Buku-buku: 2018
Hanya ingin tahu. Berdasarkan
alasan sederhana itulah saya meneruskan kebiasaan menggali untuk menemukan
serangkaian informasi, baik yang berhubungan maupun tidak. Senang saja rasanya
ketika informasi itu dapat saya temukan, bahkan terkadang mendapat lebih dari
apa yang diharapkan. Hanya informasi? Terkesan untuk hal-hal akademis dan
serius? Tentu tidak. Sebagai makhluk “perasa”—yang barangkali kata itu terkesan
agak cengeng sehingga saya lebih menyukai istilah “roso” (bahasa Jawa) karena lebih dalam pengertiannya, saya gemar mengajukan
“makanan” untuk roso, memastikan saja
apakah ia masih dapat menikmatinya atau tidak. Oleh karena itu, saya pun
menggali sesuatu dari yang sifatnya hiburan. Jadi, intinya, saya menggali apa
saja. Menggali di barang sakral yang disebut ‘buku’. Anehnya, semakin banyak
yang saya gali, semakin saya sadar bahwa masih belum banyak yang saya temukan.
Anehnya lagi, saya menikmati penggalian itu.
Di tengah masa arus media digital
ini, informasi bisa ditemukan di mana pun dengan mudah. Sangat banyak, bahkan
pada waktu tertentu terasa terlalu banyak. Dari sekian itu, siapa yang bisa
menjamin bahwa semuanya valid? Memang ada media-media yang berusaha menyajikan
informasi dengan sevalid, seaktual, dan setepat mungkin. Namun, tidak boleh
dilupakan bahwa ada pula media-media yang ingin dapat popularitas saja.
Sebab itulah saya masih mengandal
buku. Paling tidak, buku adalah konkretisasi pertanggungjawaban si penulis atas
tulisannya. Sebenarnya alasannya tidak serumit itu. Buku menyajikan detail.
Detail—yang sering kali berupa informasi penting—itu tidak semua tertera di
media digital. Mungkin itu pengaruh keluasan wadahnya juga.
Setelah berbasa-basi dalam tiga
paragraf di atas, saya kini segera saja memulai inti. Seperti tahun lalu, saya
melakukan hal yang serupa: membaca buku dan mendaftarnya. Alasannya,
karena senang-senang saja—sungguh bukan alasan yang ilmiah nan eksposisis. Saya
memang senang melihat-lihat apa yang telah berlalu, termasuk dalam urusan mendaftar
bacaan (buku) ini. Saya bisa sedikit bernostalgia dengan celetukan “oh, ya,
saya pernah membacanya dan saya ingat hal-hal ketika membacanya, yaitu…” Untuk
daftar tahun lalu, kamu dapat melihatnya di tautan ini. Klik saja tulisan
“tautan ini” itu.
Perkiraan awal, saya hanya bisa membaca
sedikit tahun ini. Kuantitas memang tidak menjamin penerimaan pengetahuan. Akan
tetapi, saya pikir, kalau ada satu saja pengetahuan dalam setiap satu bacaan,
mengapa tidak untuk mengambil lebih banyak bacaan?
Dalam pemilihan bacaan, saya lebih
banyak mengikuti rasa ingin tahu. Tidak menentu. Namun, ada bidang-bidang yang
saya gemari, seperti sejarah dan sastra, apalagi sejarah perkembangan sastra.
Lainnya, saya menyesuaikan dengan tuntutan akademis. Mata kuliah tertentu
mengharuskan saya membaca buku tertentu. Mengganggu? Tidak juga. Bahkan, ada
beberapa yang saya syukuri karena mungkin tanpa tuntutan mata kuliah itu, saya
tidak tahu suatu hal.
Bedanya dengan tahun lalu adalah
saya kini tidak terlalu militan untuk membeli buku. Kalau dompet sedang rasa poletar,
saya pinjam buku di perpustakaan kampus—ini sering saya lakukan beberapa bulan
terakhir. Ada juga pemberian dari teman. Dampaknya tentu ada. Buku-buku yang
saya miliki sendiri tidak terlalu banyak bertambah. Padahal, saya punya
cita-cita untuk membuat taman baca atau perpustakaan kecil di suatu tempat yang
saya semogakan. Saya ingin buku-buku yang ada di sana sudah saya baca terlebih
dahulu. Jadi, kalau semisal ada orang datang dan bertanya soal buku tertentu,
saya bisa jelaskan. Saya tidak mau menjadi penyebar informasi yang tidak paham
isi informasinya.
Saya rasa cukup untuk berbasa-basi
lebih panjang. Jadi, inilah daftar buku yang saya baca habis pada 2018 ini. Ada
yang belum saya baca habis? Ada. Salah tiga dari yang belum adalah Setelah Revolusi Tak Ada Lagi karya
Goenawan Mohamad—yang semakin membuat saya kagum akan keluasan pengetahuan
si penulis; Gerwani: Kisah Tapol Wanita
di Kamp Plantungan karya Amurwani Dwi Lestariningsih—yang menjadikan saya
tahu kisah-kisah penyiksaan yang dialami oleh orang-orang Gerwani atau yang
dituduh Gerwani; dan One Hundred Years of
Solitude karya Gabriel Garcia Marquez—yang entah kapan bisa saya tamatkan. Saya
poin dan urutkan per bulan dan sesuai waktu habis-bacanya. Dimulai dari judul,
penulis, penerbit, dan tahun. Saya beri keterangan “terj.” untuk buku
terjemahan asing ke Indonesia dan “terj. (bahasa)” untuk terjemahan asing satu ke
asing lain. Juga “ed.” untuk editor. Selain itu, tahun yang saya tulis di sini
adalah tahun cetak buku yang saya baca, bukan tahun terbit pertama kali.
Januari
1.
The History of the World: from
the Dawn of Humanity to the Modern Age. Frank Welsh. Quercus. 2011.
Terima kasih untuk teman saya,
Tanisha, yang telah memberikan buku ini. Saya menganggap buku ini sebagai
pengantar pengenalan akan sejarah dunia karena pembahasan sejarah di sini hanya
permukaannya. Maklum, bagaimana mungkin menulis sejarah yang sedemikian panjang
perjalanannya hanya dalam satu buku? Hanya saja, semoga Welsh menyadari bahwa
yang benar adalah “Majapahit”, bukan “Majahabit”
2. Max Havelaar. Multatuli. (terj.) Qanita.
2016.
Buku ini saya dapat dari orang yang
sama. Sewaktu SD, Max Havelaar berkali-kali
disebut, baik dalam materi pelajaran, buku teks, maupun ujian. Akan tetapi,
baru tahun ini saya berkesempatan membaca novel yang bersejarah ini. Lekas cari
bagi yang belum baca, mumpung masih banyak di Gramedia—dan sepertinya akan
terus banyak.
3. Cantik itu Luka. Eka Kurniawan. Gramedia
Pustaka Utama. 2017.
“Begitulah orang komunis,” kata Sang
Shodancho. “Orang-orang malang yang tak tahu bahwa dunia telah ditakdirkan
menjadi tempat sebusuk-busuknya. Itulah satu-satunya alasan kenapa Tuhan
menjanjikan sorga sebagai penghibur manusia-manusia yang malang.” (hlm. 280)
Sepertinya memang sudah keahlian
Eka untuk mengacaukan alur yang jadinya serupa kisah-kisah detektif itu. Dulu
juga ketika saya membaca Seperti Dendam,
Rindu Harus Dibayar Tuntas—novel pertama Eka yang saya baca—otak dipaksa
keras menebak-nebak apa kisah selanjutnya dan siapa yang akan memerankan apa.
Selalu ada "oh, begini ternyata” tiap kali satu bagiannya berlanjut di bagian
lain entah dalam bab mana.
Saya sebenarnya sungguh sayang
untuk membuka plastik buku ini. Namun, apa daya, saya seperti menikahi seorang
wanita yang harus saya buka pakaiannya, betapa pun cantik kain yang
membalutnya. Belumlah selesai, saya dikejutkan lagi bahwa si sampul merah itu
ternyata hanya pembungkus-pemanis belaka. Ada sampul sesungguhnya di dalamnya
yang berwarna cokelat.
Belum apa-apa, Eka sudah menulis
“tai” di halaman kedua. Ini pula satu khasnya, yakni menggunakan kata-kata yang
dianggap tabu untuk dipergunakan secara umum. Namun, itulah ia. Eka tidak
mengkhianati kodrat kata-kata. Kata-kata tidak untuk disembunyikan. Lalu, kita
akan berjumpa dengan banyak kata “pelir” dan seminimal mungkin satu “entot” di
dalamnya.
Saya sempat mengira bahwa bab ke-16
adalah bab akhir karena terdapat cerita pengakuan. Akan tetapi, bab terakhirlah
yang sangat mengecoh dugaan saya ketika kekasih Cantik ternyata bukanlah Maman Gendeng
yang moksa.
Ada dua dorongan berironi yang terjadi
secara bersamaan ketika membaca novel ini. Pertama,
dorongan untuk melanjutkan ke bagian selanjutnya agar mengetahui kisah apa yang
sebenarnya. Kedua, dorongan untuk
tidak ingin menghabisi rasa penasaran, tidak ingin segera berlanjut. Ini karena
Eka cenderung banyak menggunakan akibat-sebab daripada sebab-akibat.
Sayang sekali, Cantik Itu Luka harus berhenti di halaman ke-505—yang mirip judul
lagu grup musik terkenal. Saya akan setia menunggu jika Eka bersedia membuat
kisah lanjutannya. Terbaik!
Buku ini saya beli di Gramedia
Malang saat liburan awal tahun. Sebenarnya tidak sengaja. Saya diajak dua
sahabat saya ke sana untuk berjalan-jalan saja. Lantas, sampul novel ini
menggoda saya. Jadilah saya bawa pulang. Bungkus!
Februari
4. Politik. Aristoteles. (terj.) Narasi.
2016.
Saya mendapatkannya di Gramedia
Malang sekitar 2016 atau awal 2017—saya agak lupa. Dengan usaha memahami
terjemahan yang agak kacau, saya mengikuti tulisan filsuf kelahiran Stagira ini. Ia
menjelaskan banyak hal, seperti keadaan pemerintahan di Sparta dan Athena kala
itu, kedudukan perempuan—yang ternyata hampir tidak ada nilainya, kebijakan
“memangkas” orang-orang yang berpengetahuan lebih, dan betapa musik menjadi
salah satu bidang pendidikan utama. Pesan yang saya ingat, pemerintahan tidak
akan berjalan jika tidak ada partisipasi dari rakyatnya. Jadi, apa kita harus
menyalahkan pemimpin saja sepenuhnya dan seterusnya?
5. Sastra dan Kekuasaan: Pembicaraan atas
Drama-drama Karya W.S. Rendra. M. Yoesoef. Wedatama Widya Sastra. 2007.
Saya lupa waktu itu ada bazar buku
dari jurusan mana. Saya kunjungi salah satu meja dan akhirnya menemukan buku
karya dosen saya ini. Mas Yoesoev—begitu beliau biasa dipanggil—mengurai
drama-drama W.S. Rendra beserta cerita-cerita di baliknya, seperti pelarangan
pementasan Rendra di Yogyakarta yang disebabkan drama Sekda—kalau saya tidak salah judul—dan perkembangan drama pada
tahun ’70-an yang sedang gila-gilanya.
6. Filsafat Skolastik. A. Hanafi. Pustaka
Alhusna. 1983.
Waktu itu ada mata kuliah Pengantar
Filsafat dan Pemikiran Modern, mata kuliah wajib fakultas. Kelompok saya
mendapat bagian untuk menjelaskan filsafat skolastik. Saya pun mencari
referensi di perpustakaan pusat. Bertemulah dengan buku ini. Selain penjelasan
mengenai pemikiran Plotinus soal emanasi, buku ini memuat pemikiran Philo.
Maret
7. Tuan Ingin Banyak Kawan? Dale Carnegie. (terj.)
Balai Pustaka. 1978.
Terima kasih kepada Nafizal yang berkenan
mengirimkan buku ini melalui Zidan, adiknya. Buku ini menjadi hiburan bagi
saya. Lebih tepatnya menertawai diri sendiri. Dilihat dari judulnya saja, buku
ini sudah memberi tawa sinis.
Ada satu kisah yang saya ingat.
Carnegie bercerita tentang sebuah pasukan yang sedang dalam posisi menyerang
musuh. Musuh sudah dekat, tinggal habisi saja. Akan tetapi, pemimpin pasukan
itu mengirim pesan kepada Lincoln bahwa ia tidak sanggup membunuh mereka. Hati nuraninya
yang enggan. Lincoln marah bukan main. Ia pun menulis surat yang berisi
kemarahannya. Tepat sebelum mengirimkannya, Lincoln menimbang-nimbang. Ia bertanya
dalam diri, bagaimanakah situasinya jika ia mengirimkan surat kemarahannya itu?
Lantas, Lincoln tidak jadi mengirimnya. Dimaafkannya pemimpin pasukan itu,
meskipun musuh akhirnya bisa kabur. Lincoln tidak ingin sesuatu yang lebih
buruk terjadi. Surat itu sendiri baru ditemukan setelah Lincoln meninggal.
Begitulah Carnegie memberi contoh soal menghindari sesuatu yang lebih buruk.
Apa dengan membaca buku ini saya
jadi lebih baik? Tidak. Saya tetap bajingan, tetapi bajingan yang dicintai
(Sartre, No Exit).
8. Catatan
dari Bawah Tanah. Fyodor Dostoyevski. (terj.) Kepustakaan Populer Gramedia.
2018.
Novel ini saya dapatkan di Gramedia
suatu mal di Bogor. Ada dua hal yang membuat saya tertarik untuk membacanya. Pertama, saya belum pernah baca novel
dari pengarang berkebangsaan Rusia. Kedua,
penerjemahnya Asrul Sani.
Dunia bawah tanah yang digambarkan
Dostoyevski dalam Catatan dari Bawah
Tanah ini mirip bagian bawah gunung es yang tidak diketahui kebesaran dan
kedalamannya. Orang-orang hanya tahu dan hanya ingin tahu yang muncul di atas
permukaan. Ide penggunaan metode narasi-diri dalam sebagian besar bagiannya
menyiratkan bahwa pikiran-pikiran yang tidak dikatakan oleh manusia—yang
tersimpan di dalam—jauh lebih banyak. Bahkan, ketika si Aku dengan sadar “terjebak”
dalam situasi yang tidak seorang pun membutuhkannya (dalam bagian pertemuan
dengan kawan-kawan lama: Simonov, Zverkov, Trudolyubov, dan Ferfitchkin), ia
tidak bisa lepas, meskipun telah direncanakan dalam hatinya dengan penuh
umpatan dan empat orang itu telah secara halus mengusirnya. Pada akhirnya, ia
memilih “tentu saja aku tetap duduk di kursiku” lantas mencari cara agar
keresahannya tidak tampak—dengan cara meminum Sherry dan Lafitte
bergelas-gelas.
Saya membaca novel yang tepat di
waktu yang tepat. Terima kasih, Dostoyevski.
April
9. Tempurung.
Oka Rusmini. Grasindo. 2018.
Entah mengapa, tiap kali saya baca
karya Oka Rusmini, tokohnya selalu perempuan. Apa memang tokoh semua karyanya
perempuan? Tempurung menyajikan suatu
rangkaian. Tokohnya tidak tunggal. Sebenarnya, novel ini berpotensi menarik,
tetapi saya kala itu sedang dalam kondisi yang tidak “bagus” sehingga tidak
terlalu menikmatinya.
10. Sampar.
Albert Camus. (terj.) Narasi. 2017.
Buku yang saya kira novel ini
ternyata berisi drama. Sungguh saya memang tidak tahu bahwa Sampar adalah drama. Ini perjumpaan
pertama saya dengan Camus dan saya mendapatkan kesan baik.
Yang paling saya ingat tentu si
tokoh Gubernur. Ia tahu bahwa di daerahnya sedang terjadi wabah sampar. Namun,
ia lebih memilih untuk tidak membesar-besarkannya. Bukan berarti ia tidak
peduli, melainkan agar kondisi masyarakat tidak semakin panik. Sekali lagi saya
mendapatkan suguhan soal kebimbangan hati seorang pemimpin. Relevan? Mungkin.
11. Ikan-ikan
dari Laut Merah. Danarto. DIVA Press. 2016.
Dari sekian banyak kumpulan cerpen
Danarto, barangkali inilah yang kurang populer atau jarang disebut. Saya
menemukannya di Big Bad Wolf Jakarta—yang sebenarnya Tangerang Selatan. Dalam
kumcer ini, tema yang diangkat Danarto tidak jauh dari keimanan.
12. Perempuan
Patah Hati yang Kembali Menemukan Cinta Melalui Mimpi. Eka Kurniawan.
Bentang. 2016.
Dari beberapa karya Eka yang saya
baca, kumpulan cerpen inilah yang paling tidak meninggalkan kesan tertentu. Bukan
berarti tidak bagus sama sekali. Mungkin karena eskpektasi saya yang terlalu
tinggi atas karya-karya Eka yang saya baca sebelumnya sehingga tidak terlalu
terasa "wah" ketika membaca yang ini.
13. Lelaki
Harimau. Eka Kurniawan. Gramedia Pustaka Utama. 2017.
Keasyikan membaca Lelaki Harimau adalah mengikuti perkembangan
masing-masing tokohnya. Dengan akhir cerita yang sudah ditaruh di awal, apa
yang bisa diharapkan dari sebuah novel? Akan tetapi, Eka justru menabrak
ketentuan “akhir harus di akhir” dan berhasil menciptakan rasa penasaran. Yang
saya rasa agak kurang justru porsi untuk cerita tentang harimau itu sendiri.
Latar belakang kemunculannya kurang panjang.
14. O.
Eka Kurniawan. Gramedia Pustaka Utama. 2018.
“Mas, yang sampul monyet udah habis!” Begitu kata seorang pegawai
Gramedia Depok yang saya mintai tolong untuk mencarikan novel ini. Yang tersisa
tinggal novel sampul baru. Daripada pulang membawa kehampaan, saya “sikat” saja
yang ada.
Seperti biasa, Eka menyuguhkan
model akibat-sebab. Kali ini ia memasukkan sedikit fabel. Bagian favorit saya
adalah masa ketika O tidak nafsu melakukan apa-apa. Sebegitu kerasnya kenyataan
menghantam impian. Cup cup, O.
15. Sejarah
Tuhan. Karen Armstrong. (terj.) Mizan. 2016.
Tuhan punya sejarah? Barangkali
Karen Armstrong bermaksud untuk membuat judul Sejarah Perkembangan Pandangan Manusia tentang Tuhan dalam Tiga Agama
Besar, tapi dirasanya terlalu panjang dan tidak cukup clickbait.
Terima kasih, Karen. Melalui
tulisan Anda, saya jadi tahu bahwa ada atribut yang kerap dicap sebagai atribut
agama tertentu ternyata hasil kebudayaan dari masyarakat sebelumnya—sebelum
kemunculan “resmi” agama itu. Selain itu, saya tertarik dengan kisah Musa yang
naik Gunung Sinai dan bertemu dengan Tuhan.
Mei
16. Sapiens.
Yuval Noah Harari. (terj.) Kepustakaan Populer Gramedia. 2018.
Buku ini cocok untuk pembaca yang
ingin mengetahui sejarah dan perkembangan Homo
sapiens secara ringkas. Mulai dari dataran Afrika, Erasia, Australia,
sampai Amerika. Apakah perkembangan si manusia berakal ini selalu berdampak
baik? Tidak juga. Kedatangan mereka di dataran Australia diidentifikasi sebagai
awal mula kepunahan bagi hewan-hewan besar Australia. Itu terjadi sekitar
40.000 tahun yang lalu.
17. Berkenalan
dengan Eksistensialisme. Fuad Hassan. Pustaka Jaya. 1976.
Dalam buku ini, Hassan
memperkenalkan pemikiran-pemikiran lima filsuf eksistensialisme: Kierkegaard, Nietzsche,
Jaspers, Sartre, dan… saya lupa satu lagi siapa. Di buku inilah saya menemukan
teori Sartre soal facticity
(kefaktaan). Kefaktaan membahas kemutlakan manusia dan faktor-faktor yang
mengurangi penghayatan kebebasan. Menurut Sartre, manusia adalah makhluk yang
bebas. Oleh karena itu, kebebasan juga mutlak karena eksistensi manusia
dibentuk dari kebebasan yang mendorong individu untuk terus menjadi manusia
yang menjadi. Namun, kebebasan itu sering mengalami hambatan dalam
penghayatannya. Hambatan tersebut adalah kefaktaan yang dimaksud oleh Sartre.
Kefaktaan bukan batas-batas yang mengurangi kemutlakan itu, tetapi
kenyataan-kenyataan yang menyebabkan kurangnya penghayatan kebebasan, seperti
tempat manusia berada, masa lampau, lingkungan sekitar, eksistensi orang lain,
dan kematian.
Saya pikir, jika “manusia” adalah
tujuan, seperti kata Sartre, konsep Ubermensch
Nietzsche adalah berlebihan. Namun, saya masih perlu menggali pemikiran
Nietzsche. Masih banyak yang belum saya tahu. Yang tadi hipotesis saja.
18. Existentialism.
Jean-Paul Sartre. (terj. Ing.) The Philosophical Library. 1947.
Wanna
know about this book? Read it by yourself.
19. Corat-Coret
di Toilet. Eka Kurniawan. 2016. Gramedia Pustaka Utama
Keliaran memang sudah ditakdirkan
untuk hidup di kepala Eka sepertinya. Ide-ide dalam cerpen-cerpennya ini
menarik. Banyak hal tidak terduga juga. Yang paling berkesan adalah cerpen yang
judulnya adalah judul kumcer ini. Pendapat bisa disampaikan di ruang yang
paling tidak disangka dan terkadang lebih jujur daripada media massa.
Membaca kumcer ini, membuat saya
sedikit kangen dengan fakultas filsafat dan orang-orangnya yang liar. Liar
tanpa tanda kutip.
20. Potret
Seorang Penyair Muda sebagai si Malin Kundang. Goenawan Mohamad. Pustaka
Jaya. 1972.
Saya pernah menulis tinjauan
kecil-kecilan soal buku ini. Silakan klik di sini.
21. Catatan
Pinggir 12. Goenawan Mohamad. Tempo Publishing. 2017.
Kalau saya ditanyai soal esais
paling ciamik di Indonesia, nama
pertama yang saya sebut adalah Goenawan Mohamad. Ini orang pengetahuannya luas
sekali. Hal remeh bisa jadi menarik. Esainya—atau dalam hal ini disebut
‘catatan’—yang paling memberi kesan dalam buku ini adalah esai “Pemimpin”.
Entah mengapa sejak tahun ini saya banyak menyorot pembahasan mengenai itu.
Katanya dalam esai itu, “Kekuasaan mengurung orang dalam kesendirian, dan
terkadang mengutuknya dalam kesepian.” Relevan? Mungkin.
Juni
22. Semua
Ikan di Langit. Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie. Grasindo. 2017.
Sejujurnya bagian awal novel ini
terasa biasa. Malah terkesan seperti novel teenlit.
Akan tetapi, semakin jauh halaman, semakin terasa bahwa novel ini bukan sekadar
cerita biasa, bukan sekadar soal bus yang bepergian. Ziggy bicara soal
ketuhanan dengan cara yang paling menggemaskan. Oleh karena itu, saya jadi
tidak heran bahwa novel ini memenangi sayembara novel Dewan Kesenian Jakarta
pada 2016.
23. Dunia
Sophie. Jostein Gaarder. (terj.) Mizan. 2017.
Masa ketika saya membaca ini adalah
masa ketika liburan semester. Saya pulang kampung. Sambil membaca buku yang
saya bawa dari Depok, saya iseng membaca buku yang dipunyai adik saya ini. Tidakkah
saya terlalu tua untuk membaca buku legendaris ini? Bisa jadi, tetapi tidak
masalah.
24. Gergasi.
Danarto. DIVA Press. 2016.
“Ini yang nulis manusia?” Begitulah kata pikiran saya ketika membaca kumpulan
cerpen ini. Seperti ucapan Danarto, kumcer ini benar-benar masyaallah.
Juli
25. A
Little History of Science. William Bynum. Yale University Press. 2012.
Saya membelinya secara tidak
sengaja. Yang saya buru sebenarnya adalah A
Little History of Economics karya Niall Kishtainy. Buku ini tidak ada di
Gramedia. Hanya ada di Periplus. Lantas, saya mencarinya di Periplus Plaza
Indonesia. Sampai di sana, yang saya cari tidak ada. Saya tidak mau pulang
membawa kekosongan. Akhirnya, saya beli yang sains ini. Baru membacanya ketika
liburan di rumah. Lumayan untuk menambah pengetahuan saya soal perkembangan sains. Jadi,
sekarang coba tebak, angka yang kita gunakan ini berasal dari mana? Arab? Ya,
jawaban kamu lumayan. Namun, akan lebih tepat jika kamu menjawab “India”. CMIIW.
26. Guns,
Germs & Steel. Jared Diamond. (terj.) Kepustakaan Populer Gramedia.
2018.
Buku yang diterjemahkan menjadi Bedil, Kuman, & Baja ini hampir
membuat saya lupa makan seharian. Diamond secara asyik menguraikan
faktor-faktor yang membangun peradaban. Yang tidak saya sangka, orientasi sumbu
benua ternyata berpengaruh. Dalam hal itu, Erasia—kalau kata anak-anak muda—menang
banyak. Bagian paling menarik, Diamond menjelaskan perkembangan aksara,
jenis-jenisnya, serta persebaran bahasa Austronesia—yang saya perhatikan
jalurnya mirip mata pancing. Penjelasannya mengenai hal tersebut jauh lebih
detail dari yang saya dapat di mata kuliah Bahasa-bahasa di Indonesia.
27. Aroma
Karsa. Dee Lestari. Bentang. 2018.
Semasa SMA, saya pernah dipinjami salah
satu seri Supernova oleh teman saya.
Namun, saya tidak terlalu minat. Akan tetapi, waktu Dee hendak menerbitkan buku
ini, melalui segala promosi pracetaknya, saya berkata dalam hati bahwa saya
harus baca yang ini. Alasannya, Dee membawa tema yang mungkin baru atau sangat
jarang dibahas di Indonesia, apalagi dalam bentuk novel. Ia membahas soal bau. Saya
segera teringat akan film Perfume: The
Story of a Murderer.
Dee mencampurkan persoalan tersebut
dengan sejarah dan mitos yang berkembang di daerah Karanganyar, Jawa Tengah. Yang
membuatnya semakin menarik, sebelum menulis novel ini, Dee benar-benar
melakukan riset. Salah satunya ke Bantar Gebang. Ia juga mempelajari
jenis-jenis senyawa penyusun aroma. Pada suatu waktu ketika membaca novel ini,
saya teringat pelajaran kimia.
28. Bumi
Manusia. Pramoedya Ananta Toer. Lentera Dipantara. 2018.
Saya tidak akan rela dan lega jika film
Bumi Manusia muncul, sementara saya
belum membaca novelnya. Oleh karena itu, sebelum itu muncul, saya membacanya
terlebih dahulu. Dorongan untuk membacanya semakin bertambah ketika saya
bertemu dengan teman saya yang juga Pemimpin Umum Balairung Press 2018, Unies, di
sebuah angkringan di sebelah Stasiun Yogyakarta. Ia menyatakan bahwa novel ini
wajib saya baca. Juga novel lain dalam tetralogi ini.
Kalau Hanung Bramantyo pernah
berkomentar bahwa novel ini soal percintaan, saya tidak sepenuhnya menyangkal.
Bagian awal memang terasa kental dengan hal tersebut. Namun, semakin jauh, Bumi Manusia menampakkan dirinya bahwa
ia bukan sekadar novel percintaan. Aspek sosial, politik, dan tentunya
kesejarahan menjadi pendukung yang kuat. Bagian favorit? Pergolakan batin Minke
ketika harus berjalan-menyeret, mengikuti adat yang berlaku. Saya sangat setuju
dengannya bahwa ada kebiasaan yang memang harus ditentang.
29. Wiji
Thukul: Teka-Teki Orang Hilang. Arif Zulkifli, dkk. Kepustakaan Populer
Gramedia. 2016.
Buku ini juga pemberian Tanisha.
Entah mengapa teman saya yang satu ini suka sekali memberi buku kepada saya.
Bukunya pun bukan buku biasa.
Pada tahun 2017, saya dan beberapa teman
jurusan datang ke acara Mata Najwa. Waktu itu masih di Metro TV. Topik yang
dibahas malam itu adalah perjalanan hidup Soe Hok Gie dan Wiji Thukul. Oleh
karena itu, ketika membaca buku ini, kepala saya sudah punya sedikit gambaran
tentang Wiji.
Yang baru saya tahu, takdir
kejar-kejaran yang dialami oleh Wiji bermula dari keikutsertaannya dalam
politik praktis di Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat (Jaker). Jaker berafiliasi
dengan Partai Rakyat Demokratik (PRD). Setelah terjadi kerusuhan 27 Juli 1996
di Jakarta yang menyangkutpautkan PRD—dan otomatis Jaker juga, hidup Wiji
menjadi tidak menentu. Ia diburu. Bahkan, ia sampai harus lari ke Bengkulu dan Kalimantan.
Di Kalimantan, ia mengubah identitasnya. Nasibnya tidak jelas sampai sekarang.
Di manakah ia?
akulah
bocah cilik kurus itu
yang
tak pernah menang bila berkelahi
— Wiji Thukul, “Megatruh
Solidaritas”
Agustus
30. Dalam
Bayangan Bendera Merah. Anton Kurnia. Basabasi. 2017.
Dalam buku ini, saya menemukan
kisah yang hampir mirip dengan perjalanan Wiji. Tokohnya adalah salah satu sastrawan
Indonesia, Utuy Tatang Sontani. Utuy memilih bergabung dengan Lembaga
Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia
(PKI). Sama seperti Wiji, inilah awal “mimpi buruk” bagi Utuy. Pascakejadian ’65,
Utuy menjadi eksil di Tiongkok dan kemudian pindah ke Rusia pada 1971 sampai
akhir hayatnya pada 1979.
31. Rumah
Kaca. Pramoedya Ananta Toer. Lentera Dipantara. 2018.
Idealnya, dalam membaca tetralogi,
pembacaan dilakukan dari seri pertama, kedua, ketiga, baru yang keempat. Namun,
karena tidak kunjung mendapatkan yang kedua, Anak Semua Bangsa, apalagi yang ketiga, Jejak Langkah, saya terpaksa meloncat ke bagian paling akhir, Rumah Kaca.
Tokoh utamanya—yang juga sebagai
pencerita—bukan lagi Minke, melainkan Pangemanann (dengan dua “n”). Ia adalah
orang yang “memberi” takdir atas kehidupan akhir Minke. Memantau Minke melalui “rumah
kaca”. Menariknya, Pangemanann mengalami pertentangan batin yang kuat dalam
menjalankan tugasnya. Ia bahkan kerap berhalusinasi—semacam skizofrenia. Segala
cerita dalam novel ini yang demikian membuat saya asyik menamatkannya sampai
sekitar pukul 1 pagi. Saya pun sempat mencatat beberapa bagiannya.
“Kita hanya pemain-pemain catur
dalam pertarungan yang sudah diatur lebih dulu.” (hlm. 228)
“Ya, harus manis dan sopan senyum
itu, karena itulah adat kolonial yang harus dimuliakan di antara bawahan
terhadap atasan.” (hlm. 323)
“Benar sekali, bahwa pada jamannya
agama juga politik.” (hlm. 325)
32. Bukan
Pasar Malam. Pramoedya Ananta Toer. Lentera Dipantara. 2018.
Ketertarikan saya terhadap
Pramoedya dalam tetralogi membuat saya ingin tahu karya-karyanya yang lain. Bukan Pasar Malam adalah salah satu yang
banyak dibicarakan orang. Saya selalu tertarik dengan keadaan pertentangan
batin suatu tokoh. Hal itu saya temukan juga di sini. Perjalanan pulang di
kereta ke Blora adalah lanskap paling indah dalam novel ini.
Bicara soal Blora, ketika membaca
ini, saya baru menyadari bahwa kakek saya juga orang Blora. Apakah ia mengenal
Pramoedya? Saya ingin menanyakannya, tapi bagaimanakah cara berkomunikasi
dengan orang yang sudah dikubur?
33. Sekali
Peristiwa di Banten Selatan. Pramoedya Ananta Toer. Lentera Dipantara.
2018.
Sekali
Peristiwa di Banten Selatan bisa disebut sebagai novel, bisa
juga disebut sebagai drama. Tidak banyak hal menarik dalam novel ini. Happy ending selalu membuat saya agak sad.
34. Laut
Bercerita. Leila S. Chudori. Kepustakaan Populer Gramedia. 2017.
Selain Aroma Karsa dari Dee, novel karya penulis perempuan yang juga saya
incar adalah Laut Bercerita. Isinya
soal orang-orang yang diburu kemudian dihilangkan. Sungguh sayang, porsi romance di sini, saya rasa, terlalu
banyak, walaupun dalam satu bagiannya ada yang asyik. Padahal, saya menaruh
harapan bahwa novel ini lebih banyak bercerita sisi sejarah.
35. Cerita
dari Digul. Pramoedya Ananta Toer (ed.) Kepustakaan Populer Gramedia.
Tanpa tahun? Iya. Saya juga heran.
Saya bolak-balik di halaman mana pun tetap tidak menemukan tahun cetaknya. Saya
membaca Cerita dari Digul sampul
lama, bukan yang baru (merah).
Pada suatu masa, ada orang-orang
yang diasingkan ke Digul. Digul adalah tempat bau kematian lebih mudah tercium
daripada bau kehidupan. Mereka yang air kencingnya berwarna hitam tinggal
menunggu waktu saja.
Kalau tidak salah, ada empat
tulisan dalam buku ini. Masing-masing ditulis oleh orang berbeda.
36. Pasar. Kuntowijoyo. DIVA Press dan Mata
Angin. 2017.
Saya telah menulis tinjauan
singkatnya di satu bagian khusus. Silakan klik di sini.
37. Rafilus.
Budi Darma. Nourabooks. 2017.
Saya juga telah menulis tinjauan
singkatnya di satu bagian khusus. Silakan klik di sini.
38. Sastra
Kota: Bunga Rampai Esai Temu Sastra Jakarta 2003. Ahmadun Yosi Herfanda,
dkk. (ed.) Dewan Kesenian Jakarta dan Bentang Budaya. 2003.
Rupanya Dewan Kesenian Jakarta
pernah mengalami kebingungan dalam arah penciptaannya. Satu sisi, DKJ membawa
nama “Jakarta” dan bertempat di Jakarta yang berarti mereka seharusnya lebih
memunculkan kesenian di Jakarta. Akan tetapi, karena Jakarta adalah wajah
Indonesia, mau tidak mau DKJ juga dianggap sebagai lembaga yang menaungi
kesenian di Indonesia. Pada akhirnya, yang terakhir inilah yang lebih terfungsikan.
39. “Sastrawan
Malioboro” 1945—1960: Dunia Jawa dalam Kesusastraan Indonesia. Farida
Soemargono. Penerbit Lengge. 2004.
Setelah membaca buku ini, saya
segera mencari foto Malioboro tempo dulu melalui Google. Saya membayangkan
Nasjah Djamin “nongkrong” dengan kawan-kawannya, termasuk Motinggo Busje, di
angkringan atau warung-warung sambil memandangi gadis-gadis Jogja. Apa Djamin
juga suka makan mi dok-dok seperti saya? Entahlah. Yang patut dipertanyakan,
mengacu buku ini, adalah peran Jassin sebagai paus sastra Indonesia. Apakah ia
adalah paus sastra Indonesia atau paus sastra Jakarta?
September
40. Anak
Semua Bangsa. Pramoedya Ananta Toer. Lentera Dipantara. 2015.
Setelah mencari ke mana-mana—Gramedia
Depok, Gramedia Matraman, dan Gramedia Grand Indonesia, novel ini ternyata saya
dapatkan dari teman sejurusan saya, Zulfi. Lebih tepatnya, saya meminjam.
Sayang sekali tidak bisa saya miliki sendiri.
Dengan dorongan ucapan seseorang di
Goodreads yang mengatakan bahwa seri ini adalah yang terbaik dari novel lain
dalam tetralogi, saya semakin bersemangat membacanya. Ternyata, apalah dikata.
Tidak semenarik itu. Malah, menurut saya, novel ini menempati posisi terakhir
setelah Rumah Kaca, Jejak Langkah, dan Bumi Manusia. Satu-satunya bagian yang
saya suka adalah bagian akhirnya. Di situ Maurits Mellema “disidang”
habis-habisan oleh Minke dan orang-orang terdekatnya. Bahkan, May yang masih
kecil pun terbawa perasaan marah ketika ia tahu bahwa orang yang di depannya
itulah si pembunuh Annelies.
41. Ziarah.
Iwan Simatupang. Noura Books. 2017.
“Tiap orang mati, adalah sarjana
kehidupan.” (hlm. 215)
Novel yang diterbitkan pertama kali
lebih dari empat puluh tahun lalu ini semacam prediksi bagi masa sekarang.
Banyak sekali yang ditulisnya di sini terjadi pada masa ini. Yang paling saya
ingat adalah perbincangan soal bunuh diri.
“Dan, apa yang abadi, pastilah
baik. Kalau tidak, pasti ia tak abadi. Hal ini juga menjelaskan, mengapa jumlah
orang bunuh diri akhir-akhir ini makin banyak juga. Mereka bahkan menyebutnya
sebagai penyelesaian modern; lepas dari tafsiran kita masing-masing apanya yang
selesai, apanya yang modern. Bagi saya, yang menarik dari persoalan bunuh diri
ini bukanlah soal modernnya, melainkan pembuktian untuk kali kesekian bahwa
unsur tragik masih dimiliki manusia dalam bentuk yang spesifik manusia. Yakni,
keagungan.”(hlm. 174)
Dalam novel ini, juga dikesankan
bahwa dialog terkadang hanyalah dua monolog yang ingin diucapkan serempak. Saya
lupa di halaman berapa Iwan menyatakan itu.
42. Kumpulan
Karangan II. Mohammad Hatta. Penerbitan dan Balai Buku Indonesia. 1953.
Buku jang punja tahun 1953 ini
adalah kumpulan tulisan analisis Hatta yang diambil dari madjalah dan surat
kabar, seperti Daulat Rakjat, Persatuan
Indonesia, Pandji Islam, dan Pemandangan.
Tulisan2 itu punja waktu muntjul dari 1929—1941. Hatta membahas banjak hal.
Salah satunja ialah djandji
kemerdekaan jang akan diberikan Amerika kepada Filipina. Tentu djandji sematjam
itu sepintas terdengar manis. Akan tetapi, Hatta meragukanja. Dengan tegas,
Hatta menjatakan suatu pertanjaan sengit, “Bolehkah mulut pendjadjah
dipertjajai?” Hatta tidak lupa buat mempertimbangkan sebab Amerika ada punja
djandji seperti di atas. Sebabnja ialah kaum tani Amerika merasa tersaingi
dengan hasil tani Filipina jang masuk ke Amerika. Persaingan ini tidak akan
berhenti djika Filipina berada di tangan Amerika sehingga Amerika harus melepas
Filipina. Sementara itu, Partai Republik di Amerika menganggap Filipina belum
sanggup merdeka karena belum punja stable
government. Lantas, bagaimana hasilnja? Hatta tidak menjimpulkan.
Hatta agaknja seorang pemudja
Perantjis. Berkali2 ia sebut negara itu sebagai tjontoh jang baik. Menurutnja,
semangat Perantjis, terutama peristiwa revolusi Perantjis pada 1789, telah
menginspirasi bangsa2 di berbagai benua untuk mendapat kemerdekaan. Djadi, apakah
Hatta benar2 termasuk golongan anti tjolonial tjolonial tjlub?
Oktober
43. Harimau!
Harimau! Mochtar Lubis. Yayasan Pustaka Obor Indonesia. 2018.
Menurut Sartre, ada lima kefaktaan
eksistensialisme (facticity) yang
tidak mungkin dihindari manusia. Salah satunya adalah masa lalu. Masa lalu
menjadi kekasih utama yang senantiasa mengiringi hidup seseorang, entah dibenci
atau dicintai.
Para lelaki dalam novel ini pun
demikian. Tersesat dalam hutan masa lalu yang menjadikannya ketakutan
semipermanen, bahkan ada yang mencapai kepermanenan. Harimau layaknya malaikat
maut yang mengintai mereka.
Manusia, jika tidak mendatangi, ia
didatangi. Jika tidak memburu, ia diburu. Akan tetapi, ada juga yang tidak
hendak memburu. Ia tidak berhasrat apa-apa sampai suatu kali datang harimau
memburunya. Maka, terciptalah hasrat pemalasdendaman: menjadi harimau baru yang
akan melahirkan harimau lain.
Novel ini saya dapatkan di
Indonesia International Book Fair 2018 di JCC Senayan, Jakarta.
44. Jejak
Langkah. Pramoedya Ananta Toer. Lentera Dipantara. 2015.
Lagi-lagi saya dapat pinjam dari
Zulfi. Sebenarnya ini buku kepunyaan Bari. Buku ini masih ada di meja indekos
saya sampai sekarang.
Jejak
Langkah mengakhiri pembacaan saya atas tetralogi. Ceritanya
lebih memikat daripada Anak Semua Bangsa.
Saya mencatat sebagiannya.
“Bagaimanapun tentunya ia seorang
wanita yang cerdas. Dan kecerdasan untuk seorang wanita adalah kecantikan
tambahan. Kalau dia seorang yang sudah pada dasarnya cantik, dia akan menjadi
bintang di antara wanita.” (hlm. 619)
45. Tiba
Sebelum Berangkat. Faisal Oddang. Kepustakaan Populer Gramedia. 2018.
Kalau ada nominasi untuk novel
paling menjijikkan, Tiba Sebelum
Berangkat bisa menang tanpa perlu menunggu pengumuman. Bagaimana tidak? Di penjara,
seseorang dipotong lidahnya dan, karena terdesak, ia memakan tahi kering dalam
kantong plastik, tahinya sendiri.
Ketika membacanya, yang terlintas
selain ceritanya sendiri adalah novel-novel lain yang pernah saya baca. Seperti
perpaduan antara Laut Bercerita dan Pasung Jiwa dengan sedikit dibumbui gaya
Pramoedya dalam tetralogi. Khasnya, tidak lain dan tidak bukan adalah kisah
kesulawesiselatanannya tentang bissu.
Dengan segala kepenjijikannya, Tiba Sebelum Berangkat tidak lupa
menaruh bumbu, yakni kisah sepasang lawan jenis. Uniknya, Oddang tidak
membuatnya sebagai kisah klise. Perempuan, yang biasanya digambarkan sebagai
makhluk hangat atau dingin, digambarkannya sehingga mencapai taraf panas api
biru. Kisahnya seperti ini… lalu… Setelah itu… Jadi… Silakan baca sendiri.
46. Laluba.
Nukila Amal. Gramedia Pustaka Utama. 2018.
Memulainya dengan keabstrakan.
Betapa segalanya berjalan dari satu gang kecil-sempit-gelap dan masuk ke labirin
yang tidak akan membiarkan siapa saja keluar. Siapa saja juga tidak akan
membiarkan dirinya keluar dari labirin, dari cerita-cerita dalam kumpulan
cerpen ini.
Bagian terbaiknya ada di cerpen
“Kembang Api”. “Kita berdiri bersisian dalam kerumunan penonton yang membentuk
lingkaran, tempat kita kecil saja” seolah menyuarakan bahwa ada yang mesti
ditertawakan atas kejatuhan. Bahwa, ada yang mesti dirayakan atas kenestapaan.
Apakah itu? Sesuatu yang kita seharusnya mesrai.
Laluba, yang muncul di sana, muncul
juga sesekali di kepala saya. Beberapa detik saja kemudian turun mencapai
kedalaman gelap. Apakah memang harus begitu: menyaksikanmu sekejap saja?
November
47. Collapse.
Jared Diamond. (terj.) Kepustakaan Populer Gramedia. 2018.
Saya tidak mungkin merangkum isi
seluruh buku ini. Hanya percayalah, sosok di balik layar keruntuhan peradaban
manusia adalah manusia sendiri. Sepertinya sudah pasti, ya?
Meskipun bukan prosa-puitis,
beberapa bagian dalam buku ini menyajikan titik bawah manusia dan peradabannya
yang—secara paradoks—indah. Misalnya, penduduk terakhir Pulau Paskah yang
menanti kapal-kapal kecil mati satu per satu sampai orang yang paling akhir
tidak mampu membayangkan bagaimana rupa kapal. Atau, “pengorbanan” korban
genosida Rwanda yang disutradarai oleh kaum elite modern untuk menjaga
kekuasaan. Juga, kisah Balaguer, seorang pemimpin Dominika yang tidak dipahami
rakyatnya.
“Hidup maupun sejarah bukanlah
untuk orang-orang yang mencari kesederhanaan dan konsistensi,” kata Diamond
(hlm. 467). Begitu yang ia ucapkan, barangkali untuk menggambarkan bahwa
kemutlakan adalah kemustahilan di dunia nyata ini. Bahwa pernyataan “manusia
adalah makhluk berakal” juga dapat disangkal, bukan sekadar pendapat asal. Mari
kita lihat manusia atau bangsa mana yang akan runtuh selanjutnya.
48. Lorna.
R.D. Blackmore. (terj.) Pustaka Jaya. 1977.
“Apa yang ingin saya ketahui adalah
sesuatu yang takkan seorang pun dapat menerangkannya kepada saya: Apakah saya
ini, mengapa saya di sini, dan kapan saya akan bisa hidup bersama mereka? Dikau
nampaknya agak terkejut akan kepenasaran saya. Barangkali pertanyaan demikian
tak pernah terlontar dari pikiran siapa pun. Tapi ada dalam lubuk hati saya dan
saya takkan dapat melenyapkannya.” (hlm. 53—54)
Ketika iseng main ke toko-buku
kecil di kompleks Taman Ismail Marzuki pada November lalu, saya menemukan novel
terjemahan bersampul menarik berjudul Lorna.
Novel ini berjudul asli Lorna Doone
yang diterbitkan akhir abad ke-19 di Inggris. Diterjemahkan dan diterbitkan
oleh Pustaka Jaya pertama kali pada 1972. Buku yang saya punya ini adalah
cetakan kedua, yakni terbit pada 1977.
Lorna mengingatkan saya akan
Annelies (Bumi Manusia) dalam hal
suka menangis. Pun ia digambarkan sangat cantik dan baik. Kebaikan juga dimiliki
sang tokoh utama: John Ridd. Sejujurnya, saya cukup bosan mengikuti kebaikan
kedua tokoh ini. Ditambah akhir yang bahagia—entah mengapa saya kurang suka
dengan cerita yang berakhir bahagia. Namun, melihat kembali tahun novel ini
dibuat, kebosanan saya agak hilang dengan pemakluman. Mungkin pada saat itu
tokoh statis dan akhir cerita bahagia memang menjadi khas. Sementara itu, saya
senang karena Blackmore mengisahkan Ridd kecil yang suka mencari ikan di sungai
pada awal cerita. Mengingatkan saya akan masa kecil ketika satu-satunya sungai
yang saya kenal adalah sungai jernih di desa, belum sungai kehidupan yang
jenuh.
49. Secangkir
Teh Melati. Bunjamin Wibisono. Kepustakaan Populer Gramedia. 2018.
Membaca Secangkir Teh Melati, mengingatkan saya akan satu kesukaan masa
lalu: membacai cerita orang di blog masing-masing. Lebih terasa intim karena
kalimat-kalimat ditulis dengan sedikit metafora dan bias. Bunjamin Wibisono
menghadirkan hal semacamnya kembali dalam tulisan yang tidak mudah digolongkan
dalam kategori: antara novel—yang biasa diasosiasikan dengan fiksi—atau autobiografi—yang
memang apa adanya. Atau, tidak perlulah digolongkan karena pekerjaan
menggolong-golongkan hanya untuk ekstremis dan fanatis.
Yang ditawarkan Wibisono adalah
Jakarta (dominan), Bogor, beberapa kota lain, serta Inggris sekitar tahun ’50—’70-an.
Dari Madja ke Roxy; Roxy ke Kwitang; Kwitang ke Salemba; Salemba ke Rawamangun;
dan dari Rawamangun ke tempat mana saja seperti tiada lelah. Pertemuan dan
pertemanannya dengan Soe Hok Gie dan Mochtar Lubis juga tidak luput diceritakan
oleh si Aku.
Sesungguhnya, saya masih heran soal
bagaimana naskah yang pasti sudah mengalami proses sunting ini bisa lolos
cetak. Memang ada kebebasan untuk ragam sastra, tetapi yang terjadi di sini
adalah lolosnya kesalahan-kesalahan “kecil” berulang (banyak), seperti kata
awal kalimat yang tidak dipisah dari tanda titik (.) kalimat sebelumnya. Selain
itu, banyak juga “di” sebagai awalan yang seharusnya digabung dengan kata dasar
ditulis terpisah, seperti “di beli” yang seharusnya “dibeli” (hlm. 102). Saya
juga menemukan kata “numpak” (hlm. 202). Lah, memangnya Numpak RX King-nya
Sodiq? Apalagi, kalimatnya “Berkat beliau aku bisa numpak Air India ke Inggris”.
Tapi, memang, sih, bahasa Indonesia belum punya istilah yang pas untuk
menyatakan “naik” (untuk pesawat, mobil, dan alat transportasi lain yang
orangnya harus masuk). Mari kita tanyakan kepada Ivan Lanin.
50. Pelajaran
Mengarang: Cerpen Pilihan KOMPAS 1993. Seno Gumira Ajidarma, dkk. Kompas.
1993.
Setelah membaca dua kumpulan cerpen
Kompas (cerpen pilihan 2016 dan
1993), “kegemasan” saya terhadap Kompas
dalam pemilihan judul—dan cerpen terbaik—semakin bertambah. Bagaimana bisa “Pelajaran
Mengarang” mendapat lima suara dari anggota tim penyeleksi dan menjadi judul
untuk ini? Sementara, “Sepotong Senja untuk Pacarku” yang lebih beralur dan
lebih kaya imajinasi latar hanya mendapat empat suara. Dua cerpen itu ditulis
oleh orang yang sama: Seno Gumira Ajidarma.
Dalam kumcer ini, ada berbagai
sindiran yang coba disampaikan para penulis. Misalnya, Putu Wijaya menyindir
tingkah laku orang-orang yang tak tahu terima kasih melalui cerpen
"Dasar". Julius R. Siyaranamual melalui cerpen "Pencuri"
juga menyindir secara eksplisit dengan kalimatnya "Apakah masih ada orang
di negeri ini yang tidak mencuri?" Namun, sindiran paling mantap datang
dari "Sepotong Senja untuk Pacarku". Seno menulis "Senja! Senja!
Cuma seribu tiga!" (hlm. 19) sebagai bentuk kerisihannya menyaksikan harga
"senja" yang direduksi menjadi puisi-puisi receh oleh anak-anak
tanggung. Sekarang masih relevan, kok. Hehe.
Juga dengan kumcer ini, saya pertama kali baca tulisan Bondan Winarno. Saya lebih mengetahuinya sebagai pembawa acara kuliner. Judul cerpennya di sini adalah "Santa". Ada satu kalimat yang saya suka dari cerpen ini: "Aku hanya seorang buruh sementara di toko besar itu." Bukankah kita semua adalah pesuruh di dunia ini?
Juga dengan kumcer ini, saya pertama kali baca tulisan Bondan Winarno. Saya lebih mengetahuinya sebagai pembawa acara kuliner. Judul cerpennya di sini adalah "Santa". Ada satu kalimat yang saya suka dari cerpen ini: "Aku hanya seorang buruh sementara di toko besar itu." Bukankah kita semua adalah pesuruh di dunia ini?
Desember
51. Lima
Drama. B. Soelarto. Gunung Agung. 1985.
Drama-drama dalam kumpulan ini
memang meniangkan zaman revolusi dan konflik-konfliknya sebagai tema utama.
Namun, saya justru tertarik mengikuti alur pembunuhan yang terjadi dalam
setiapnya. Pembunuhan—dalam cerita apa pun—selalu menawarkan cara pandang lain
bahwa tidak ada yang mutlak dalam kefanaan ini. Bahkan, dalam buku yang
berjudul Memahami Pembunuhan (Kompas,
2014), Eko Hariyanto menyatakan bahwa sekitar delapan puluh persen pembunuhan
dipicu oleh korbannya. Begitulah kalau saya tak salah ingat angkanya.
Kiranya ada pula penyusunan drama-drama di sini berdasarkan tingkat kemenangan tokoh perempuannya. Mungkin Soelarto tidak sengaja menempatkannya; mungkin kebalikannya. Dalam "Domba-domba Revolusi", drama urutan pertama, tokoh perempuan yang juga bernama Perempuan menjadi serigala terakhir, pembunuh pemungkas. Drama kedua, "Gempa", menempatkan perempuan sebagai letnan yang juga bertahan sampai akhir. Ketiga, "Abu", sedikit anomali: Nyonya X hampir saja jadi penguasa harta Tuan X, tetapi harus mati ditembak. Keempat, "Bapak", menjadikan perempuan sebagai karakter yang biasa. Hanya saja posisinya sebagai anak bungsu. Sebuah posisi yang bisa dibelokartikan menjadi hal yang di bawah. Terakhir, "Insan-insan Malang", si perempuan yang bernama Wati tidak termasuk dalam tokoh dan diceritakan bahwa ia mati dibunuh pikiran, bunuh diri. Yang terakhir ini mengingatkan saya akan tokoh drama yang saya buat di kelas Pengkajian Drama. Bedanya, Wati menjadi tokoh utama bersama pikirannya.
Tema semacam ini mirip dengan yang diceritakan Pramoedya Ananta Toer dalam Larasati dan Sekali Peristiwa di Banten Selatan. Apakah Soelarto berteman dengan Pram? Bisa saja, tetapi kemungkinan tidak dekat karena Soelarto dengan "Domba-domba Revolusi"-nya justru dianggap antirevolusi oleh Lekra.
Kiranya ada pula penyusunan drama-drama di sini berdasarkan tingkat kemenangan tokoh perempuannya. Mungkin Soelarto tidak sengaja menempatkannya; mungkin kebalikannya. Dalam "Domba-domba Revolusi", drama urutan pertama, tokoh perempuan yang juga bernama Perempuan menjadi serigala terakhir, pembunuh pemungkas. Drama kedua, "Gempa", menempatkan perempuan sebagai letnan yang juga bertahan sampai akhir. Ketiga, "Abu", sedikit anomali: Nyonya X hampir saja jadi penguasa harta Tuan X, tetapi harus mati ditembak. Keempat, "Bapak", menjadikan perempuan sebagai karakter yang biasa. Hanya saja posisinya sebagai anak bungsu. Sebuah posisi yang bisa dibelokartikan menjadi hal yang di bawah. Terakhir, "Insan-insan Malang", si perempuan yang bernama Wati tidak termasuk dalam tokoh dan diceritakan bahwa ia mati dibunuh pikiran, bunuh diri. Yang terakhir ini mengingatkan saya akan tokoh drama yang saya buat di kelas Pengkajian Drama. Bedanya, Wati menjadi tokoh utama bersama pikirannya.
Tema semacam ini mirip dengan yang diceritakan Pramoedya Ananta Toer dalam Larasati dan Sekali Peristiwa di Banten Selatan. Apakah Soelarto berteman dengan Pram? Bisa saja, tetapi kemungkinan tidak dekat karena Soelarto dengan "Domba-domba Revolusi"-nya justru dianggap antirevolusi oleh Lekra.
52. The
Pearl. John Steinbeck. Dian Rakyat. 1991.
‘What are you afraid of?’ she
asked.
‘Everyone,’ Kino replied.
(hlm. 26)
Tragedi datang dari harapan.
Mungkin begitulah hal yang ingin disampaikan penulisnya melalui novel pendek
ini. Novel ini diceritakan ulang oleh M. J. Paine dan diisi dengan beberapa ilustrasi
karya Clifford Bayly. Tidak sengaja saya temukan di rak nomor 800-an di
Perpustakaan Pusat UI ketika mencari referensi untuk tugas akhir mata kuliah
Gender dalam Sastra. Saya lihat bagian belakangnya, ternyata baru dipinjam tiga
kali. Tertera "21 Maret 2017", lebih dari setahun yang lalu, sebagai tanggal
pengembalian terakhir.
Kisahnya sederhana. Akan tetapi, konfliknya mampu diperluas dan dipertajam oleh Steinbeck. The Pearl tidak hanya kisah tentang harapan yang datang dari mutiara, tetapi juga kasih ayah untuk seorang anak—betapa ia ingin anaknya bisa sekolah; dunia dan pasarnya—bukankah dunia ini adalah pasar, interaksi karena kebutuhan saja?; serta pertaruhan ego. Anehnya, we know that people cheat us all our lives, but we still alive (hlm. 38).
Kisahnya sederhana. Akan tetapi, konfliknya mampu diperluas dan dipertajam oleh Steinbeck. The Pearl tidak hanya kisah tentang harapan yang datang dari mutiara, tetapi juga kasih ayah untuk seorang anak—betapa ia ingin anaknya bisa sekolah; dunia dan pasarnya—bukankah dunia ini adalah pasar, interaksi karena kebutuhan saja?; serta pertaruhan ego. Anehnya, we know that people cheat us all our lives, but we still alive (hlm. 38).
53. Kritik
Sastra Feminis: Sebuah Pengantar. Soenarjati Djajanegara. Gramedia Pustaka
Utama. 2000.
Pada mulanya, saya bingung untuk
menentukan topik tugas akhir mata kuliah Gender dalam Sastra. Sembari bingung
itulah saya iseng-iseng mencari referensi soal feminisme. Bertemulah saya
dengan buku ini. Soenarjati menguraikan dengan sangat enak tentang sejarah
feminisme. Ternyata, saya baru tahu bahwa feminisme terbagi lagi atas
gelombang-gelombangnya, yaitu gelombang pertama, kedua, dan ketiga. Yang ketiga
ini sering disebut juga sebagai gelombang posfeminisme.
Ada cerita menggemaskan soal ini.
Pada akhirnya, saya mengambil topik posfeminisme karena saya mencari yang belum
dibahas teman-teman saya. Objek kajian saya adalah Domba-domba Revolusi karya B. Soelarto. Jadilah saya presentasi (sebagai
tahap sebelum pengumpulan makalah) tentang ini dengan judul “Wacana Posfeminisme Rosalind Gill pada Tokoh
Perempuan dalam Drama Domba-domba Revolusi Karya B. Soelarto”.
Saya sudah siap jika ditanyai berbagai pertanyaan. Setelah presentasi, barulah
dosen saya mengatakan bahwa ia tidak bisa menilai apa yang saya bahas. Kenapa?
Alasannya karena posfeminisme baru dipelajari di tingkat S2. Oleh karena itu,
saya harus ganti topik. Jadilah saya “hanya” membahas soal stereotip.
54. Bermain
Esai. Maman S. Mahayana. Mahayana Institute dan TareBooks. 2018.
Sebuah peristiwa atau gejala, selain
topiknya, juga menarik untuk diselisik berdasarkan perjalanannya dari waktu ke
waktu. Perjalanan tersebut dapat disebut sebagai kesejarahan. Singkatnya, sejarah
memegang peran penting dalam menguak asal-usul peristiwa atau gejala. Bukankah
akan terasa ganjil jika tiba-tiba mendengar kabar bahwa ada setumpuk uang jatuh
dari langit? Mestilah dicari dulu rangkaian kejadian yang melatarbelakangi
peristiwa tersebut.
Di sinilah letak kekuatan esai-esai
Mahayana. Ia tidak lupa menyertakan catatan sejarah dalam tulisannya. Misalnya,
dalam esai “Sihir Bahasa Indonesia”, disertakan cerita tentang pemilihan bahasa
Melayu sebagai lingua franca.
Pemilihan tersebut dimulai dari kedatangan bangsa Portugis sampai pemilihan
bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia pada 28 Oktober 1928.
Kesejarahan juga muncul dalam esai
“Fenomena Novel Islami”. Mahayana tidak sekadar memberi definisi pasti mengenai
novel Islam dan Islami. Ia juga menyertakan perkembangan novel-novel beraliran
serupa, seperti Perjalanan ke Akherat (1963)
karya Djamil Suherman, Di Bawah Naungan
Al-Quran (1957) karya Muhammad Ali, dan Geni
Jora (2004) karya Abidah El Khalieqy. Hal tersebut dilakukannya agar
pembaca mendapat pengertian tentang novel Islam dan Islami secara komprehensif.
Selain kesejarahan,
pengalaman-pengalaman Mahayana turut menambah bobot esainya. Hal ini terlihat
terutama di esai-esai bagian terakhir, Kiprah dan Renjana. Di sana, ia memberi
informasi mengenai beberapa sastrawan Indonesia, seperti Ahmad Tohari, Danarto,
dan Sapardi Djoko Damono. Tidak hanya menceritakan perjalanan karier mereka,
Mahayana menambahkannya dengan pengalaman pribadi sehingga karakter dari
sastrawan yang dibahasnya semakin jelas.
Meskipun memiliki kelebihan dalam
kesejarahan dan pengalaman, esai-esai Mahayana tidak lepas dari “nada sumbang”.
Nada sumbang ini mencakup dua hal. Pertama,
pengulangan gagasan dalam esai berbeda. Kedua,
penulisan kata yang tidak perlu.
Pengulangan gagasan terdapat dalam
esai “Sihir Bahasa Indonesia” dan “Kemerdekaan Bahasa Indonesia”. Keduanya
dimuat dalam media dan waktu yang berbeda. “Sihir Bahasa Indonesia” dimuat di
harian Kompas, 16 Desember 2006.
Sementara itu, “Kemerdekaan Bahasa Indonesia” dimuat di Media Indonesia, 14 November 2009. Mahayana sama-sama menuliskan
kisah perjalanan bahasa Melayu yang dikutip dari Linschoten, seorang misionaris
dan linguis abad ke-16. Apakah ini kesengajaan atau justru kekurangreferensian?
Mahayana juga berkali-kali menyebut
istilah “isi kebun binatang dan isi toilet”. Apakah tidak ada istilah lain agar
lebih beragam atau berwarna? Juga, seberapa penting penekanan istilah tersebut
sehingga disebut berkali-kali?
Kata yang tidak perlu pun muncul. Untuk
menutup esai “Keindonesiaan Identitas Indonesia” dan “Keberpihakan”, Mahayana
menggunakan “nah!”. Apa sebenarnya fungsi “nah!” di situ? Sebuah usaha
pengagetankah?
Selain itu, ada hal yang agaknya
terlupa oleh Mahayana. Ia tidak mencantumkan sumber dari informasi-informasi
tambahan, baik sebagai catatan kaki maupun daftar pustaka di akhir tulisan.
Selain sebagai bentuk validitas, penulisan sumber juga diperlukan agar
pembaca—jika ada yang berminat menelusuri lebih jauh—dapat menggunakannya
sebagai referensi tambahanya yang lebih detail. Misalnya, informasi mengenai Linschoten.
Mahayana perlu mencantumkan sumber yang dijadikannya referensi mengenai sosok
tersebut. Siapa tahu, barangkali ada peneliti yang sedang mendalami sejarah
bahasa Melayu dan memerlukan informasi lebih lanjut tentangnya. Bukankah bisa
menjadi amal jariah untuk Mahayana? Nah!
55. Kerikil
Tajam dan Yang Terampas dan Yang Putus. Chairil Anwar. Dian Rakyat. 1995.
Chairil menjelang kematian adalah
Chairil yang agung. Tampak dari puisi-puisinya. Buku ini bisa ditemukan di
Perpustakan Pusat UI.
56. Chairil
Anwar: Bagimu Negeri Menyediakan Api. Suyono, Seno Joko, dkk. (ed.)
Kepustakaan Populer Gramedia. 2016.
Buku ini saya baca tepat setelah
saya selesai membaca buku nomor 55 di atas. Di sini dimuat beberapa foto catatan
tangan Chairil yang jarang ditemukan atau dibahas.
57. Chairil.
Hasan Aspahani. GagasMedia. 2016.
Saya pernah membacanya pada tahun
2016. Buku ini saya dapat langsung ketika ada acara bedah buku sebagai salah
satu rangkaian acara jurusan saya. Saya dapat tanda tangan penulisnya pula.
Tahun ini saya kembali membacanya.
Berdasarkan buku ini, Chairil
seharusnya masuk dalam jajaran pahlawan nasional. Ia menyampaikan pesan
Sjahrir—yang juga pamannya—tentang kekalahan Jepang dalam perang. Chairil
menyampaikannya kepada golongan muda yang oleh karenanya berani merencanakan
aksi Rengasdengklok.
Oh, ya. Kemarin saya membaca Setelah Revolusi Tak Ada Lagi karya
Goenawan Mohamad. Dalam salah satu esainya yang berjudul “Sjahrir di Pantai”,
Goenawan bercerita tentang keadaan Sjahrir sewaktu di Banda Neira. Sjahrir
sempat menulis surat tertanggal 12 Oktober 1936 kepada istrinya. Begini isinya.
“Pukul setengah lima pagi, saya
sudah bangun dan siap, dan pukul setengah enam, kami sudah berada di laut. Kami
mengatur sendiri layar dan kemudi. Selama tiga jam, perahu melaju, karena angin
yang membantu. Melintasi kebun laut, menyaksikan matahari terbit yang
gemilang. Kemudian mendarat kembali. Di pantai kami menghabiskan sisa hari, dan
makan.”
Perhatikan kata-kata yang saya
tebalkan. Mungkinkah Chairil telah membaca surat Sjahrir tersebut sehingga ia
terinspirasi untuk menulis puisi “Cintaku Jauh di Pulau”? Ini menarik. Semoga
suatu saat saya bisa menelitinya lebih lanjut.
58. Membaca
Katrologi Bumi Manusia Pramoedya Ananta Toer. Apsanti Djokosujatno. IndonesiaTera.
2004.
“Katrologi” yang dimaksud adalah
apa yang disebut juga “tetralogi”. Apsanti mengulas tetralogi Pramoedya itu
dalam berbagai hal, seperti unsur-unsur Perancis, Minke dari sudut pandang
psikoanalisis, “kedewaan” Nyai Ontosoroh, kosmpolitanisme, dan bahasa dalam
tetralogi Bumi Manusia. Setiap
pembaca tetralogi barangkali wajib membaca ulasan yang terdapat dalam buku ini.
59. Dari
Suatu Masa, Dari Suatu Tempat. Asrul Sani. Pustaka Jaya. 1972.
Inilah buku terakhir yang saya
baca-habis pada tahun ini. Saya menemukannya di rak 899-sekian di perpustakaan
pusat. Ini adalah kumpulan cerpen dari Asrul Sani.
Saya dibikin agak terkejut membaca
cerpen-cerpen di dalamnya. Saya seperti membaca tulisan saya sendiri. Memang
emosi tidak terlalu dimainkan, tetapi akhir dari beberapa cerpennya tidak
disangka-sangka akan di-twist (twist kecil). Saya kutip beberapa.
“Di perdjalanan pulang aku tiada
berkata-kata, tetapi ibu senantiasa bertutur-tutur perlahan. Seolah-olah dia
tahu bahwa aku tidak mau lagi kembali ke tempat ini. Ia menjatakan keinginannja
supaja aku mentjari jang baru. Dikatakannja bahwa ia tidak dapat berbuat apa2
lagi bagiku, dan sebaik-baiknja perbuatan jang dapat aku lakukan ialah
mendirikan rumah-tangga sendiri.
Orang tidak dapat terus-menerus
hidup di bawah kolong langit. Kau harus tjari tempat pulang dan tempat di mana
pemberian dapat diberikan dan segala dapat dimulai.
Setelah melihat wadjahku jang
bertanja, ia menjatakan keinginannja untuk tinggal selandjutnya di tempat
ajahku berpulang.” (“Perumahan bagi Fadjria Novari”; hlm. 45)
Lihat juga dalam cerpen “Beri Aku
Rumah”. Tahu siapa nama tokohnya? Haris!
“Tidak, ia tidak tinggal di
rumahku. Karena achirnja ia tahu, bahwa akupun tidak punja rumah dan mesti
kudirikan pula terlebih dahulu. Sebab itu ia pergi. Tetapi, satu hal aku tahu.
Bahwa ia sekarang telah memperoleh suatu kepertjajaan. Sekarang ia pertjaja
pada kasih jang tadi ditidakkanja. Ja, ia pertjaja pada kasih, ini aku tahu
benar, karena… karena… karena mahasiswa itu ialah aku sendiri.” (hlm. 36)
Tahukah apa bidang mahasiswa yang
ditulis Asrul Sani di sana? Filsafat! Haris dan filsafat? Sebuah kebetulankah
atau Asrul Sani meramal?
Pun di cerpen pembukanya, “Bola
Lampu”, ia menulis tentang seorang yang sedang bercerita tentang cerita
sahabatnya. Saya pada malam sebelumnya, sebelum membaca cerpen ini, terpikir
untuk membuat cerpen dengan awalan seperti itu. Kebetulan?
Lalu Asrul Sani juga menerjemahkan
novel Dostoyevski yang ceritanya sangat “aku
banget”. Hehe. Jadi, Srul,
mungkin kita manusia sama di masa yang berbeda.
Sekianlah ke-59 buku yang saya
baca-habis pada tahun ini. Kesimpulannya, banyak hal yang masih belum saya tahu.
Akan tetapi, semakin saya bacai, semakin saya jatuh hati pada buku. Kalau
Soekarno bilang bahwa buku-buku adalah temannya, bagi saya buku-buku adalah
kekasih.
Lantas, bagaimana dengan 2019? Semoga masih banyak waktu untuk menggali.
Lantas, bagaimana dengan 2019? Semoga masih banyak waktu untuk menggali.
Komentar
Posting Komentar