Buku-buku: 2018

Hanya ingin tahu. Berdasarkan alasan sederhana itulah saya meneruskan kebiasaan menggali untuk menemukan serangkaian informasi, baik yang berhubungan maupun tidak. Senang saja rasanya ketika informasi itu dapat saya temukan, bahkan terkadang mendapat lebih dari apa yang diharapkan. Hanya informasi? Terkesan untuk hal-hal akademis dan serius? Tentu tidak. Sebagai makhluk “perasa”—yang barangkali kata itu terkesan agak cengeng sehingga saya lebih menyukai istilah “roso” (bahasa Jawa) karena lebih dalam pengertiannya, saya gemar mengajukan “makanan” untuk roso, memastikan saja apakah ia masih dapat menikmatinya atau tidak. Oleh karena itu, saya pun menggali sesuatu dari yang sifatnya hiburan. Jadi, intinya, saya menggali apa saja. Menggali di barang sakral yang disebut ‘buku’. Anehnya, semakin banyak yang saya gali, semakin saya sadar bahwa masih belum banyak yang saya temukan. Anehnya lagi, saya menikmati penggalian itu.

Di tengah masa arus media digital ini, informasi bisa ditemukan di mana pun dengan mudah. Sangat banyak, bahkan pada waktu tertentu terasa terlalu banyak. Dari sekian itu, siapa yang bisa menjamin bahwa semuanya valid? Memang ada media-media yang berusaha menyajikan informasi dengan sevalid, seaktual, dan setepat mungkin. Namun, tidak boleh dilupakan bahwa ada pula media-media yang ingin dapat popularitas saja.

Sebab itulah saya masih mengandal buku. Paling tidak, buku adalah konkretisasi pertanggungjawaban si penulis atas tulisannya. Sebenarnya alasannya tidak serumit itu. Buku menyajikan detail. Detail—yang sering kali berupa informasi penting—itu tidak semua tertera di media digital. Mungkin itu pengaruh keluasan wadahnya juga.

Setelah berbasa-basi dalam tiga paragraf di atas, saya kini segera saja memulai inti. Seperti tahun lalu, saya melakukan hal yang serupa: membaca buku dan mendaftarnya. Alasannya, karena senang-senang saja—sungguh bukan alasan yang ilmiah nan eksposisis. Saya memang senang melihat-lihat apa yang telah berlalu, termasuk dalam urusan mendaftar bacaan (buku) ini. Saya bisa sedikit bernostalgia dengan celetukan “oh, ya, saya pernah membacanya dan saya ingat hal-hal ketika membacanya, yaitu…” Untuk daftar tahun lalu, kamu dapat melihatnya di tautan ini. Klik saja tulisan “tautan ini” itu.

Perkiraan awal, saya hanya bisa membaca sedikit tahun ini. Kuantitas memang tidak menjamin penerimaan pengetahuan. Akan tetapi, saya pikir, kalau ada satu saja pengetahuan dalam setiap satu bacaan, mengapa tidak untuk mengambil lebih banyak bacaan?

Dalam pemilihan bacaan, saya lebih banyak mengikuti rasa ingin tahu. Tidak menentu. Namun, ada bidang-bidang yang saya gemari, seperti sejarah dan sastra, apalagi sejarah perkembangan sastra. Lainnya, saya menyesuaikan dengan tuntutan akademis. Mata kuliah tertentu mengharuskan saya membaca buku tertentu. Mengganggu? Tidak juga. Bahkan, ada beberapa yang saya syukuri karena mungkin tanpa tuntutan mata kuliah itu, saya tidak tahu suatu hal.

Bedanya dengan tahun lalu adalah saya kini tidak terlalu militan untuk membeli buku. Kalau dompet sedang rasa poletar, saya pinjam buku di perpustakaan kampus—ini sering saya lakukan beberapa bulan terakhir. Ada juga pemberian dari teman. Dampaknya tentu ada. Buku-buku yang saya miliki sendiri tidak terlalu banyak bertambah. Padahal, saya punya cita-cita untuk membuat taman baca atau perpustakaan kecil di suatu tempat yang saya semogakan. Saya ingin buku-buku yang ada di sana sudah saya baca terlebih dahulu. Jadi, kalau semisal ada orang datang dan bertanya soal buku tertentu, saya bisa jelaskan. Saya tidak mau menjadi penyebar informasi yang tidak paham isi informasinya.

Saya rasa cukup untuk berbasa-basi lebih panjang. Jadi, inilah daftar buku yang saya baca habis pada 2018 ini. Ada yang belum saya baca habis? Ada. Salah tiga dari yang belum adalah Setelah Revolusi Tak Ada Lagi karya Goenawan Mohamad—yang semakin membuat saya kagum akan keluasan pengetahuan si penulis; Gerwani: Kisah Tapol Wanita di Kamp Plantungan karya Amurwani Dwi Lestariningsih—yang menjadikan saya tahu kisah-kisah penyiksaan yang dialami oleh orang-orang Gerwani atau yang dituduh Gerwani; dan One Hundred Years of Solitude karya Gabriel Garcia Marquez—yang entah kapan bisa saya tamatkan. Saya poin dan urutkan per bulan dan sesuai waktu habis-bacanya. Dimulai dari judul, penulis, penerbit, dan tahun. Saya beri keterangan “terj.” untuk buku terjemahan asing ke Indonesia dan “terj. (bahasa)” untuk terjemahan asing satu ke asing lain. Juga “ed.” untuk editor. Selain itu, tahun yang saya tulis di sini adalah tahun cetak buku yang saya baca, bukan tahun terbit pertama kali.

Januari

1.         The History of the World: from the Dawn of Humanity to the Modern Age. Frank Welsh. Quercus. 2011.

Terima kasih untuk teman saya, Tanisha, yang telah memberikan buku ini. Saya menganggap buku ini sebagai pengantar pengenalan akan sejarah dunia karena pembahasan sejarah di sini hanya permukaannya. Maklum, bagaimana mungkin menulis sejarah yang sedemikian panjang perjalanannya hanya dalam satu buku? Hanya saja, semoga Welsh menyadari bahwa yang benar adalah “Majapahit”, bukan “Majahabit”

2.         Max Havelaar. Multatuli. (terj.) Qanita. 2016.

Buku ini saya dapat dari orang yang sama. Sewaktu SD, Max Havelaar berkali-kali disebut, baik dalam materi pelajaran, buku teks, maupun ujian. Akan tetapi, baru tahun ini saya berkesempatan membaca novel yang bersejarah ini. Lekas cari bagi yang belum baca, mumpung masih banyak di Gramedia—dan sepertinya akan terus banyak.

3.         Cantik itu Luka. Eka Kurniawan. Gramedia Pustaka Utama. 2017.

“Begitulah orang komunis,” kata Sang Shodancho. “Orang-orang malang yang tak tahu bahwa dunia telah ditakdirkan menjadi tempat sebusuk-busuknya. Itulah satu-satunya alasan kenapa Tuhan menjanjikan sorga sebagai penghibur manusia-manusia yang malang.” (hlm. 280)

Sepertinya memang sudah keahlian Eka untuk mengacaukan alur yang jadinya serupa kisah-kisah detektif itu. Dulu juga ketika saya membaca Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas—novel pertama Eka yang saya baca—otak dipaksa keras menebak-nebak apa kisah selanjutnya dan siapa yang akan memerankan apa. Selalu ada "oh, begini ternyata” tiap kali satu bagiannya berlanjut di bagian lain entah dalam bab mana.

Saya sebenarnya sungguh sayang untuk membuka plastik buku ini. Namun, apa daya, saya seperti menikahi seorang wanita yang harus saya buka pakaiannya, betapa pun cantik kain yang membalutnya. Belumlah selesai, saya dikejutkan lagi bahwa si sampul merah itu ternyata hanya pembungkus-pemanis belaka. Ada sampul sesungguhnya di dalamnya yang berwarna cokelat.

Belum apa-apa, Eka sudah menulis “tai” di halaman kedua. Ini pula satu khasnya, yakni menggunakan kata-kata yang dianggap tabu untuk dipergunakan secara umum. Namun, itulah ia. Eka tidak mengkhianati kodrat kata-kata. Kata-kata tidak untuk disembunyikan. Lalu, kita akan berjumpa dengan banyak kata “pelir” dan seminimal mungkin satu “entot” di dalamnya.

Saya sempat mengira bahwa bab ke-16 adalah bab akhir karena terdapat cerita pengakuan. Akan tetapi, bab terakhirlah yang sangat mengecoh dugaan saya ketika kekasih Cantik ternyata bukanlah Maman Gendeng yang moksa.

Ada dua dorongan berironi yang terjadi secara bersamaan ketika membaca novel ini. Pertama, dorongan untuk melanjutkan ke bagian selanjutnya agar mengetahui kisah apa yang sebenarnya. Kedua, dorongan untuk tidak ingin menghabisi rasa penasaran, tidak ingin segera berlanjut. Ini karena Eka cenderung banyak menggunakan akibat-sebab daripada sebab-akibat.

Sayang sekali, Cantik Itu Luka harus berhenti di halaman ke-505—yang mirip judul lagu grup musik terkenal. Saya akan setia menunggu jika Eka bersedia membuat kisah lanjutannya. Terbaik!

Buku ini saya beli di Gramedia Malang saat liburan awal tahun. Sebenarnya tidak sengaja. Saya diajak dua sahabat saya ke sana untuk berjalan-jalan saja. Lantas, sampul novel ini menggoda saya. Jadilah saya bawa pulang. Bungkus!

Februari

4.         Politik. Aristoteles. (terj.) Narasi. 2016.

Saya mendapatkannya di Gramedia Malang sekitar 2016 atau awal 2017—saya agak lupa. Dengan usaha memahami terjemahan yang agak kacau, saya mengikuti tulisan filsuf kelahiran Stagira ini. Ia menjelaskan banyak hal, seperti keadaan pemerintahan di Sparta dan Athena kala itu, kedudukan perempuan—yang ternyata hampir tidak ada nilainya, kebijakan “memangkas” orang-orang yang berpengetahuan lebih, dan betapa musik menjadi salah satu bidang pendidikan utama. Pesan yang saya ingat, pemerintahan tidak akan berjalan jika tidak ada partisipasi dari rakyatnya. Jadi, apa kita harus menyalahkan pemimpin saja sepenuhnya dan seterusnya?

5.         Sastra dan Kekuasaan: Pembicaraan atas Drama-drama Karya W.S. Rendra. M. Yoesoef. Wedatama Widya Sastra. 2007.

Saya lupa waktu itu ada bazar buku dari jurusan mana. Saya kunjungi salah satu meja dan akhirnya menemukan buku karya dosen saya ini. Mas Yoesoev—begitu beliau biasa dipanggil—mengurai drama-drama W.S. Rendra beserta cerita-cerita di baliknya, seperti pelarangan pementasan Rendra di Yogyakarta yang disebabkan drama Sekda­—kalau saya tidak salah judul—dan perkembangan drama pada tahun ’70-an yang sedang gila-gilanya.

6.         Filsafat Skolastik. A. Hanafi. Pustaka Alhusna. 1983.

Waktu itu ada mata kuliah Pengantar Filsafat dan Pemikiran Modern, mata kuliah wajib fakultas. Kelompok saya mendapat bagian untuk menjelaskan filsafat skolastik. Saya pun mencari referensi di perpustakaan pusat. Bertemulah dengan buku ini. Selain penjelasan mengenai pemikiran Plotinus soal emanasi, buku ini memuat pemikiran Philo.

Maret

7.         Tuan Ingin Banyak Kawan? Dale Carnegie. (terj.) Balai Pustaka. 1978.

Terima kasih kepada Nafizal yang berkenan mengirimkan buku ini melalui Zidan, adiknya. Buku ini menjadi hiburan bagi saya. Lebih tepatnya menertawai diri sendiri. Dilihat dari judulnya saja, buku ini sudah memberi tawa sinis.

Ada satu kisah yang saya ingat. Carnegie bercerita tentang sebuah pasukan yang sedang dalam posisi menyerang musuh. Musuh sudah dekat, tinggal habisi saja. Akan tetapi, pemimpin pasukan itu mengirim pesan kepada Lincoln bahwa ia tidak sanggup membunuh mereka. Hati nuraninya yang enggan. Lincoln marah bukan main. Ia pun menulis surat yang berisi kemarahannya. Tepat sebelum mengirimkannya, Lincoln menimbang-nimbang. Ia bertanya dalam diri, bagaimanakah situasinya jika ia mengirimkan surat kemarahannya itu? Lantas, Lincoln tidak jadi mengirimnya. Dimaafkannya pemimpin pasukan itu, meskipun musuh akhirnya bisa kabur. Lincoln tidak ingin sesuatu yang lebih buruk terjadi. Surat itu sendiri baru ditemukan setelah Lincoln meninggal. Begitulah Carnegie memberi contoh soal menghindari sesuatu yang lebih buruk.

Apa dengan membaca buku ini saya jadi lebih baik? Tidak. Saya tetap bajingan, tetapi bajingan yang dicintai (Sartre, No Exit).

8.         Catatan dari Bawah Tanah. Fyodor Dostoyevski. (terj.) Kepustakaan Populer Gramedia. 2018.

Novel ini saya dapatkan di Gramedia suatu mal di Bogor. Ada dua hal yang membuat saya tertarik untuk membacanya. Pertama, saya belum pernah baca novel dari pengarang berkebangsaan Rusia. Kedua, penerjemahnya Asrul Sani.

Dunia bawah tanah yang digambarkan Dostoyevski dalam Catatan dari Bawah Tanah ini mirip bagian bawah gunung es yang tidak diketahui kebesaran dan kedalamannya. Orang-orang hanya tahu dan hanya ingin tahu yang muncul di atas permukaan. Ide penggunaan metode narasi-diri dalam sebagian besar bagiannya menyiratkan bahwa pikiran-pikiran yang tidak dikatakan oleh manusia—yang tersimpan di dalam—jauh lebih banyak. Bahkan, ketika si Aku dengan sadar “terjebak” dalam situasi yang tidak seorang pun membutuhkannya (dalam bagian pertemuan dengan kawan-kawan lama: Simonov, Zverkov, Trudolyubov, dan Ferfitchkin), ia tidak bisa lepas, meskipun telah direncanakan dalam hatinya dengan penuh umpatan dan empat orang itu telah secara halus mengusirnya. Pada akhirnya, ia memilih “tentu saja aku tetap duduk di kursiku” lantas mencari cara agar keresahannya tidak tampak—dengan cara meminum Sherry dan Lafitte bergelas-gelas.

Saya membaca novel yang tepat di waktu yang tepat. Terima kasih, Dostoyevski.

April

9.         Tempurung. Oka Rusmini. Grasindo. 2018.

Entah mengapa, tiap kali saya baca karya Oka Rusmini, tokohnya selalu perempuan. Apa memang tokoh semua karyanya perempuan? Tempurung menyajikan suatu rangkaian. Tokohnya tidak tunggal. Sebenarnya, novel ini berpotensi menarik, tetapi saya kala itu sedang dalam kondisi yang tidak “bagus” sehingga tidak terlalu menikmatinya.

10.       Sampar. Albert Camus. (terj.) Narasi. 2017.

Buku yang saya kira novel ini ternyata berisi drama. Sungguh saya memang tidak tahu bahwa Sampar adalah drama. Ini perjumpaan pertama saya dengan Camus dan saya mendapatkan kesan baik.

Yang paling saya ingat tentu si tokoh Gubernur. Ia tahu bahwa di daerahnya sedang terjadi wabah sampar. Namun, ia lebih memilih untuk tidak membesar-besarkannya. Bukan berarti ia tidak peduli, melainkan agar kondisi masyarakat tidak semakin panik. Sekali lagi saya mendapatkan suguhan soal kebimbangan hati seorang pemimpin. Relevan? Mungkin.

11.       Ikan-ikan dari Laut Merah. Danarto. DIVA Press. 2016.

Dari sekian banyak kumpulan cerpen Danarto, barangkali inilah yang kurang populer atau jarang disebut. Saya menemukannya di Big Bad Wolf Jakarta—yang sebenarnya Tangerang Selatan. Dalam kumcer ini, tema yang diangkat Danarto tidak jauh dari keimanan.

12.       Perempuan Patah Hati yang Kembali Menemukan Cinta Melalui Mimpi. Eka Kurniawan. Bentang. 2016.

Dari beberapa karya Eka yang saya baca, kumpulan cerpen inilah yang paling tidak meninggalkan kesan tertentu. Bukan berarti tidak bagus sama sekali. Mungkin karena eskpektasi saya yang terlalu tinggi atas karya-karya Eka yang saya baca sebelumnya sehingga tidak terlalu terasa "wah" ketika membaca yang ini.


13.       Lelaki Harimau. Eka Kurniawan. Gramedia Pustaka Utama. 2017.

Keasyikan membaca Lelaki Harimau adalah mengikuti perkembangan masing-masing tokohnya. Dengan akhir cerita yang sudah ditaruh di awal, apa yang bisa diharapkan dari sebuah novel? Akan tetapi, Eka justru menabrak ketentuan “akhir harus di akhir” dan berhasil menciptakan rasa penasaran. Yang saya rasa agak kurang justru porsi untuk cerita tentang harimau itu sendiri. Latar belakang kemunculannya kurang panjang.

14.       O. Eka Kurniawan. Gramedia Pustaka Utama. 2018.

“Mas, yang sampul monyet udah habis!” Begitu kata seorang pegawai Gramedia Depok yang saya mintai tolong untuk mencarikan novel ini. Yang tersisa tinggal novel sampul baru. Daripada pulang membawa kehampaan, saya “sikat” saja yang ada.

Seperti biasa, Eka menyuguhkan model akibat-sebab. Kali ini ia memasukkan sedikit fabel. Bagian favorit saya adalah masa ketika O tidak nafsu melakukan apa-apa. Sebegitu kerasnya kenyataan menghantam impian. Cup cup, O.

15.       Sejarah Tuhan. Karen Armstrong. (terj.) Mizan. 2016.

Tuhan punya sejarah? Barangkali Karen Armstrong bermaksud untuk membuat judul Sejarah Perkembangan Pandangan Manusia tentang Tuhan dalam Tiga Agama Besar, tapi dirasanya terlalu panjang dan tidak cukup clickbait.

Terima kasih, Karen. Melalui tulisan Anda, saya jadi tahu bahwa ada atribut yang kerap dicap sebagai atribut agama tertentu ternyata hasil kebudayaan dari masyarakat sebelumnya—sebelum kemunculan “resmi” agama itu. Selain itu, saya tertarik dengan kisah Musa yang naik Gunung Sinai dan bertemu dengan Tuhan.

Mei

16.       Sapiens. Yuval Noah Harari. (terj.) Kepustakaan Populer Gramedia. 2018.

Buku ini cocok untuk pembaca yang ingin mengetahui sejarah dan perkembangan Homo sapiens secara ringkas. Mulai dari dataran Afrika, Erasia, Australia, sampai Amerika. Apakah perkembangan si manusia berakal ini selalu berdampak baik? Tidak juga. Kedatangan mereka di dataran Australia diidentifikasi sebagai awal mula kepunahan bagi hewan-hewan besar Australia. Itu terjadi sekitar 40.000 tahun yang lalu.

17.       Berkenalan dengan Eksistensialisme. Fuad Hassan. Pustaka Jaya. 1976.

Dalam buku ini, Hassan memperkenalkan pemikiran-pemikiran lima filsuf eksistensialisme: Kierkegaard, Nietzsche, Jaspers, Sartre, dan… saya lupa satu lagi siapa. Di buku inilah saya menemukan teori Sartre soal facticity (kefaktaan). Kefaktaan membahas kemutlakan manusia dan faktor-faktor yang mengurangi penghayatan kebebasan. Menurut Sartre, manusia adalah makhluk yang bebas. Oleh karena itu, kebebasan juga mutlak karena eksistensi manusia dibentuk dari kebebasan yang mendorong individu untuk terus menjadi manusia yang menjadi. Namun, kebebasan itu sering mengalami hambatan dalam penghayatannya. Hambatan tersebut adalah kefaktaan yang dimaksud oleh Sartre. Kefaktaan bukan batas-batas yang mengurangi kemutlakan itu, tetapi kenyataan-kenyataan yang menyebabkan kurangnya penghayatan kebebasan, seperti tempat manusia berada, masa lampau, lingkungan sekitar, eksistensi orang lain, dan kematian.

Saya pikir, jika “manusia” adalah tujuan, seperti kata Sartre, konsep Ubermensch Nietzsche adalah berlebihan. Namun, saya masih perlu menggali pemikiran Nietzsche. Masih banyak yang belum saya tahu. Yang tadi hipotesis saja.

18.       Existentialism. Jean-Paul Sartre. (terj. Ing.) The Philosophical Library. 1947.

Wanna know about this book? Read it by yourself.

19.       Corat-Coret di Toilet. Eka Kurniawan. 2016. Gramedia Pustaka Utama

Keliaran memang sudah ditakdirkan untuk hidup di kepala Eka sepertinya. Ide-ide dalam cerpen-cerpennya ini menarik. Banyak hal tidak terduga juga. Yang paling berkesan adalah cerpen yang judulnya adalah judul kumcer ini. Pendapat bisa disampaikan di ruang yang paling tidak disangka dan terkadang lebih jujur daripada media massa.

Membaca kumcer ini, membuat saya sedikit kangen dengan fakultas filsafat dan orang-orangnya yang liar. Liar tanpa tanda kutip.

20.       Potret Seorang Penyair Muda sebagai si Malin Kundang. Goenawan Mohamad. Pustaka Jaya. 1972.

Saya pernah menulis tinjauan kecil-kecilan soal buku ini. Silakan klik di sini.

21.       Catatan Pinggir 12. Goenawan Mohamad. Tempo Publishing. 2017.

Kalau saya ditanyai soal esais paling ciamik di Indonesia, nama pertama yang saya sebut adalah Goenawan Mohamad. Ini orang pengetahuannya luas sekali. Hal remeh bisa jadi menarik. Esainya—atau dalam hal ini disebut ‘catatan’—yang paling memberi kesan dalam buku ini adalah esai “Pemimpin”. Entah mengapa sejak tahun ini saya banyak menyorot pembahasan mengenai itu. Katanya dalam esai itu, “Kekuasaan mengurung orang dalam kesendirian, dan terkadang mengutuknya dalam kesepian.” Relevan? Mungkin.

Juni

22.       Semua Ikan di Langit. Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie. Grasindo. 2017.

Sejujurnya bagian awal novel ini terasa biasa. Malah terkesan seperti novel teenlit. Akan tetapi, semakin jauh halaman, semakin terasa bahwa novel ini bukan sekadar cerita biasa, bukan sekadar soal bus yang bepergian. Ziggy bicara soal ketuhanan dengan cara yang paling menggemaskan. Oleh karena itu, saya jadi tidak heran bahwa novel ini memenangi sayembara novel Dewan Kesenian Jakarta pada 2016.

23.       Dunia Sophie. Jostein Gaarder. (terj.) Mizan. 2017.

Masa ketika saya membaca ini adalah masa ketika liburan semester. Saya pulang kampung. Sambil membaca buku yang saya bawa dari Depok, saya iseng membaca buku yang dipunyai adik saya ini. Tidakkah saya terlalu tua untuk membaca buku legendaris ini? Bisa jadi, tetapi tidak masalah.

24.       Gergasi. Danarto. DIVA Press. 2016.

“Ini yang nulis manusia?” Begitulah kata pikiran saya ketika membaca kumpulan cerpen ini. Seperti ucapan Danarto, kumcer ini benar-benar masyaallah.

Juli

25.       A Little History of Science. William Bynum. Yale University Press. 2012.

Saya membelinya secara tidak sengaja. Yang saya buru sebenarnya adalah A Little History of Economics karya Niall Kishtainy. Buku ini tidak ada di Gramedia. Hanya ada di Periplus. Lantas, saya mencarinya di Periplus Plaza Indonesia. Sampai di sana, yang saya cari tidak ada. Saya tidak mau pulang membawa kekosongan. Akhirnya, saya beli yang sains ini. Baru membacanya ketika liburan di rumah. Lumayan untuk menambah pengetahuan saya soal perkembangan sains. Jadi, sekarang coba tebak, angka yang kita gunakan ini berasal dari mana? Arab? Ya, jawaban kamu lumayan. Namun, akan lebih tepat jika kamu menjawab “India”. CMIIW.

26.       Guns, Germs & Steel. Jared Diamond. (terj.) Kepustakaan Populer Gramedia. 2018.

Buku yang diterjemahkan menjadi Bedil, Kuman, & Baja ini hampir membuat saya lupa makan seharian. Diamond secara asyik menguraikan faktor-faktor yang membangun peradaban. Yang tidak saya sangka, orientasi sumbu benua ternyata berpengaruh. Dalam hal itu, Erasia—kalau kata anak-anak muda—menang banyak. Bagian paling menarik, Diamond menjelaskan perkembangan aksara, jenis-jenisnya, serta persebaran bahasa Austronesia—yang saya perhatikan jalurnya mirip mata pancing. Penjelasannya mengenai hal tersebut jauh lebih detail dari yang saya dapat di mata kuliah Bahasa-bahasa di Indonesia.

27.       Aroma Karsa. Dee Lestari. Bentang. 2018.

Semasa SMA, saya pernah dipinjami salah satu seri Supernova oleh teman saya. Namun, saya tidak terlalu minat. Akan tetapi, waktu Dee hendak menerbitkan buku ini, melalui segala promosi pracetaknya, saya berkata dalam hati bahwa saya harus baca yang ini. Alasannya, Dee membawa tema yang mungkin baru atau sangat jarang dibahas di Indonesia, apalagi dalam bentuk novel. Ia membahas soal bau. Saya segera teringat akan film Perfume: The Story of a Murderer.

Dee mencampurkan persoalan tersebut dengan sejarah dan mitos yang berkembang di daerah Karanganyar, Jawa Tengah. Yang membuatnya semakin menarik, sebelum menulis novel ini, Dee benar-benar melakukan riset. Salah satunya ke Bantar Gebang. Ia juga mempelajari jenis-jenis senyawa penyusun aroma. Pada suatu waktu ketika membaca novel ini, saya teringat pelajaran kimia.

28.       Bumi Manusia. Pramoedya Ananta Toer. Lentera Dipantara. 2018.

Saya tidak akan rela dan lega jika film Bumi Manusia muncul, sementara saya belum membaca novelnya. Oleh karena itu, sebelum itu muncul, saya membacanya terlebih dahulu. Dorongan untuk membacanya semakin bertambah ketika saya bertemu dengan teman saya yang juga Pemimpin Umum Balairung Press 2018, Unies, di sebuah angkringan di sebelah Stasiun Yogyakarta. Ia menyatakan bahwa novel ini wajib saya baca. Juga novel lain dalam tetralogi ini.

Kalau Hanung Bramantyo pernah berkomentar bahwa novel ini soal percintaan, saya tidak sepenuhnya menyangkal. Bagian awal memang terasa kental dengan hal tersebut. Namun, semakin jauh, Bumi Manusia menampakkan dirinya bahwa ia bukan sekadar novel percintaan. Aspek sosial, politik, dan tentunya kesejarahan menjadi pendukung yang kuat. Bagian favorit? Pergolakan batin Minke ketika harus berjalan-menyeret, mengikuti adat yang berlaku. Saya sangat setuju dengannya bahwa ada kebiasaan yang memang harus ditentang.

29.       Wiji Thukul: Teka-Teki Orang Hilang. Arif Zulkifli, dkk. Kepustakaan Populer Gramedia. 2016.

Buku ini juga pemberian Tanisha. Entah mengapa teman saya yang satu ini suka sekali memberi buku kepada saya. Bukunya pun bukan buku biasa.

Pada tahun 2017, saya dan beberapa teman jurusan datang ke acara Mata Najwa. Waktu itu masih di Metro TV. Topik yang dibahas malam itu adalah perjalanan hidup Soe Hok Gie dan Wiji Thukul. Oleh karena itu, ketika membaca buku ini, kepala saya sudah punya sedikit gambaran tentang Wiji.

Yang baru saya tahu, takdir kejar-kejaran yang dialami oleh Wiji bermula dari keikutsertaannya dalam politik praktis di Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat (Jaker). Jaker berafiliasi dengan Partai Rakyat Demokratik (PRD). Setelah terjadi kerusuhan 27 Juli 1996 di Jakarta yang menyangkutpautkan PRD—dan otomatis Jaker juga, hidup Wiji menjadi tidak menentu. Ia diburu. Bahkan, ia sampai harus lari ke Bengkulu dan Kalimantan. Di Kalimantan, ia mengubah identitasnya. Nasibnya tidak jelas sampai sekarang. Di manakah ia?

akulah bocah cilik kurus itu
yang tak pernah menang bila berkelahi
— Wiji Thukul, “Megatruh Solidaritas”

Agustus

30.       Dalam Bayangan Bendera Merah. Anton Kurnia. Basabasi. 2017.

Dalam buku ini, saya menemukan kisah yang hampir mirip dengan perjalanan Wiji. Tokohnya adalah salah satu sastrawan Indonesia, Utuy Tatang Sontani. Utuy memilih bergabung dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Sama seperti Wiji, inilah awal “mimpi buruk” bagi Utuy. Pascakejadian ’65, Utuy menjadi eksil di Tiongkok dan kemudian pindah ke Rusia pada 1971 sampai akhir hayatnya pada 1979.

31.       Rumah Kaca. Pramoedya Ananta Toer. Lentera Dipantara. 2018.

Idealnya, dalam membaca tetralogi, pembacaan dilakukan dari seri pertama, kedua, ketiga, baru yang keempat. Namun, karena tidak kunjung mendapatkan yang kedua, Anak Semua Bangsa, apalagi yang ketiga, Jejak Langkah, saya terpaksa meloncat ke bagian paling akhir, Rumah Kaca.

Tokoh utamanya—yang juga sebagai pencerita—bukan lagi Minke, melainkan Pangemanann (dengan dua “n”). Ia adalah orang yang “memberi” takdir atas kehidupan akhir Minke. Memantau Minke melalui “rumah kaca”. Menariknya, Pangemanann mengalami pertentangan batin yang kuat dalam menjalankan tugasnya. Ia bahkan kerap berhalusinasi—semacam skizofrenia. Segala cerita dalam novel ini yang demikian membuat saya asyik menamatkannya sampai sekitar pukul 1 pagi. Saya pun sempat mencatat beberapa bagiannya.

“Kita hanya pemain-pemain catur dalam pertarungan yang sudah diatur lebih dulu.” (hlm. 228)

“Ya, harus manis dan sopan senyum itu, karena itulah adat kolonial yang harus dimuliakan di antara bawahan terhadap atasan.” (hlm. 323)

“Benar sekali, bahwa pada jamannya agama juga politik.” (hlm. 325)

32.       Bukan Pasar Malam. Pramoedya Ananta Toer. Lentera Dipantara. 2018.

Ketertarikan saya terhadap Pramoedya dalam tetralogi membuat saya ingin tahu karya-karyanya yang lain. Bukan Pasar Malam adalah salah satu yang banyak dibicarakan orang. Saya selalu tertarik dengan keadaan pertentangan batin suatu tokoh. Hal itu saya temukan juga di sini. Perjalanan pulang di kereta ke Blora adalah lanskap paling indah dalam novel ini.

Bicara soal Blora, ketika membaca ini, saya baru menyadari bahwa kakek saya juga orang Blora. Apakah ia mengenal Pramoedya? Saya ingin menanyakannya, tapi bagaimanakah cara berkomunikasi dengan orang yang sudah dikubur?

33.       Sekali Peristiwa di Banten Selatan. Pramoedya Ananta Toer. Lentera Dipantara. 2018.

Sekali Peristiwa di Banten Selatan bisa disebut sebagai novel, bisa juga disebut sebagai drama. Tidak banyak hal menarik dalam novel ini. Happy ending selalu membuat saya agak sad.

34.       Laut Bercerita. Leila S. Chudori. Kepustakaan Populer Gramedia. 2017.

Selain Aroma Karsa dari Dee, novel karya penulis perempuan yang juga saya incar adalah Laut Bercerita. Isinya soal orang-orang yang diburu kemudian dihilangkan. Sungguh sayang, porsi romance di sini, saya rasa, terlalu banyak, walaupun dalam satu bagiannya ada yang asyik. Padahal, saya menaruh harapan bahwa novel ini lebih banyak bercerita sisi sejarah.

35.       Cerita dari Digul. Pramoedya Ananta Toer (ed.) Kepustakaan Populer Gramedia.

Tanpa tahun? Iya. Saya juga heran. Saya bolak-balik di halaman mana pun tetap tidak menemukan tahun cetaknya. Saya membaca Cerita dari Digul sampul lama, bukan yang baru (merah).

Pada suatu masa, ada orang-orang yang diasingkan ke Digul. Digul adalah tempat bau kematian lebih mudah tercium daripada bau kehidupan. Mereka yang air kencingnya berwarna hitam tinggal menunggu waktu saja.

Kalau tidak salah, ada empat tulisan dalam buku ini. Masing-masing ditulis oleh orang berbeda.


36.       Pasar. Kuntowijoyo. DIVA Press dan Mata Angin. 2017.

Saya telah menulis tinjauan singkatnya di satu bagian khusus. Silakan klik di sini.


37.       Rafilus. Budi Darma. Nourabooks. 2017.

Saya juga telah menulis tinjauan singkatnya di satu bagian khusus. Silakan klik di sini.

38.       Sastra Kota: Bunga Rampai Esai Temu Sastra Jakarta 2003. Ahmadun Yosi Herfanda, dkk. (ed.) Dewan Kesenian Jakarta dan Bentang Budaya. 2003.

Rupanya Dewan Kesenian Jakarta pernah mengalami kebingungan dalam arah penciptaannya. Satu sisi, DKJ membawa nama “Jakarta” dan bertempat di Jakarta yang berarti mereka seharusnya lebih memunculkan kesenian di Jakarta. Akan tetapi, karena Jakarta adalah wajah Indonesia, mau tidak mau DKJ juga dianggap sebagai lembaga yang menaungi kesenian di Indonesia. Pada akhirnya, yang terakhir inilah yang lebih terfungsikan.

39.       “Sastrawan Malioboro” 1945—1960: Dunia Jawa dalam Kesusastraan Indonesia. Farida Soemargono. Penerbit Lengge. 2004.

Setelah membaca buku ini, saya segera mencari foto Malioboro tempo dulu melalui Google. Saya membayangkan Nasjah Djamin “nongkrong” dengan kawan-kawannya, termasuk Motinggo Busje, di angkringan atau warung-warung sambil memandangi gadis-gadis Jogja. Apa Djamin juga suka makan mi dok-dok seperti saya? Entahlah. Yang patut dipertanyakan, mengacu buku ini, adalah peran Jassin sebagai paus sastra Indonesia. Apakah ia adalah paus sastra Indonesia atau paus sastra Jakarta?

September

40.       Anak Semua Bangsa. Pramoedya Ananta Toer. Lentera Dipantara. 2015.

Setelah mencari ke mana-mana—Gramedia Depok, Gramedia Matraman, dan Gramedia Grand Indonesia, novel ini ternyata saya dapatkan dari teman sejurusan saya, Zulfi. Lebih tepatnya, saya meminjam. Sayang sekali tidak bisa saya miliki sendiri.

Dengan dorongan ucapan seseorang di Goodreads yang mengatakan bahwa seri ini adalah yang terbaik dari novel lain dalam tetralogi, saya semakin bersemangat membacanya. Ternyata, apalah dikata. Tidak semenarik itu. Malah, menurut saya, novel ini menempati posisi terakhir setelah Rumah Kaca, Jejak Langkah, dan Bumi Manusia. Satu-satunya bagian yang saya suka adalah bagian akhirnya. Di situ Maurits Mellema “disidang” habis-habisan oleh Minke dan orang-orang terdekatnya. Bahkan, May yang masih kecil pun terbawa perasaan marah ketika ia tahu bahwa orang yang di depannya itulah si pembunuh Annelies.

41.       Ziarah. Iwan Simatupang. Noura Books. 2017.

“Tiap orang mati, adalah sarjana kehidupan.” (hlm. 215)

Novel yang diterbitkan pertama kali lebih dari empat puluh tahun lalu ini semacam prediksi bagi masa sekarang. Banyak sekali yang ditulisnya di sini terjadi pada masa ini. Yang paling saya ingat adalah perbincangan soal bunuh diri.

“Dan, apa yang abadi, pastilah baik. Kalau tidak, pasti ia tak abadi. Hal ini juga menjelaskan, mengapa jumlah orang bunuh diri akhir-akhir ini makin banyak juga. Mereka bahkan menyebutnya sebagai penyelesaian modern; lepas dari tafsiran kita masing-masing apanya yang selesai, apanya yang modern. Bagi saya, yang menarik dari persoalan bunuh diri ini bukanlah soal modernnya, melainkan pembuktian untuk kali kesekian bahwa unsur tragik masih dimiliki manusia dalam bentuk yang spesifik manusia. Yakni, keagungan.”(hlm. 174)

Dalam novel ini, juga dikesankan bahwa dialog terkadang hanyalah dua monolog yang ingin diucapkan serempak. Saya lupa di halaman berapa Iwan menyatakan itu.

42.       Kumpulan Karangan II. Mohammad Hatta. Penerbitan dan Balai Buku Indonesia. 1953.

Buku jang punja tahun 1953 ini adalah kumpulan tulisan analisis Hatta yang diambil dari madjalah dan surat kabar, seperti Daulat Rakjat, Persatuan Indonesia, Pandji Islam, dan Pemandangan. Tulisan2 itu punja waktu muntjul dari 1929—1941. Hatta membahas banjak hal.

Salah satunja ialah djandji kemerdekaan jang akan diberikan Amerika kepada Filipina. Tentu djandji sematjam itu sepintas terdengar manis. Akan tetapi, Hatta meragukanja. Dengan tegas, Hatta menjatakan suatu pertanjaan sengit, “Bolehkah mulut pendjadjah dipertjajai?” Hatta tidak lupa buat mempertimbangkan sebab Amerika ada punja djandji seperti di atas. Sebabnja ialah kaum tani Amerika merasa tersaingi dengan hasil tani Filipina jang masuk ke Amerika. Persaingan ini tidak akan berhenti djika Filipina berada di tangan Amerika sehingga Amerika harus melepas Filipina. Sementara itu, Partai Republik di Amerika menganggap Filipina belum sanggup merdeka karena belum punja stable government. Lantas, bagaimana hasilnja? Hatta tidak menjimpulkan.

Hatta agaknja seorang pemudja Perantjis. Berkali2 ia sebut negara itu sebagai tjontoh jang baik. Menurutnja, semangat Perantjis, terutama peristiwa revolusi Perantjis pada 1789, telah menginspirasi bangsa2 di berbagai benua untuk mendapat kemerdekaan. Djadi, apakah Hatta benar2 termasuk golongan anti tjolonial tjolonial tjlub?

Oktober

43.       Harimau! Harimau! Mochtar Lubis. Yayasan Pustaka Obor Indonesia. 2018.

Menurut Sartre, ada lima kefaktaan eksistensialisme (facticity) yang tidak mungkin dihindari manusia. Salah satunya adalah masa lalu. Masa lalu menjadi kekasih utama yang senantiasa mengiringi hidup seseorang, entah dibenci atau dicintai.

Para lelaki dalam novel ini pun demikian. Tersesat dalam hutan masa lalu yang menjadikannya ketakutan semipermanen, bahkan ada yang mencapai kepermanenan. Harimau layaknya malaikat maut yang mengintai mereka.

Manusia, jika tidak mendatangi, ia didatangi. Jika tidak memburu, ia diburu. Akan tetapi, ada juga yang tidak hendak memburu. Ia tidak berhasrat apa-apa sampai suatu kali datang harimau memburunya. Maka, terciptalah hasrat pemalasdendaman: menjadi harimau baru yang akan melahirkan harimau lain.

Novel ini saya dapatkan di Indonesia International Book Fair 2018 di JCC Senayan, Jakarta.

44.       Jejak Langkah. Pramoedya Ananta Toer. Lentera Dipantara. 2015.

Lagi-lagi saya dapat pinjam dari Zulfi. Sebenarnya ini buku kepunyaan Bari. Buku ini masih ada di meja indekos saya sampai sekarang.

Jejak Langkah mengakhiri pembacaan saya atas tetralogi. Ceritanya lebih memikat daripada Anak Semua Bangsa. Saya mencatat sebagiannya.

“Bagaimanapun tentunya ia seorang wanita yang cerdas. Dan kecerdasan untuk seorang wanita adalah kecantikan tambahan. Kalau dia seorang yang sudah pada dasarnya cantik, dia akan menjadi bintang di antara wanita.” (hlm. 619)

45.       Tiba Sebelum Berangkat. Faisal Oddang. Kepustakaan Populer Gramedia. 2018.

Kalau ada nominasi untuk novel paling menjijikkan, Tiba Sebelum Berangkat bisa menang tanpa perlu menunggu pengumuman. Bagaimana tidak? Di penjara, seseorang dipotong lidahnya dan, karena terdesak, ia memakan tahi kering dalam kantong plastik, tahinya sendiri.

Ketika membacanya, yang terlintas selain ceritanya sendiri adalah novel-novel lain yang pernah saya baca. Seperti perpaduan antara Laut Bercerita dan Pasung Jiwa dengan sedikit dibumbui gaya Pramoedya dalam tetralogi. Khasnya, tidak lain dan tidak bukan adalah kisah kesulawesiselatanannya tentang bissu.

Dengan segala kepenjijikannya, Tiba Sebelum Berangkat tidak lupa menaruh bumbu, yakni kisah sepasang lawan jenis. Uniknya, Oddang tidak membuatnya sebagai kisah klise. Perempuan, yang biasanya digambarkan sebagai makhluk hangat atau dingin, digambarkannya sehingga mencapai taraf panas api biru. Kisahnya seperti ini… lalu… Setelah itu… Jadi… Silakan baca sendiri.

46.       Laluba. Nukila Amal. Gramedia Pustaka Utama. 2018.

Memulainya dengan keabstrakan. Betapa segalanya berjalan dari satu gang kecil-sempit-gelap dan masuk ke labirin yang tidak akan membiarkan siapa saja keluar. Siapa saja juga tidak akan membiarkan dirinya keluar dari labirin, dari cerita-cerita dalam kumpulan cerpen ini.

Bagian terbaiknya ada di cerpen “Kembang Api”. “Kita berdiri bersisian dalam kerumunan penonton yang membentuk lingkaran, tempat kita kecil saja” seolah menyuarakan bahwa ada yang mesti ditertawakan atas kejatuhan. Bahwa, ada yang mesti dirayakan atas kenestapaan. Apakah itu? Sesuatu yang kita seharusnya mesrai.

Laluba, yang muncul di sana, muncul juga sesekali di kepala saya. Beberapa detik saja kemudian turun mencapai kedalaman gelap. Apakah memang harus begitu: menyaksikanmu sekejap saja?

November

47.       Collapse. Jared Diamond. (terj.) Kepustakaan Populer Gramedia. 2018.

Saya tidak mungkin merangkum isi seluruh buku ini. Hanya percayalah, sosok di balik layar keruntuhan peradaban manusia adalah manusia sendiri. Sepertinya sudah pasti, ya?

Meskipun bukan prosa-puitis, beberapa bagian dalam buku ini menyajikan titik bawah manusia dan peradabannya yang—secara paradoks—indah. Misalnya, penduduk terakhir Pulau Paskah yang menanti kapal-kapal kecil mati satu per satu sampai orang yang paling akhir tidak mampu membayangkan bagaimana rupa kapal. Atau, “pengorbanan” korban genosida Rwanda yang disutradarai oleh kaum elite modern untuk menjaga kekuasaan. Juga, kisah Balaguer, seorang pemimpin Dominika yang tidak dipahami rakyatnya.

“Hidup maupun sejarah bukanlah untuk orang-orang yang mencari kesederhanaan dan konsistensi,” kata Diamond (hlm. 467). Begitu yang ia ucapkan, barangkali untuk menggambarkan bahwa kemutlakan adalah kemustahilan di dunia nyata ini. Bahwa pernyataan “manusia adalah makhluk berakal” juga dapat disangkal, bukan sekadar pendapat asal. Mari kita lihat manusia atau bangsa mana yang akan runtuh selanjutnya.

48.       Lorna. R.D. Blackmore. (terj.) Pustaka Jaya. 1977.

“Apa yang ingin saya ketahui adalah sesuatu yang takkan seorang pun dapat menerangkannya kepada saya: Apakah saya ini, mengapa saya di sini, dan kapan saya akan bisa hidup bersama mereka? Dikau nampaknya agak terkejut akan kepenasaran saya. Barangkali pertanyaan demikian tak pernah terlontar dari pikiran siapa pun. Tapi ada dalam lubuk hati saya dan saya takkan dapat melenyapkannya.” (hlm. 53—54)

Ketika iseng main ke toko-buku kecil di kompleks Taman Ismail Marzuki pada November lalu, saya menemukan novel terjemahan bersampul menarik berjudul Lorna. Novel ini berjudul asli Lorna Doone yang diterbitkan akhir abad ke-19 di Inggris. Diterjemahkan dan diterbitkan oleh Pustaka Jaya pertama kali pada 1972. Buku yang saya punya ini adalah cetakan kedua, yakni terbit pada 1977.

Lorna mengingatkan saya akan Annelies (Bumi Manusia) dalam hal suka menangis. Pun ia digambarkan sangat cantik dan baik. Kebaikan juga dimiliki sang tokoh utama: John Ridd. Sejujurnya, saya cukup bosan mengikuti kebaikan kedua tokoh ini. Ditambah akhir yang bahagia—entah mengapa saya kurang suka dengan cerita yang berakhir bahagia. Namun, melihat kembali tahun novel ini dibuat, kebosanan saya agak hilang dengan pemakluman. Mungkin pada saat itu tokoh statis dan akhir cerita bahagia memang menjadi khas. Sementara itu, saya senang karena Blackmore mengisahkan Ridd kecil yang suka mencari ikan di sungai pada awal cerita. Mengingatkan saya akan masa kecil ketika satu-satunya sungai yang saya kenal adalah sungai jernih di desa, belum sungai kehidupan yang jenuh.

49.       Secangkir Teh Melati. Bunjamin Wibisono. Kepustakaan Populer Gramedia. 2018.

Membaca Secangkir Teh Melati, mengingatkan saya akan satu kesukaan masa lalu: membacai cerita orang di blog masing-masing. Lebih terasa intim karena kalimat-kalimat ditulis dengan sedikit metafora dan bias. Bunjamin Wibisono menghadirkan hal semacamnya kembali dalam tulisan yang tidak mudah digolongkan dalam kategori: antara novel—yang biasa diasosiasikan dengan fiksi—atau autobiografi—yang memang apa adanya. Atau, tidak perlulah digolongkan karena pekerjaan menggolong-golongkan hanya untuk ekstremis dan fanatis.

Yang ditawarkan Wibisono adalah Jakarta (dominan), Bogor, beberapa kota lain, serta Inggris sekitar tahun ’50—’70-an. Dari Madja ke Roxy; Roxy ke Kwitang; Kwitang ke Salemba; Salemba ke Rawamangun; dan dari Rawamangun ke tempat mana saja seperti tiada lelah. Pertemuan dan pertemanannya dengan Soe Hok Gie dan Mochtar Lubis juga tidak luput diceritakan oleh si Aku.

Sesungguhnya, saya masih heran soal bagaimana naskah yang pasti sudah mengalami proses sunting ini bisa lolos cetak. Memang ada kebebasan untuk ragam sastra, tetapi yang terjadi di sini adalah lolosnya kesalahan-kesalahan “kecil” berulang (banyak), seperti kata awal kalimat yang tidak dipisah dari tanda titik (.) kalimat sebelumnya. Selain itu, banyak juga “di” sebagai awalan yang seharusnya digabung dengan kata dasar ditulis terpisah, seperti “di beli” yang seharusnya “dibeli” (hlm. 102). Saya juga menemukan kata “numpak” (hlm. 202). Lah, memangnya Numpak RX King-nya Sodiq? Apalagi, kalimatnya “Berkat beliau aku bisa numpak Air India ke Inggris”. Tapi, memang, sih, bahasa Indonesia belum punya istilah yang pas untuk menyatakan “naik” (untuk pesawat, mobil, dan alat transportasi lain yang orangnya harus masuk). Mari kita tanyakan kepada Ivan Lanin.

50.       Pelajaran Mengarang: Cerpen Pilihan KOMPAS 1993. Seno Gumira Ajidarma, dkk. Kompas. 1993.

Setelah membaca dua kumpulan cerpen Kompas (cerpen pilihan 2016 dan 1993), “kegemasan” saya terhadap Kompas dalam pemilihan judul—dan cerpen terbaik—semakin bertambah. Bagaimana bisa “Pelajaran Mengarang” mendapat lima suara dari anggota tim penyeleksi dan menjadi judul untuk ini? Sementara, “Sepotong Senja untuk Pacarku” yang lebih beralur dan lebih kaya imajinasi latar hanya mendapat empat suara. Dua cerpen itu ditulis oleh orang yang sama: Seno Gumira Ajidarma.

Dalam kumcer ini, ada berbagai sindiran yang coba disampaikan para penulis. Misalnya, Putu Wijaya menyindir tingkah laku orang-orang yang tak tahu terima kasih melalui cerpen "Dasar". Julius R. Siyaranamual melalui cerpen "Pencuri" juga menyindir secara eksplisit dengan kalimatnya "Apakah masih ada orang di negeri ini yang tidak mencuri?" Namun, sindiran paling mantap datang dari "Sepotong Senja untuk Pacarku". Seno menulis "Senja! Senja! Cuma seribu tiga!" (hlm. 19) sebagai bentuk kerisihannya menyaksikan harga "senja" yang direduksi menjadi puisi-puisi receh oleh anak-anak tanggung. Sekarang masih relevan, kok. Hehe.

Juga dengan kumcer ini, saya pertama kali baca tulisan Bondan Winarno. Saya lebih mengetahuinya sebagai pembawa acara kuliner. Judul cerpennya di sini adalah "Santa". Ada satu kalimat yang saya suka dari cerpen ini: "Aku hanya seorang buruh sementara di toko besar itu." Bukankah kita semua adalah pesuruh di dunia ini?

Desember

51.       Lima Drama. B. Soelarto. Gunung Agung. 1985.

Drama-drama dalam kumpulan ini memang meniangkan zaman revolusi dan konflik-konfliknya sebagai tema utama. Namun, saya justru tertarik mengikuti alur pembunuhan yang terjadi dalam setiapnya. Pembunuhan—dalam cerita apa pun—selalu menawarkan cara pandang lain bahwa tidak ada yang mutlak dalam kefanaan ini. Bahkan, dalam buku yang berjudul Memahami Pembunuhan (Kompas, 2014), Eko Hariyanto menyatakan bahwa sekitar delapan puluh persen pembunuhan dipicu oleh korbannya. Begitulah kalau saya tak salah ingat angkanya.

Kiranya ada pula penyusunan drama-drama di sini berdasarkan tingkat kemenangan tokoh perempuannya. Mungkin Soelarto tidak sengaja menempatkannya; mungkin kebalikannya. Dalam "Domba-domba Revolusi", drama urutan pertama, tokoh perempuan yang juga bernama Perempuan menjadi serigala terakhir, pembunuh pemungkas. Drama kedua, "Gempa", menempatkan perempuan sebagai letnan yang juga bertahan sampai akhir. Ketiga, "Abu", sedikit anomali: Nyonya X hampir saja jadi penguasa harta Tuan X, tetapi harus mati ditembak. Keempat, "Bapak", menjadikan perempuan sebagai karakter yang biasa. Hanya saja posisinya sebagai anak bungsu. Sebuah posisi yang bisa dibelokartikan menjadi hal yang di bawah. Terakhir, "Insan-insan Malang", si perempuan yang bernama Wati tidak termasuk dalam tokoh dan diceritakan bahwa ia mati dibunuh pikiran, bunuh diri. Yang terakhir ini mengingatkan saya akan tokoh drama yang saya buat di kelas Pengkajian Drama. Bedanya, Wati menjadi tokoh utama bersama pikirannya.

Tema semacam ini mirip dengan yang diceritakan Pramoedya Ananta Toer dalam Larasati dan Sekali Peristiwa di Banten Selatan. Apakah Soelarto berteman dengan Pram? Bisa saja, tetapi kemungkinan tidak dekat karena Soelarto dengan "Domba-domba Revolusi"-nya justru dianggap antirevolusi oleh Lekra.

52.       The Pearl. John Steinbeck. Dian Rakyat. 1991.

‘What are you afraid of?’ she asked.
‘Everyone,’ Kino replied.
(hlm. 26)

Tragedi datang dari harapan. Mungkin begitulah hal yang ingin disampaikan penulisnya melalui novel pendek ini. Novel ini diceritakan ulang oleh M. J. Paine dan diisi dengan beberapa ilustrasi karya Clifford Bayly. Tidak sengaja saya temukan di rak nomor 800-an di Perpustakaan Pusat UI ketika mencari referensi untuk tugas akhir mata kuliah Gender dalam Sastra. Saya lihat bagian belakangnya, ternyata baru dipinjam tiga kali. Tertera "21 Maret 2017", lebih dari setahun yang lalu, sebagai tanggal pengembalian terakhir.

Kisahnya sederhana. Akan tetapi, konfliknya mampu diperluas dan dipertajam oleh Steinbeck. The Pearl tidak hanya kisah tentang harapan yang datang dari mutiara, tetapi juga kasih ayah untuk seorang anak—betapa ia ingin anaknya bisa sekolah; dunia dan pasarnya—bukankah dunia ini adalah pasar, interaksi karena kebutuhan saja?; serta pertaruhan ego. Anehnya, we know that people cheat us all our lives, but we still alive (hlm. 38).

53.       Kritik Sastra Feminis: Sebuah Pengantar. Soenarjati Djajanegara. Gramedia Pustaka Utama. 2000.

Pada mulanya, saya bingung untuk menentukan topik tugas akhir mata kuliah Gender dalam Sastra. Sembari bingung itulah saya iseng-iseng mencari referensi soal feminisme. Bertemulah saya dengan buku ini. Soenarjati menguraikan dengan sangat enak tentang sejarah feminisme. Ternyata, saya baru tahu bahwa feminisme terbagi lagi atas gelombang-gelombangnya, yaitu gelombang pertama, kedua, dan ketiga. Yang ketiga ini sering disebut juga sebagai gelombang posfeminisme.

Ada cerita menggemaskan soal ini. Pada akhirnya, saya mengambil topik posfeminisme karena saya mencari yang belum dibahas teman-teman saya. Objek kajian saya adalah Domba-domba Revolusi karya B. Soelarto. Jadilah saya presentasi (sebagai tahap sebelum pengumpulan makalah) tentang ini dengan judul “Wacana Posfeminisme Rosalind Gill pada Tokoh Perempuan dalam Drama Domba-domba Revolusi Karya B. Soelarto”. Saya sudah siap jika ditanyai berbagai pertanyaan. Setelah presentasi, barulah dosen saya mengatakan bahwa ia tidak bisa menilai apa yang saya bahas. Kenapa? Alasannya karena posfeminisme baru dipelajari di tingkat S2. Oleh karena itu, saya harus ganti topik. Jadilah saya “hanya” membahas soal stereotip.

54.       Bermain Esai. Maman S. Mahayana. Mahayana Institute dan TareBooks. 2018.

Sebuah peristiwa atau gejala, selain topiknya, juga menarik untuk diselisik berdasarkan perjalanannya dari waktu ke waktu. Perjalanan tersebut dapat disebut sebagai kesejarahan. Singkatnya, sejarah memegang peran penting dalam menguak asal-usul peristiwa atau gejala. Bukankah akan terasa ganjil jika tiba-tiba mendengar kabar bahwa ada setumpuk uang jatuh dari langit? Mestilah dicari dulu rangkaian kejadian yang melatarbelakangi peristiwa tersebut.

Di sinilah letak kekuatan esai-esai Mahayana. Ia tidak lupa menyertakan catatan sejarah dalam tulisannya. Misalnya, dalam esai “Sihir Bahasa Indonesia”, disertakan cerita tentang pemilihan bahasa Melayu sebagai lingua franca. Pemilihan tersebut dimulai dari kedatangan bangsa Portugis sampai pemilihan bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia pada 28 Oktober 1928.

Kesejarahan juga muncul dalam esai “Fenomena Novel Islami”. Mahayana tidak sekadar memberi definisi pasti mengenai novel Islam dan Islami. Ia juga menyertakan perkembangan novel-novel beraliran serupa, seperti Perjalanan ke Akherat (1963) karya Djamil Suherman, Di Bawah Naungan Al-Quran (1957) karya Muhammad Ali, dan Geni Jora (2004) karya Abidah El Khalieqy. Hal tersebut dilakukannya agar pembaca mendapat pengertian tentang novel Islam dan Islami secara komprehensif.

Selain kesejarahan, pengalaman-pengalaman Mahayana turut menambah bobot esainya. Hal ini terlihat terutama di esai-esai bagian terakhir, Kiprah dan Renjana. Di sana, ia memberi informasi mengenai beberapa sastrawan Indonesia, seperti Ahmad Tohari, Danarto, dan Sapardi Djoko Damono. Tidak hanya menceritakan perjalanan karier mereka, Mahayana menambahkannya dengan pengalaman pribadi sehingga karakter dari sastrawan yang dibahasnya semakin jelas.

Meskipun memiliki kelebihan dalam kesejarahan dan pengalaman, esai-esai Mahayana tidak lepas dari “nada sumbang”. Nada sumbang ini mencakup dua hal. Pertama, pengulangan gagasan dalam esai berbeda. Kedua, penulisan kata yang tidak perlu.        

Pengulangan gagasan terdapat dalam esai “Sihir Bahasa Indonesia” dan “Kemerdekaan Bahasa Indonesia”. Keduanya dimuat dalam media dan waktu yang berbeda. “Sihir Bahasa Indonesia” dimuat di harian Kompas, 16 Desember 2006. Sementara itu, “Kemerdekaan Bahasa Indonesia” dimuat di Media Indonesia, 14 November 2009. Mahayana sama-sama menuliskan kisah perjalanan bahasa Melayu yang dikutip dari Linschoten, seorang misionaris dan linguis abad ke-16. Apakah ini kesengajaan atau justru kekurangreferensian?

Mahayana juga berkali-kali menyebut istilah “isi kebun binatang dan isi toilet”. Apakah tidak ada istilah lain agar lebih beragam atau berwarna? Juga, seberapa penting penekanan istilah tersebut sehingga disebut berkali-kali?

Kata yang tidak perlu pun muncul. Untuk menutup esai “Keindonesiaan Identitas Indonesia” dan “Keberpihakan”, Mahayana menggunakan “nah!”. Apa sebenarnya fungsi “nah!” di situ? Sebuah usaha pengagetankah?

Selain itu, ada hal yang agaknya terlupa oleh Mahayana. Ia tidak mencantumkan sumber dari informasi-informasi tambahan, baik sebagai catatan kaki maupun daftar pustaka di akhir tulisan. Selain sebagai bentuk validitas, penulisan sumber juga diperlukan agar pembaca—jika ada yang berminat menelusuri lebih jauh—dapat menggunakannya sebagai referensi tambahanya yang lebih detail. Misalnya, informasi mengenai Linschoten. Mahayana perlu mencantumkan sumber yang dijadikannya referensi mengenai sosok tersebut. Siapa tahu, barangkali ada peneliti yang sedang mendalami sejarah bahasa Melayu dan memerlukan informasi lebih lanjut tentangnya. Bukankah bisa menjadi amal jariah untuk Mahayana? Nah!

55.       Kerikil Tajam dan Yang Terampas dan Yang Putus. Chairil Anwar. Dian Rakyat. 1995.

Chairil menjelang kematian adalah Chairil yang agung. Tampak dari puisi-puisinya. Buku ini bisa ditemukan di Perpustakan Pusat UI.

56.       Chairil Anwar: Bagimu Negeri Menyediakan Api. Suyono, Seno Joko, dkk. (ed.) Kepustakaan Populer Gramedia. 2016.

Buku ini saya baca tepat setelah saya selesai membaca buku nomor 55 di atas. Di sini dimuat beberapa foto catatan tangan Chairil yang jarang ditemukan atau dibahas.

57.       Chairil. Hasan Aspahani. GagasMedia. 2016.

Saya pernah membacanya pada tahun 2016. Buku ini saya dapat langsung ketika ada acara bedah buku sebagai salah satu rangkaian acara jurusan saya. Saya dapat tanda tangan penulisnya pula. Tahun ini saya kembali membacanya.

Berdasarkan buku ini, Chairil seharusnya masuk dalam jajaran pahlawan nasional. Ia menyampaikan pesan Sjahrir—yang juga pamannya—tentang kekalahan Jepang dalam perang. Chairil menyampaikannya kepada golongan muda yang oleh karenanya berani merencanakan aksi Rengasdengklok.

Oh, ya. Kemarin saya membaca Setelah Revolusi Tak Ada Lagi karya Goenawan Mohamad. Dalam salah satu esainya yang berjudul “Sjahrir di Pantai”, Goenawan bercerita tentang keadaan Sjahrir sewaktu di Banda Neira. Sjahrir sempat menulis surat tertanggal 12 Oktober 1936 kepada istrinya. Begini isinya.

“Pukul setengah lima pagi, saya sudah bangun dan siap, dan pukul setengah enam, kami sudah berada di laut. Kami mengatur sendiri layar dan kemudi. Selama tiga jam, perahu melaju, karena angin yang membantu. Melintasi kebun laut, menyaksikan matahari terbit yang gemilang. Kemudian mendarat kembali. Di pantai kami menghabiskan sisa hari, dan makan.”

Perhatikan kata-kata yang saya tebalkan. Mungkinkah Chairil telah membaca surat Sjahrir tersebut sehingga ia terinspirasi untuk menulis puisi “Cintaku Jauh di Pulau”? Ini menarik. Semoga suatu saat saya bisa menelitinya lebih lanjut.

58.       Membaca Katrologi Bumi Manusia Pramoedya Ananta Toer. Apsanti Djokosujatno. IndonesiaTera. 2004.

“Katrologi” yang dimaksud adalah apa yang disebut juga “tetralogi”. Apsanti mengulas tetralogi Pramoedya itu dalam berbagai hal, seperti unsur-unsur Perancis, Minke dari sudut pandang psikoanalisis, “kedewaan” Nyai Ontosoroh, kosmpolitanisme, dan bahasa dalam tetralogi Bumi Manusia. Setiap pembaca tetralogi barangkali wajib membaca ulasan yang terdapat dalam buku ini.

59.       Dari Suatu Masa, Dari Suatu Tempat. Asrul Sani. Pustaka Jaya. 1972.

Inilah buku terakhir yang saya baca-habis pada tahun ini. Saya menemukannya di rak 899-sekian di perpustakaan pusat. Ini adalah kumpulan cerpen dari Asrul Sani.

Saya dibikin agak terkejut membaca cerpen-cerpen di dalamnya. Saya seperti membaca tulisan saya sendiri. Memang emosi tidak terlalu dimainkan, tetapi akhir dari beberapa cerpennya tidak disangka-sangka akan di-twist (twist kecil). Saya kutip beberapa.

“Di perdjalanan pulang aku tiada berkata-kata, tetapi ibu senantiasa bertutur-tutur perlahan. Seolah-olah dia tahu bahwa aku tidak mau lagi kembali ke tempat ini. Ia menjatakan keinginannja supaja aku mentjari jang baru. Dikatakannja bahwa ia tidak dapat berbuat apa2 lagi bagiku, dan sebaik-baiknja perbuatan jang dapat aku lakukan ialah mendirikan rumah-tangga sendiri.

Orang tidak dapat terus-menerus hidup di bawah kolong langit. Kau harus tjari tempat pulang dan tempat di mana pemberian dapat diberikan dan segala dapat dimulai.

Setelah melihat wadjahku jang bertanja, ia menjatakan keinginannja untuk tinggal selandjutnya di tempat ajahku berpulang.” (“Perumahan bagi Fadjria Novari”; hlm. 45)

Lihat juga dalam cerpen “Beri Aku Rumah”. Tahu siapa nama tokohnya? Haris!

“Tidak, ia tidak tinggal di rumahku. Karena achirnja ia tahu, bahwa akupun tidak punja rumah dan mesti kudirikan pula terlebih dahulu. Sebab itu ia pergi. Tetapi, satu hal aku tahu. Bahwa ia sekarang telah memperoleh suatu kepertjajaan. Sekarang ia pertjaja pada kasih jang tadi ditidakkanja. Ja, ia pertjaja pada kasih, ini aku tahu benar, karena… karena… karena mahasiswa itu ialah aku sendiri.” (hlm. 36)

Tahukah apa bidang mahasiswa yang ditulis Asrul Sani di sana? Filsafat! Haris dan filsafat? Sebuah kebetulankah atau Asrul Sani meramal?

Pun di cerpen pembukanya, “Bola Lampu”, ia menulis tentang seorang yang sedang bercerita tentang cerita sahabatnya. Saya pada malam sebelumnya, sebelum membaca cerpen ini, terpikir untuk membuat cerpen dengan awalan seperti itu. Kebetulan?

Lalu Asrul Sani juga menerjemahkan novel Dostoyevski yang ceritanya sangat “aku banget”. Hehe. Jadi, Srul, mungkin kita manusia sama di masa yang berbeda.


Sekianlah ke-59 buku yang saya baca-habis pada tahun ini. Kesimpulannya, banyak hal yang masih belum saya tahu. Akan tetapi, semakin saya bacai, semakin saya jatuh hati pada buku. Kalau Soekarno bilang bahwa buku-buku adalah temannya, bagi saya buku-buku adalah kekasih.

Lantas, bagaimana dengan 2019? Semoga masih banyak waktu untuk menggali.

Komentar