratu, Sukabumi. Saya pertimbangkan sejenak. Duduk dekat jalur satu dan memakan Sari Roti kecil rasa keju dan Ultra Milk stroberi. Waktu itu pukul 10.02. Saya pertimbangkan kemungkinan waktu tempuh dan waktu tutup Geopark, melihatnya di Google. Baiklah, pada akhirnya, hasrat lebih kuat daripada akal. Akal mengalah untuk kesekian kali.



Mengapa Geopark Ciletuh? Mungkin ini adalah buah dari kejengkelan saya yang pernah bersepeda motor untuk ke Geopark, tetapi tersasar ke suatu tempat yang penuh kelapa sawit. Saya juga heran mengapa Google Maps bisa berbohong. Belakangan, pada waktu hampir tiba di Terminal Palabuhanratu minggu lalu, saya baru tahu kalau dulu sebenarnya saya sudah hampir mencapai Geopark, tetapi memilih untuk pulang—yang berakhir dengan kehilangan kartu debit. Payah.

Transportasi paling memungkinkan adalah bis—“bus” hanya baku di KBBI, tetapi “bis” baku di hati dan lidah masyarakat. Lantas, saya pergi ke Terminal Baranangsiang. Saya tidak tahu bis mana yang akan saya gunakan. Beruntungnya, saya segera melihat bis jurusan Bogor-Pl. Ratu ketika sampai di sana. Bisnya tidak terlalu besar dan berwarna biru. Beruntungnya, lagi, sekitar dua menit setelah saya naik, bis berangkat.

Di perjalananlah saya baru ingat sesuatu. Saya lupa memperhitungkan waktu macet. Dan, saya baru ingat bahwa hari itu adalah hari Sabtu. Kata seorang teman, ‘akhir pekan’ bisa dibaca ‘kemacetan’. Benar saja, baru keluar dari terminal, kemacetan sudah nongkrong di depan. Cukup panas, tetapi saya terbantu oleh angin Bogor sebagai AC alami di bis.

Perjalanan ke Terminal Palabuhanratu ini jauh lebih lama dari yang saya kira. Saya baru sampai di sana pukul 16.13. Terminal itu kecil. Saya disambut oleh tukang ojek yang menawari tumpangan tidak henti-hentinya. Selain itu, saya disambut dengan bahasa Sunda yang tidak saya mengerti seluruhnya. Dalam hal ini, saya berterima kasih untuk teman-teman kampus saya yang sering bicara berbahasa Sunda. Ada gunanya ternyata.

Geopark tutup pukul 17.00. Sangat tanggung jika saya ke sana. Untuk apa datang ke Geopark yang sedemikian luasnya hanya untuk kurang dari satu jam? Membeli cilok pun tidak bakal sempat, apalagi berkontemplasi untuk jadi filsuf. Oleh karena itu, saya putuskan pergi ke pelabuhan yang jaraknya dekat dan tidak terikat waktu.

Kalau bisa mengulang, saya akan memilih duduk di gazebo bambu yang tidak jauh dari pertigaan. Akan tetapi, saya telanjur berjalan lebih jauh sampai ke tempat pelelangan ikan di pelabuhan. Menemukan ikan di jalan adalah hal yang wajar di sana. Dan, kalau bisa mengulang lagi, saya akan masuk ke tempat pelelangan itu. Namun, saat itu saya lebih memilih duduk di bawah pohon, dekat bagian pelabuhan yang menyediakan kapal-kapal tidak terpakai.

Ada bangkai kapal di atas pulau kecil dekat pelabuhan—benarkah itu pulau? Bagaimana bisa kapal itu mampir di sana? Maaf, sekali lagi saya tidak setuju dengan KBBI; apakah pernah ada sunami di sana? Saya teringat sebuah kapal besar yang terbawa air laut ketika sunami Aceh pada 2004. Sekarang benda itu menjadi tempat wisata. Tidakkah akan lebih berarti kalau kapal yang ada di atas pulau kecil dekat pelabuhan itu juga dijadikan tempat wisata? Barangkali anak zaman sekarang yang gemar eksis di media sosial bisa menjadikannya sesuatu.

Walaupun di tempat berbeda, saya coba memahami laku, pikir, dan rasa Chairil ketika di Pasar Ikan seusai ditolak Ayati. Semakin terasa pas karena pada saat di Palabuhanratu itu juga sama-sama senja. Senja, sebuah kata yang tingkat kekhidmatannya kini dirusak oleh “penikmat senja, kopi, dan hujan”.

Mungkin ketika itu Chairil duduk di tepi pelabuhan—atau di bawah pohon? Orang-orang yang lewat berpikir bahwa ada orang hilang sedang meratap laut, kurang kerjaan. Direnungkan oleh Chairil perkataan Ayati kemudian dibalasnya dalam gumam, “Kalau saja Ayati belum ada yang punya…” Chairil memperhatikan sekitar di antara gudang, rumah tua, pada cerita tiang serta temali. Dipandanginya kapal-kapal besar yang sedang tidur. Saya tidak tahu apakah waktu itu Chairil membawa kertas/buku dan alat tulis atau tidak. Namun, memperhatikan tulisan Miraza, sepertinya Chairil membawanya. Ini adalah waktu dan tempat yang tepat untuk mencurahkan ilham puisi, kata Chairil. Siapa tahu bisa jadi uang, tambahnya—untuk yang ini sangat mungkin tidak dipikirnya, tetapi bisa saja. Yang jelas, gerimis mempercepat kelam. Duh, Chairil, nasibmu. Kalau saja Chairil masih hidup, saya akan ajak dia main Age of Empires agar bisa bertemu Joan of Arc dan membuat pelabuhan sebanyak-banyaknya.

Sejujurnya sungguh sulit meresapi perasaan Chairil karena pada waktu itu saya sedang tidak merasa sedih, pun tidak merasa senang. Loh? Tapi, kalau pun saya hidup di masa Chairil, bahkan menjadi Chairil, saya akan menulis puisi dengan judul “Senja di Palabuhanratu” dan catatan kecil di bawahnya, yakni “buat ………..”

Saya tidak terlalu lama di pelabuhan. Saya terus mengikuti jalan besar. Niat saya sekalian mencari makan siang (sore) khas Palabuhanratu, tetapi tubuh rupanya sudah terbiasa tidak makan siang dan tidak ada makanan khas yang dijual juga. Aneh karena begitu banyak orang berjualan bakso dan mi ayam, tetapi satu warung sunda pun tidak ada. Bahkan, di alun-alun pun hanya bertebaran tukang jual gorengan. Karena tidak menemukan hal yang menarik, saya kembali ke terminal dengan rute yang agak beda.

Sampailah saya di terminal. Rupanya sudah sepi. Semakin terasa sepi ketika seorang tukang ojek bertanya tujuan saya (Bogor) dan ia menjawab bis ke Bogor sudah habis. Awalnya saya tidak percaya. Akan tetapi, setelah bertanya ke sopir bis jurusan Sukabumi, saya percaya. Saya sudah pasrah sekiranya kalau harus bermalam di terminal. Toh saya pun pernah menginap di terminal kecil di Wonosobo—yang ternyata bekas Stasiun Wonosobo dan pernah dikunjungi Soekarno—karena bis jurusan Dieng sudah habis. Akhirnya, saya putuskan untuk naik bis ke Sukabumi. Siapa tahu ada transportasi ke Bogor.

Saya memang tidak tahu seberapa lama waktu tempuh antara Terminal Palabuhanratu dan Terminal Sukabumi, termasuk risiko macetnya. Kalau harus bermalam di Terminal Sukabumi, saya tidak masalah. “Orang-orang seperti kita tidak pantas mati di tempat tidur,” kata Soe Hok Gie. Ya, tapi, kalau mati di terminal juga kumaha atuh a.

Perjalanan panjang, yang saya kira sudah terlalu mustahil untuk sampai di Sukabumi sebelum pukul 20.00, ternyata berkata lain. Bis sampai di sana tepat pukul 20.00. Sopir bis menunjukkan saya sebuah angkot berwarna kuning yang bertujuan Bogor. Sebelum berangkat dari Palabuhanratu, saya memang sudah bilang akan ke Bogor. Terima kasih, Pak, walaupun sejujurnya saya tidak mengerti Bapak berkata apa ketika menunjukkan angkot. Saya mengerti karena dia menunjuk dengan tangannya. Begitulah bahasa. Tidak selalu verbal. Jadi, ya, ada baiknya tidak mendewakan kata-kata.

Saya menuju Bogor dengan angkot kuning yang mungkin sopirnya tidak takut mati. Tidak peduli kemacetan panjang; langsung trabas saja. Hampir bertabrakan dengan truk besar, tetapi bisa selamat karena angkot dan truk berhenti pada waktu yang tepat. Kalau bertabrakan, saya akan merasa kurang puas karena mati di Sukabumi tidak termasuk dalam daftar impian saya.

Setelah sempat dioper ke angkot hijau di Ciawi, saya sampai di Baranangsiang untuk kemudian ke Stasiun Bogor lagi. Kereta yang tersisa tinggal tujuan Depok yang jauh dari tempat indekos. Apa boleh buat. Akhirnya, sampai tempat pukul 01.05. Betapa absurd hari itu.


Komentar

Posting Komentar