Bandung


Kita bertemu lagi di pertemuan sudut Asia Afrika dan Braga. Seperti sebelumnya, pertanyaan itulah yang selalu muncul pertama kali di benak kita: kasih siapa yang hidup lebih dulu? Aku tak dapat memastikan soal itu, tetapi aku yakin bahwa yang pertama kali mati adalah puisi. Ia berjalan jauh dari Leuwipanjang, masuk ke perasaan kita masing-masing, lalu mati begitu saja di tempat yang juga tidak kita tahu. Mungkin ia menjelma menjadi benda-benda yang kita anggap tidak penting. Setelah ia mati, kita kehilangan segilanya.

Aku melihat wajahmu seperti anak kecil yang minta diperhatikan. Berapa lama kau asing? Kaubilang, kau tersesat di antara pertentangan-pertentangan yang menjalari urat dan otak besar. Kauingin mondar-mandir saja di Otista sambil berharap suatu waktu ada sebuah mobil berhenti dan menanyakan: apa ini benar jalan yang ditunjukkan-Nya? Kau jelas tidak tahu dan mempersilakan mobil itu untuk meneruskan perjalanannya saja. Silakan Bapak tanya orang lain, tambahmu. Akan tetapi, ia buru-buru menutup kaca mobil dan saranmu tertahan di luarnya. Mobil itu melaju dengan kecepatan tinggi. Kau sudah bisa menebak adegan selanjutnya. Benar, mobil itu masuk ke dimensi yang mengarah ke konklusi: aku tidak percaya.

Kau tetap di Otista, sedangkan aku mengunjungi masjid raya. Waktu kumasuk ruang utama setelah berwudu, aku menyaksikan sebagian besar lampu sudah digelapkan. Pintu pun ditutup. Ini apa maksudnya? Jam malam semacam itu biasanya berlaku hanya dalam kondisi genting. Apa yang perlu digentingkan? Bagaimana para pemuka bisa berharap iman masyarakat akan meningkat jika mereka diam-diam masih menaruh prasangka akan adanya kemungkinan kotak amal yang dicuri? Iman kita ternyata tidak lebih dari sekotak amal.

Tapi kini kita bertemu lagi di pertemuan sudut Asia Afrika dan Braga. Tidak tahu manakah yang lebih tepat antara bersuka atau berduka. Aku menyelisik ke dalam matamu dan menemukan masa lalu yang berjajar dan berbau. Aku sudah bilang, klasifikasikan ke folder-folder dan simpan di tempat yang aman. Namun, kau enggan. Enggan, atau barangkali tak mau mendengar macam-macam keputusan. Keputusan hanya menempatkan kita dalam pembatasan. Pembatasan mengurung kita menjadi seorang pengelana yang tidak pernah selesai memutari lingkaran.

Kita bergeming sebagaimana aspal menerima hujan yang turun menghujat. Kita diserang oleh suatu perasaan batin. Bagaimana seharusnya kita memulai percakapan? Apakah berbasa-basi akan menyelamatkan atau justru kita sama-sama berpikir kepada satu sama lain: mengapa ia tak memulai dengan hal penting?

Waktu sudah sampai ke Nebula dan kita masih di sini, tertahan oleh keinginan yang terpendam. Begitu lama, sampai keinginan itu pun mengeluarkan akar. Akar itu semakin dalam memperkuat ketahanannya. Keinginan, lama-lama menjadi pemakluman yang kita rasa tidak wajib untuk dikeluarkan. Semakin lama, semakin tertahan, dan dunia ini hanya diisi pandangan mata kita. Pandangan mencipta persepsi. Persepsi mengarahkan kita kepada pemahaman sepihak yang ujung-ujungnya peperangan. Hal itu membuat kita tidak pernah berdamai dan tidak akan mau.

Bahwa udara menjadi sangat dingin adalah suatu fakta yang harus kita terima. Maka, satu-satunya cara untuk mengatasinya adalah mendekap satu sama lain. Kita melakukannya tanpa secara formal ada yang mengucap permisi. Rasanya kita tidak butuh keformalan atau birokrasi berbelit selagi kita saling mengerti. Kita juga tak dapat menafikan bahwa dalam proses mengerti juga terdapat kesalahan.

Kesalahan adalah hal yang sudah ada sebelum Adam dan Hawa tinggal di dunia. Disebut ‘kesalahan’ karena adanya penyimpangan dari aturan-aturan. Kita di sini juga telah melanggar aturan-aturan yang telah kita buat. Yang kita langgar adalah peraturan nomor satu. Nomor satu menjadi dasar untuk peraturan yang lain. Oleh karena itu, kita buat aturan baru yang berisi bahwa kita boleh melanggar aturan-aturan terdahulu.

Aturan-aturan, sebagaimana kebudayaan, dan memang itu bagian darinya, akan berhadapan dengan masa yang menuntut perubahan. Kebudayaan adalah soal usaha mengatasi kesulitan-kesulitan. Lantas, apakah kesulitan kita masa ini?

Rupanya kesalahan kita masa ini adalah kurangnya daya kita memahami. Pemahaman hanya bisa dilakukan jika terdapat kesamaan. Kesamaan apakah yang dimaksud? Tidak lain adalah kesamaan pengalaman. Pengalaman telah membentuk diri kita. Ia berkuasa di pusat tubuh. Tetapi, tunggu dulu. Apakah kita punya pengalaman yang sama?

Kurasa kita punya. Itu sebabnya kita bertemu lagi di pertemuan sudut Asia Afrika dan Braga. Kita sama-sama digerakkan oleh masalah yang mendera kejiwaan. Masalah ini adalah masalah keinginan untuk mengunjungi satu sama lain di tempat yang sekiranya memungkinkan untuk dicapai. Kau sudah baca Ziarah?

Aku dan kau setuju untuk tidak mengartikan pengalaman sebagai suatu yang einmalig. Kita bisa menciptakan pengalaman yang benar-benar sama. Segala yang bisa dipikirkan dimungkinkan untuk ada, bukan?

Mobil sudah tak ada yang melintas. Toko-toko tutup. Kita memutuskan untuk berjalan ke tempat akhir, menyusuri Braga yang masih tersisa.

Di sinilah tempat kita bermuara: Stasiun Bandung. Bagiku, ini hanyalah muara sementara. Aku harus melanjutkan apa saja yang belum. Kau berkaca-kaca seolah akan melepas seekor merpati yang telah lama kaurawat. Memang tidak sepenuhnya salah. Aku memang telah kaurawat dalam perjalanan waktu. Akan tetapi, semakin aku dewasa, semakin aku menemukan kekanak-kanakanku. Ia adalah subjek yang selalu ingin dituruti apa maunya. Aku berterima kasih atasnya karena pertemuan kita kali ini terjadi disebabkannya.

Pertemuan, pada waktu yang sama adalah perpisahan juga. Aku sering salah sangka mengartikan keduanya berbeda. Kaulah yang menegaskannya bahwa keparadoksan senantiasa hadir dalam halaman-halaman dari buku kita. Ia menyisip di sela-sela kalimat atau menjadi satu titik warna di foto.

Kita tidak punya waktu lebih lama lagi. Selamat tinggal. Pertemuan ini adalah yang paling membekas. Tapi, kau rupanya masih tidak rela untuk melepas.

Tepat ketika kau berhasil mendekap aku sekali lagi untuk yang terakhir kali, ada benda jatuh entah dari mana. Aku kira ia dibawa oleh angin. Aku izin lepas dari dekapanmu untuk memungut benda itu. Apa yang kudapat? Tebak. Selembar kertas dengan tiga warna: biru, putih, dan merah. Ini tanda bahwa kau akan meninggalkanku ke Perancis, katamu menyimpulkan. Menyimpulkan dari premis apa? Tetapi, baiklah, aku terima kesimpulan itu. Katamu lebih lanjut, ya kau memang akan pergi ke sana. Itulah mengapa kita akhirnya bertemu di sini, di Perancis kecil kita, di tanah kebebasan yang menggaung-gaung.

Aku jadi simpati atas kesimpatianmu. Ternyata kau sudah lama memperhatikan tanda-tanda alam. Termasuk kejadian-kejadian yang secara kebetulan koinsiden. Kau sudah belajar dari Saussure? Kau seperti Detektif Kindaichi yang cermat menganalisis setiap peristiwa dari waktu ke waktu. Benang merah yang selama ini terpendam di dasar kesadaran itu mampu kauangkat. Kau menjalinnya dengan benang-benang lain yang telah kautemukan. Dari sana kauciptakan kesimpulan.

Pandangan mata kita diruntuhkan oleh pemberitahuan dari petugas stasiun. Kereta sudah menunggu di jalur enam. Ia sudah bersiap-siap membawa hasil pertemuan ini ke level yang lebih tinggi. Kita tak tahu bagaimana nantinya. Kita juga tak tahu bagaimana mestinya kita berbuat dalam menghadapi keadaan semacam ini. Kau mau pilih mana: perjuangan yang menuntut pengorbanan atau kepasrahan yang tidak menuntut apa-apa?

Bibirmu terangkat lalu menutup lagi. Apa ada yang ingin kaukatakan untuk terakhir kali? Kau terlihat sedang menyusun tata kalimat yang benar berdasarkan struktur sintaksis para ahli. Kaulupa, sintaksis tak berarti apa-apa di hadapan semantik. Yang berkuasa adalah makna.

Jadi, selamat malam. Selamat malam, Diriku. Waktu sudah habis. Sampai jumpa.

Komentar

  1. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

    BalasHapus

Posting Komentar