Iwan Simatupang
Sebulan belakangan ini meja kamar-indekos
saya dipenuhi buku-buku mengenai Iwan Simatupang, baik novel, kumpulan cerpen,
analisis karya, maupun kumpulan surat-surat politiknya. Saya juga beberapa kali
sengaja ke Pusat Dokumentasi H.B. Jassin di Cikini untuk membacai surat-surat
pribadi Iwan kepada Jassin. Kesan yang saya tangkap, Iwan adalah seorang
pemikir dan penganalisis yang mempunyai banyak sumber data. Bahkan, saya
mengagumi bagaimana Iwan mengaitkan dan menyusun dugaannya tentang keterlibatan
beberapa pihak yang mungkin menjadi kunci dalam kejadian G30S serta konspirasinya.
Dari mana saja Iwan mendapatkan sumber untuk dugaannya? Entahlah;
kemungkinannya dari koran-koran yang ia baca. Pernyataan bacaan Iwan dari
koran-koran saya ketahui dari buku Surat-surat
Politik Iwan Simatupang 1964—1966, sebuah buku yang berisi surat-surat Iwan
kepada B. Soelarto mengenai politik.
Berkaitan dengan G30S, terlepas
dari kesimpangsiuran pihak bersalah dalam peristiwa tersebut, Iwan telah
sedikit memperkirakan bahwa akan ada putsch
yang dilancarkan oleh PKI. Hal itu disampaikan Iwan kepada B. Soelarto dalam
surat tertanggal 6 Mei 1965 yang ditulisnya di Bogor. Berikut yang Iwan tulis
di bagian ujung surat itu.
“Yang jelas, PKI akan coba rebut kekuasaan. Yang mengerikan adalah
sekiranja putsch PKI ini pun bakalan
gagal lagi.”
Penjelajahan ke-Iwan-an ini saya
mulai secara tidak sengaja. Suatu hari saya datang ke PDS untuk entah membaca
apa. Barangkali dari sana ada bahan-bahan yang bisa saya jadikan untuk tugas
akhir nanti. Sebelumnya, saya sempat ingin membahas keterkaitan surat Sjahrir
dengan salah satu puisi Chairil Anwar, tetapi tidak jadi karena kesulitan
mendapatkan surat aslinya. Pun dengan ide membahas geliat media massa
Melayu-Tionghoa di Malang. Ternyata sudah banyak yang bahas. Jadi, apa topik
yang belum pernah dibahas?
Maka, saya datang hari itu ke PDS—tanggal
20 Februari 2019. Ketika ditanya “mau cari apa” oleh petugas PDS, saya spontan
bilang “Iwan Simatupang”. Petugas PDS tidak kaget—mungkin karena sudah banyak
yang mencari hal-hal tentang Iwan, tetapi saya kaget. Untuk apa mencari Iwan?
Lebih anehnya, bagaimana bisa mulut saya tiba-tiba mengatakan nama tersebut?
Akhirnya, saya biarkan buat mengalir. Kemungkinannya, saya membaca biografi
Iwan. Itulah yang saya minta ke petugas PDS di lantai atas untuk dicarikan. Saya
diberi dua kumpulan map tentang Iwan. Satu kumpulan map berisi tiga atau empat
map. Saya membuka salah satunya: map E.
Map pertama yang saya buka berisi
sekumpulan surat-surat pribadi Iwan kepada Jassin. Menarik, pikir saya. Saya
bacai satu per satu, juga mencatat poin-poin pentingnya. Iwan terkadang
menggunakan “Hans” atau “Jassin” sebagai panggilan-pembuka. Selain itu, Iwan
ternyata memiliki dua jenis tanda tangan, yakni tanda tangan jenis “Iwan” dan
jenis “Simatupang”. Kedua tanda tangannya ditulis seperti tulisan
tegak-bersambung.
Karena waktu pembacaan dan
pencatatan yang agak lama, kunjungan ke PDS tidak cukup sekali. Terhitung dua
kali saya ke sana. Rencana saya untuk kunjungan yang ketiga terpaksa batal
karena ada yang harus diselesaikan di kampus—dan sekarang sudah selesai; saya
senang. Berikut ini adalah surat-surat Iwan yang sempat saya baca dan catat
poin-poinnya.
1.
Surat 3 Desember 1968
Surat ini ditulis Iwan di Hotel
Salak, kamar 52, Bogor. Ia menggunakan sapaan “Hans” sebagai pembukaan. Dalam
surat ini, Iwan menyampaikan soal modernitas. Berikut cuplikannya.
“Hans
jang baik,
sedjak pertemuan kita jang terachir
dikantor Din. B & K, aku masih belum ke Djakarta. Djuga aku tidak tahu,
apakah kau djadi dikirimi kartu undangan (2 buah) untuk pertundjukan sendratari
Kebangkitan Isa Almasih itu. Aku telah berpesan 2 kali kepada Panitia supaja
diantar ke Djl Siwalan 3. Aku harap, kau tidak telah menunggu dengan pertjuma
dan ketjewa! (Aku sendiri tak pergi melihatnja! Aku punja “firasat”,
pertundjukan itu bakal djelek… Tak bisa lain, sebab ternjata sendratari Bagong
itu tak banjak bedanja dari “sendratari” ala Prambanan & Ramayana: Djowo,
plus banjak artistiekerij… jang sangat mengganggu saraf2ku! Walhasil, bukan “ballet”
eksperimentil modern, matjam atau sematjam Ballet Africaine dan sedjenisnja
jang mengemukakan problema. Jang bikin aku sedih: Bagong, jang semula banjak
membuat aku berharap, tidak bisa melepaskan dirinja dari manierisme, manierisme jang inhaerent dibawa oleh
strata keadaanm suasana dan kedjadian ditanahair kita achir2 ini.)”
2.
Surat 28 Juni 1953
Iwan memanggil Jassin dengan “Hans”
pada surat 3 Desember 1968. Akan tetapi, dalam surat ini, Iwan memanggilnya “Jassin”.
Surat ini ditulis di Hotel Pregolan km. 9, Surabaya. Dalam surat ini, Iwan
menyampaikan bahwa ia bermaksud mengadakan perbaikan karangan yang sudah dikirimkan.
Ia merasa kesulitan cara menuliskan kata-kata majemuk dalam bahasa Indonesia.
Ia bermaksud memenggal kata-kata (kalimat) yang panjang. Ia juga mengaku sedang
mencari gaya tulisannya sendiri.
“Benar, benar sdr Jassin, saja masih berkelahi untuk tjari dan tentukan
gaja buat saja.”
Selain itu, Iwan rupanya mengutip
sedikit puisi Charil soal Pattiradjawane. Begini ia membilang.
“Kolonel Nazir, djuga anak Sumatra, murah hati izinkan saja ikut dajung2
sampan dengan korvetnja ‘Gadjah Mada”, ke utara Minahasa kedjar2 lanun
(sapuuh!), ke Ternate, Buru, Seram dan Saparua, tjari2, mana tahu kedjumpa
Pattiradjawane, pendjaga hutan2 pala…”
Saya sudah bilang di atas bahwa
Iwan mempunyai dua jenis tanda tangan. Dalam surat ini, Iwan menggunakan tanda
tangan “Iwan”. Sementara itu, ia menggunakan tanda tangan “Simatupang” dalam
surat 3 Desember 1968.
3.
Surat 1 Mei 1968
Surat ini ditulis Iwan di Bogor.
Isinya, Iwan menyayangkan Pemerintah yang menghapus Hari Buruh (1 Mei) sebagai
hari besar di Indonesia. Ia menulis, alasan penghapusan itu adalah adanya
penunggangan yang dilakukan PKI dalam kegiatan 1 Mei sebelumnya. Padahal,
menurut Iwan, hari tersebut adalah “… saat,
dimana manusia berhasil untuk pertamakalinja mematahkan tenaga2 penghisapan
& penindasan!” secara historis. Lebih lanjut, ia menyampaikan, “’Phobie’ kita terhadap PKI telah mem-paralysir seluruh diri kita, seluruh pikiran &
perasaan kita!”
Saya menangkap bahwa Iwan geram
atas fobia Pemerintah terhadap PKI yang diduga mengadakan Gestapu dan
menunggangi Hari Buruh. Kontradiksinya, Pemerintah tidak ingin ada fobia
berkelanjutan. Tentu bukti-bukti ketidakikutsertaan PKI dalam Gestapu belum
muncul kala itu. Jadi, maklum saja jika Iwan masih mengaitkan secara negatif
soal PKI dengan Gestapu. Lebih lanjut, Iwan menilai rezim Soeharto sebagai mediocre.
“Oleh sebab itulah, aku menilai resim-Soeharto ini: mediocre; even, lesser than mediocre!”
Dalam surat ini, Iwan menanyakan
kabar naskah Ziarah di Djembatan
(penerbit). Ia menanyakan waktu penerbitan naskahnya tersebut. Ia pun bertanya,
“Bila “SASTRA” Mei ’68 terbit?”
4.
Surat 13 Mei 1966
Iwan mengabarkan bahwa Ziarah dan Merahnja Merah akan terbit. Keduanya diterbitkan oleh “penerbit-pendatang (modalnja dengkul &
segerobak tjita2 tok!)”, bukan oleh Djembatan “jg telah melanggar bunji kontraknja sendiri.”
Jadi, apakah pada awalnya Iwan kecewa terhadap Djembatan dan kemudian (1968) berbalik
berharap terhadap Djembatan?
Penerbit-pendatang ini ingin
meminta pendapat Jassin untuk ditulis di bagian sampul-depan-bagian-dalam untuk
keperluan promosi. Iwan menulis, “Tau2,
beberapa hari jl dia berkata: kedua novel sdr itu sudah di-zet! Wah, aku
kaget!” Lanjut, “Apakah dia sudah
menghubungi kau, Hans?”
5.
Surat 18 Oktober 1968
Surat ini ditulis Iwan di Bogor
pukul 21.00. Iwan mengkritik Soekarno yang dikiranya hanya duduk santai ketika
dua prajurit KKO, Usman dan Harun, dihukum gantung oleh pemerintah Singapura.
Begini ia menulis.
“Pada hari kemarin (17 Okt, tgl Usman & Harun digantung dipendjara
Changi), dan hari ini (18 Okt, tgl penguburan mereka di Kalibata), tjuma duduk2
& hidup tenang, komfortabel, dirumahnja jg njaman didjl. Batutulis, Bogor…”
Sebelum bagian itu, Iwan
menyampakaian, “Sedang, auctor
intellectualis dari konfrontasi itu sendiri, jg telah mendjerumuskan bangsa
kita terperosok kedalam sekian halaman2 gelap dari sedjarah,
(sedjarah kita sendiri, maupun sedjarah umat manusia umumnja)” Lebih
pedasnya, dengan huruf besar, Iwan melanjutkan, “Bukankah seharusnja dia jg digantung di Changi kemarin itu?!!” Juga
di halaman terakhir, “Mengapa Tuhan
terlalu mengutuk kita, dgn memberikan kita, djustru pada saat2
seperti ini, pemimpin2 dari kelas-kepalang-tanggung begini?!”
Tepat hari ini, hampir sebulan
setelah saya membaca surat tersebut, saya selesai membaca kumpulan cerpen Iwan
yang berjudul Tegak Lurus dengan Langit.
Di dalamnya, terdapat cerpen “Oleh-oleh untuk Pulau Bawean”. Isinya serupa
dengan surat Iwan ini, terutama soal kebanggan masyarakat akan Harun sebagai
putra Bawean. Cerpen tersebut bersumber dari Warta Harian tanggal 28 Oktober 1968. Jadi, apakah Iwan menulis
surat dan cerpen pada hari yang sama? Setidaknya, kemungkinan ditulis
berdekatan sangat besar.
6.
Surat 26 Mei 1968
Surat ini ditulis di Hotel Salak,
kamar 52, Bogor pada 08.30. Isinya tentang kritik Iwan terhadap pemerintahan
Soeharto. Ia mengkritik para ekonom pemerintahan yang hanya “ekonomokrat2 jg particularistis”.
Menurutnya, Indonesia tidak bisa disamakondisikan dengan Amerika Serikat dan
Rusia.
“Modernisasi manusia & masjarakat Indonesia bukan seharusnja
mengubahnja sedemikian rupa sehingga dia achirnja merasa asing terhadap dirinja
sendiri.”
Para ekonom Indonesia dinilai tidak
melihat secara keseluruhan, tidak punya “universalisme”.
Yang dimaksud adalah pengikut-pengikut Prof. Dr. Soemitro. Mereka adalah
Widjojo Nitisastri, Emil Salim, Sadli, Ali Wardana, dan Sri Sultan. “Lack of culture,” kata Iwan.
7.
Surat 29 Agustus 1963
Iwan menulis surat ini di Medan.
Dalam surat ini, Iwan menumpahkan rasa puas-rindunya terhadap Medan. Di sana ia
merasa hidup kembali setelah terpisah dalam waktu lama. Ia naik “Dakota” dari
Pekanbaru. Ia semula sakit influenza, tetapi sembuh ketika di Medan.
Iwan mengatakan bahwa suasana Medan
masih sama. Ia memuji “kehendak akan
hidup-enak, makan-enak, flair jang pada umumnja adalah bluf, sifat easy-going
dgn segalanja, keramahan, dijnamik, kegairahan untuk bertanding & bersilat
kata2.” Ia menambahkan, “MEDAN
jang begini masih kutemukan. Dan aku tjinta, tetap tjinta, pada ini semua.”
Sementara itu, ia menulis berikut di paragraf terakhir.
“Medan, kota dari buaja2: buaja2 jang tetap buaja
(=tjopet2 djl. kantor), buaja2 jang djadi sastrawan
(=chairil anwar), menteri lihay (=chairul saleh), dosen (=h.b. jassin),
kyai-modern (-bahrum rangkuti)-!”
8.
Surat 17 Januari 1962
Surat ini—sampai surat nomor
terakhir—saya baca pada tanggal 22 Februari 2019. Iwan menulis surat ini di
Jambi. Ulasan mengenai surat 17 Januari 1962 ini terdapat dalam bagian
pengantar buku Surat-surat Politik Iwan
Simatupang 1964—1966. Isinya tentang filosofi “manusia hotel”. Iwan
menulisnya di Penginapan Sri Warni, K-18, Jalan Garuda/Simpang Jelutung Jambi (Penginapan Sri Warni, K-18, Djl. Garuda/Sp,
Djelutung DJAMBI).
Di paragraf pertama, Iwan
menceritakan kisah beberapa penulis-besar, seperti Kafka, Pirandello, Thornton
Wilder, dan Hemingway yang memperoleh imajinasi ketika dalam perjalan dan “dikamar ketjil hotel ketjil dari kota ketjil”.
Lebih lanjut, Iwan menulis, “Bahkan,
Luigi Pirandello seumur hidupnya hidup dihotel sadja.”
Dua kutipan di bawah ini adalah
penerangan atas filosofi “manusia hotel”.
“Kita tak pernah merasa home. Kiri kanan kita = tamu2 djuga, seperti kita, punja 1001 soal, sama
dgn kita.”
“Inilah inti daripada psychologi “manusia hotel”: ia adalah tamu!
Dan tamu selalu berarti: (baru) datang; (bakal) pergi
(lagi).
9.
Surat 21 Oktober 1968
Iwan menulis surat ini di Hotel
Salak kamar 52, Bogor. Dalam surat ini, Iwan mempermasalahkan tokoh protagonis dalam
novel. Menurutnya, tokoh protagonis novel “harus
ada posisi, dimana ia setjara jg paling sadar, wadjar & fitriah (ikut)
terlibat didalam semua unsur, gerak, dan arah kehidupan kini!!!” Selain
itu, seorang pengarang harus mencari tokoh dengan status dan posisi yang paling
“strategis”. Istilah tersebut dijelaskannya secara lebih rinci menjadi:
a) Dimana dia dapat memenuhi “missinja” setjara maksimal, thd makna dan “fatum”-nja
sendiri
b) Dimana dia dapat memberi pengaruh & efek jg maksimal, thd makna, “fatum”
& sedjarah umat manusia selandjutnya
Selanjutnya, Iwan menguraikan “status & posisi manakah gerangan jg
paling ‘strategis’”.
a) Dimana dia dapat mengabaikan segala konvensi dan tradisi
b) Dimana dia dapat menikmati hikmat dari “manusia terbuka”; atau—katakanlah:
“manusia jg mengarah sebanjak mungkin pendjuru sekaligus
Selain uraiannya mengenai tokoh
protagonis dan posisi strategis, Ia menulis keterangan mengenai ketiga
novelnya.
“’Ziarah’, ‘Merahnja Merah,’ dan ‘Kering’ mempunyai protagonis2
jg merupakan anti-poda (!) dari type2 jg diadjukan oleh Herbert Marcuse &
Leszek Kolakowski itu.”
“Manusia gelandangan—itulah, hematku, pembiasan terbaik dari
tokoh seperti itu: posisinja, statusnja, als zodanig, memang sangat ‘strategis’:
-Terhenjak dari semua
ikatan kemasjarakatan;
-Terlepas dari semua
tradisi & konvensi;
-Semua kapal
dibelakangnja sudah terbakar.”
10.
Surat 25 Maret 1968
Surat ini ditulis Iwan di RS St.
Carollus Maria, Paviljoen kamar-21,
Jakarta. Isinya adalah permintaan Iwan kepada Jassin agar majalah Sastra berkenan meralat salah satu
bagian dalam artikelnya yang berjudul “Kerakjatdjelataan sebagai
Pola-Kebudayaan Kita”. Dalam artikel tersebut, terdapat kesalahan baris “komunalisme
jg lebih sublime” menjadi “komunisme jg lebih sublime”. Hal itu sangat
menghebohkan. Iwan dikerjar pertanyaan dan teguran. Salah cetak, menurut Iwan,
adalah pembunuhan. “Dan oleh sebab tiap
salahtjetak pada hakekatnja telah ‘membunuh’ artikel itu sendiri,” tulisnya.
Ia meminta agar artikel itu diralat
dalam Sastra edisi April 1968 yang
akan datang. Ia juga meminta “special
care” oleh M. Lubis (Mochtar Lubis?). Iwan ternyata belum mengenal Lubis.
Ia pun meminta agar artikelnya yang akan datang, “Djungkirbalik atas Aktualitas
Kesesatan”, tidak ada salah cetak.
11.
Surat 24 Agustus 1963
Iwan menulisnya di Pekanbaru.
Berdasarkan kedekatan tanggal dengan surat 29 Agustus 1963, surat ini
kemungkinan dibuat sebelum ia berkunjung ke Medan. Surat ini pendek saja.
Isinya adalah kabar bahwa Iwan sedang flu, rencana kunjungan ke rumah Soeman
H.S. (angkatan 20-an), dan permintaan Iwan kepada Jassin agar mengabarkan
kepada Ita Pamuntjak soal novel kedua Iwan, Merahnya
Merah. Jika novel itu baik, Iwan berpesan agar segera diterbitkan sesudah
atau bersamaan dengan Ziarah.
“Hans, seandainja kau tak banjak punja keberatan, tolonglah njatakan kpd
ita pamuntjak (n.u djambatan, djl. nusantara 15 atas, djakarta) gimana
pendapatkau ttg novelku ke-2 ‘merahnja-merah’ itu.”
“Seandainja dia (novel tsb) memang baik, tolonglah katakan pada ita, spy
novel tsb djuga segera diterbitkan, segera sesudah (atau, bahkan: bersamaan
dgn) ‘ZIARAH’.”
12.
Surat 17 Desember 1968
Iwan menulis surat ini di Hotel
Salak kamar 52, Bogor. Dalam surat ini, Iwan menanggapi novelnya sendiri, Merahnya Merah, yang resmi terbit pada
November 1968. Iwan mencoba menjadi seorang yang objektif. Tulisnya, “Aku tjoba mengundjuk diriku sendiri seorang
lain, jg punja kerdja seorang literature-beschouwer. Seorang recensent. Seorang kritikus.” Menurutnya, Merahnya Merah adalah novel yang
menempatkan tokoh-tokohnya ke tempat atau kedudukannya.
Surat ini berisi tanya-jawab soal Merahnya Merah dari dan oleh Iwan.
Pertama, mengapa tokoh utamanya mati. Kedua, kategori novel Merahnya Merah. Iwan menjawab, “It’s not of my business, Sir! The Priests of
the holy criticism have to decide.”
Selain itu, Iwan menuliskan bahwa
ia adalah seorang pecandu sastra Perancis.
“Aku djustru sedjak dulu petjandu sastra Perantjis karena… Montaigne,
Pascal, pewaris2 dari berfikir & menulis dengan bening, Kristal-helder
en hand al seen graniet! Karena Rousseau,
jg untuk seterusnja mewariskan rasionalisme dan kritische zin pada penaku.
Karena Stendhal, Valery, Mallarme, Lautreamont, Baudelaire, Rimbaud. Karena Gide,
Malraux, Sartre, Camus, Merleau-Ponty, Jean-Wahl… semua, semuanja jg telah
berhasil mengawinkan otak dengan djantung dalam gaja jang paling ringkas,
padat, bening!”
Satu kutipan yang menjadi kunci
dalam surat ini adalah L’Existentialisme
est une humanisme. Begitulah pendirian Iwan sebagai penganut
eksistensialisme.
Selain kedua belas surat di atas,
saya juga sempat membaca tulisan Kelik Adhy Suryaparti yang berjudul “Iwan
Simatupang, Sosok Tokoh Shaf Terdepan Penulis Prosa Mutakhir”. Tulisan tersebut
terdapat dalam koran Berita Buana tahun
XVIII, nomor 99, halaman ke-4, kolom 6—9, tertanggal 12 Desember 1989. Tulisan
ini berisi opini Suryaparti tentang proses kepengaran Iwan yang seakan-akan
bertahap. Berikut cuplikannya.
“Pada mulanya Iwan menulis sajak
(1952) kemudian disusul menulis esai (1953), menulis drama (1957—1958) dan pada
tahun 1961 ia pindah menulis cerita pendek.”
Sebelum pulang, saya membaca surat
Iwan tanpa tahun (12 Juli) dan tulisan Jakob Sumardjo berjudul “Iwan Simatupang
Terlambat Diakui” dalam koran Pikiran
Rakyat halaman ke-7 tertanggal 26 Januari 1988. Sayang sekali, jarum jam di
PDS sudah menunjukkan pukul 16.00. PDS akan ditutup. Saya meminta petugas di
sana untuk memfotokopi dua tulisan tersebut. Akan tetapi, karena mesin fotokopi
sedang rusak, saya diperbolehkan memfotonya. Di kamar-indekos saya membacanya.
Surat 12 Juli ditulis Iwan di Jalan
Kawi nomor 40, Malang. Sebagai orang yang besar di Malang, saya sangat tertarik
akan surat ini. Buat apa Iwan ke Malang? Iwan menjelaskan bahwa ia “mau tjoba2 nasibku kembali sebagai pedagang…”
Lebih spesifik, Iwan ingin menjadi pedagang kayu. Selain itu, Iwan menyampaikan
kemuakannya terhadap Jakarta.
“Aku muak dgn Djakarta. Kebudajaan disana se-mata2 adalah soal ‘intrige’ antara orang-gede satu dgn orang-gede
lainnja.”
Di bagian akhir, Iwan menanyakan
perihal surat-surat kepada Jassin. Tulisnya, “Apakah ada surat2 utk-ku, d/a kau di djl. Siwalan 3, dari Australia
(Achdiat, atau Prof. Johns)?” Siapakah Prof. Johns yang dimaksud Iwan?
Entah.
Selanjutnya, dalam tulisan Jakob
Sumardjo, diceritakan bahwa dua bulan sebelum meninggal pada 15 Februari 1970—yang
dalam lebih banyak sumber ditulis 4 Agustus 1970, Iwan menulis catatan di Rumah
Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Berikut adalah sebagiannya.
“Oh! my God; am I doomed to accept loneliness and solitude as the future
‘total conditions’ of my life? Am I the solitary monk in this big monastery:
the world, where I live in? Am I living exactly beside the tumults and rumours
of daily life? I don’t know It seems that this burden of ‘violet Loneliness’
will, and shall, overshadow my life till the end…”
Semoga Iwan tenang di sana.
Sementara itu, saya sekarang hendak melanjutkan penjelajahan ke-Iwan-an dengan
membaca buku Novel Baru Iwan Simatupang
karya Dami N. Toda (Pustaka Jaya, 1984). Barangkali saya menemukan pengetahuan
baru soal Iwan.
PS: Studi biografi pengarang bisa menjadi alternatif
pengajaran untuk sekolah menengah dan perguruan tinggi agar
sastra tidak hanya berputar-putar mengenai unsur intrinsik, juga agar
siswa atau mahasiswa lebih tertarik dengan sastra.
Komentar
Posting Komentar